"SIALAN!!"
Sudah tiga puluh menit Zen berusaha mencari keberadaan sang kembaran namun usahanya tak membuahkan hasil apapun. Yang ia temukan hanyalah ponsel yang digunakan Zee, tergeletak di lantai rooftop, tempat terakhir gadis itu berada sepengetahuannya.
"Zee lo dimana?" gumamnya penuh penekanan.
Ia merogoh ponselnya sebab Justin menelfon. "Lo dimana?"
"Lagi nyari lokasi Zee. Kenapa?"
"Ngumpul dulu di pinggir lapangan basket. Ada yang mau dibicarain"
Tanpa berkata apapun, Zen memutus sambungan sepihak kemudian bergegas menyusul ke tempat yang ditentukan Justin.
Disana sudah ada keempat temannya yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada Ellara dan Athalla yang duduk sedikit berjarak, hanya diam tanpa berbicara apapun.
Dan Justin yang entah membicarakan apa dengan Herin yang kini duduk anteng setelah diobati lukanya. Beberapa kali terlihat keduanya sama-sama tersenyum dan bercanda gurau.
Zen berdehem.
"Jadi, mau bahas apa?" tanya-nya lebih dulu.Justin menghentikan pembicaraan dengan Herin, cowok itu berdehem pelan sebelum akhirnya memulai topik kali ini.
"Yang paling kita prioritaskan saat ini adalah keselamatan Zee. Kita boleh lanjutkan penyelidikan jika memang ada yang mendesak. Tetapi tujuan kita sebenarnya saat ini adalah Zee. Ada yang gak setuju?"
Semua menggeleng. Menyepakati apa yang disampaikan Justin. Sementara Zen dan Herin saling pandang kemudian lelaki itu menoleh pada Ellara yang terus menunduk sejak tadi.
"Lo... Gak papa, kan, Ell?" tanya cowok itu hati-hati.
Ellara mengangkat kepalanya. Fokus keempat temannya kini terpusat padanya. Cukup lama gadis itu terdiam sebelum akhirnya membuka suara.
"Bohong rasanya kalau gue bilang gue baik-baik aja. Karena sejak awal gak ada kata 'baik' dalam hidup gue"
Mereka cukup mengerti bagaimana seorang Ellara menjalani hidup sampai saat ini. Gadis itu hanya berusaha untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Tetapi semesta tidak terlalu baik.
Herin beringsut duduk mendekat pada gadis itu, merangkulnya seraya tersenyum menyemangati. "It's okay. Semua udah punya takaran masing-masing"
"Tuhan tahu kapan saatnya untuk lo bahagia. Lihat diri lo yang dulu, Ell. Ada berapa banyak luka yang udah lo terima? Berapa banyak air mata lo yang terbuang?" jeda, Herin mengusap pelan punggung Ellara lembut.
"Dan lihat diri lo yang sekarang, Ell. Lo bisa bertahan sampai sekarang, itu udah hebat. Gue gak maksa lo buat nerima semua sakit, lo boleh marah, lo boleh kesal, lo boleh nangis tapi sewajarnya aja"
Justin, Zen dan Athalla hanya menyimak sejak tadi memberi ruang kepada kedua gadis itu untuk saling terbuka.
Sisi sentimentil perempuan itu memang lebih dibandingkan laki-laki. Itu sebabnya nasihat dari Herin barangkali akan mampu diterima oleh Ellara.
Air mata Ellara kembali mengalir perlahan. Ia masih menunduk seraya memainkan jemarinya sendiri.
Justin berdehem.
"Gue, Atha dan Zen duluan, ya. Kita mau coba cari Zee. Kalian ngobrol aja dulu" pamit cowok itu sebelum akhirnya menyeret kedua kawannya itu untuk menjauh.Justin paham, Herin dan Ella butuh privasi untuk lebih leluasa bercerita. Terkadang ada hal yang hanya mereka yang bisa mengerti.
Sementara Ellara kini mengusap air matanya kasar. "Gue selalu berusaha buat ngendaliin emosi, tapi semakin gue tahan, semakin parah sakitnya"
KAMU SEDANG MEMBACA
BELLEROPHON
Misteri / Thriller"Surat peringatan? Kenapa cuma gue dan Zen yang gak dapat?" "Apa motif mereka ngirim surat ini?" "Gue rasa ini ada hubungannya sama kasus Shania." "Shania Zoe Araneils maksud lo? Gak mungkin lah, kasusnya 'kan udah beres. Dia bunuh diri, kan?" "Lo p...