13. Takaran yang Telah Ditentukan

18 7 10
                                    

Tap!

Tap!

Tap!

Derap langkah kaki yang terdengar seirama itu menggema ke penjuru bangunan. Intonasinya sangat menambah kesan elegan pada sang empu.

Senyum lebar bak psikopat mengembang begitu ia menyaksikan Steven dan Jenny yang sudah diikat tak berdaya dengan tali tambang.

"Tersiksa, hm?"

Steven yang berusaha mempertahankan kesadarannya pun berucap lirih. "Gue gak butuh bantuan lo, Liora Smith"

Gelora tawa melengking itu terdengar sangat mengerikan, praktis membuat bulu kuduk Jenny dan Steven ikut berdiri. "HAHAHA!! Harga diri lo terlalu tinggi, Equivel!" ejeknya.

"Jenny Amberla" panggil Liora dengan lembutnya, ia menunduk didepan Jenny, merapikan rambut kawannya itu lembut.

"Teman gue, sahabat gue, saudara gue. Pilihannya cuma dua--"

"Membusuk disini... Atau hidup sebagai pion gue"

Wajah Jenny begitu pucat, lukanya mulai mengering, namun masih sangat menyakitkan, lebam dan memar di beberapa bagian tubuhnya belum juga sembuh. Belum lagi rasa lapar yang menyerangnya tiada henti sebab tidak makan atau minum apapun selama disekap.

Steven tak jauh berbeda.

"G-gue belum mau mati" putus Jenny dengan suara bergetar.

Praktis menarik senyum manis di bibir mungil Liora. "Keputusan yang tepat" sanjungnya.

Tepat setelah itu, Liora mengeluarkan pisau dari sakunya. Membebaskan Jenny dan membopong gadis malang itu untuk segera keluar.

Menyisakan Steven yang tak berdaya seorang diri. "Karena sejak awal. Gue gak pernah berada di kubu yang sama dengan lo, Liora. Dan selamanya... Akan selalu begitu"

Sementara Jenny dibawa keluar kawasan VHS oleh Liora. Tujuan keduanya kini adalah rumah sakit yang tentunya untuk mengobati si gadis malang itu.

"Lo beruntung, Jen. Besok sekolah, dan gue yakin lo gak akan mau ketinggalan pelajaran" kata Liora tenang.

"Peran lo disini itu apa sebenarnya, Li?" tanya Jenny setelah sekian lama menatap Liora yang terlihat fokus mengemudi.

Liora tersenyum.
"Gue adalah Bishop yang diutus untuk membasmi semua pion musuh demi melindungi Raja untuk mencapai kemenangan" jelasnya rinci.

"Dan sekarang, lo adalah pion. Lo harus beraksi untuk tujuan yang sama dengan gue. Bedanya, posisi lo buta. Sedangkan gue nggak"

Jenny mengernyitkan dahinya.
"Buta?"

Liora berdecak kesal.
"Yaelah. Murid Sains Unggulan tapi otak minus" hinanya pedas.

"Gue tahu siapa King and Queen dalam regu. Sementara lo nggak tahu, lo buta" lanjutnya menjelaskan.

Si lawan bicara hanya merotasikan bola matanya malas. Perkataan Liora selalu kurang ajar. Jenny tahu, Liora itu ibarat satu-satunya nahkoda perahu yang mampu menolongnya ketika terombang-ambing di lautan lepas.

Keberadaan Liora sangat menguntungkan baginya--

"Kalau gitu, gue akan menjadi pion yang paling menguntungkan dalam tim" ucap Jenny.

--Tetapi, akan selalu ada ganjaran dalam tiap keuntungan itu, bukan?

Si Gadis Smith itu sontak tertawa.
"Yang namanya pion, akan selalu ditumbalkan untuk melindungi para atasannya"

BELLEROPHONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang