KAPAN YA BISA BEGITU JUGA?

233 19 2
                                    

"Alhamdulillah Selamat datang di Jakarta, Sayang!"

"Assalamualaikum Umma! Gendis sudah kangen sekali dengan Umma. Terima kasih sudah menjemput."

"Waalaikumsalam! Umma juga sudah merindukanmu, Nak. Duh, sampai baper Umma." Qomariah menitikkan air mata bahagianya, masih sambil memeluk menantu kesayangannya.

"Buya juga, Bunga, Puspa, Husein, mereka juga sudah rindu. Cuman mereka tidak bisa ikut nanti mobilnya tidak muat. Jadi bukan Umma saja yang kangen ya Gendis."

"Buya ih, cemburuan! Jangan ganggu Umma lagi peluk menantu kesayangan!"

Rasanya bahagia betul hati Gendis setelah sepuluh jam lebih penerbangan dari Fukuoka ke Jakarta, sambutan hangat dari keluarga suaminya seakan menghilangkan semua lelahnya. Bahkan, keluarga suaminya menyambutnya lebih dulu ketimbang putra mereka Fadhlan yang masih berjalan santai sedangkan tadi Gendis sudah berlari untuk memeluk mertuanya.

"Hihi, Gendis juga kangen Buya dan semua. Dan padahal tidak perlu dijemput ke sini Buya. kami bisa datang nanti naik taksi online saja. Kan jauh ke bandara."

"Mana boleh begitu, Umma udah kangen banget sama kamu, Sayang! Lagian Buya harus beraktifitas biar perutnya agak kecilan!" Qomariah, tidak setuju dengan rencana Gendis itu karena dialah memang yang sudah dari semalam tak sabaran ingin menyambut menantu kesayangannya ini, sampai tak bisa tidur.

"Umma memang gak kangen sama aku?" cicit seseorang yang merasa terasingkan.

"Kamu saja gak kangen sama Umma. Buktinya datang gak ada peluk-peluk sayangnya tuh buat Umma!" balas Qomariah pada anak kesayangannya yang kini menggaruk kepalanya yang tak gatal. Agak malu juga karena ibunya bicara agak kencang dan membuat mereka yang berlalu lalang ada yang sempat melirik.

"Umma, kan aku sudah besar. Malulah kalau dilihat orang aku lari-lari dari sana cuma mau peluk Umma."

"Astaghfirullahaladzim! Buya, denger nggak tuh? Anak Buya dulu yang waktu TK kalau Umma jemput selalu teriak panggil nama Umma paling keras terus langsung lari dan peluk Umma, sekarang bilangnya malu!"

"Mas, Jangan gitu kasihan Umma!"

Gendis jadi tidak enak melihat ibu mertuanya sedang berkaca-kaca matanya.

Tapi tidak dengan Fadhlan yang justru meringis pelan melihat sandiwara kolosal buatan ibunya.

"Jangan akting di sini dong Umma!" pria itu berbisik, mendekat dan membuka tangannya untuk memeluk wanita yang sudah melahirkannya.

"Aku kan peluk Umma juga, tapi nggak sambil lari-lari kayak gitu. Nanti kalau sudah dekat. Kan aku juga kangen sama Umma."

"Ya kali sekarang kamu karena udah besar nggak mau lagi peluk-peluk! Udah jijik sama Umma yang sudah bau tanah dan keriput ya?"

"Ya kali sekarang kamu karena udah besar nggak mau lagi peluk-peluk! Udah jijik sama Umma yang sudah bau tanah dan keriput ya?"

"Enggak dong!" cepat Fadhlan menjawab dan segera memberikan ciuman di dahi Ibu kesayangannya itu.

"Umma tetep wanita paling cantik yang aku punya!" serunya lagi yang memang juga sudah merindukan ibunya, tapi jaim.

Fadhlan itu sebetulnya manja dengan Qomariah, Tapi karena anak yang paling dewasa, dia sulit meluapkan rasanya dan suka malu.

Tapi, bagi Fadhlan orang tuanya adalah segalanya. Terutama ibunya.

Dia sangat menyayangi Qomariah. Apapun yang diminta olehnya akan diusahakannya diwujudkan Fadhlan. Apapun itu!

Dan pemandangan penuh kehangatan antara ibu dan anak ini membua Gendis yang sedang dirangkul ayah mertuanya, tersenyum.

Satu sisi, Gendis sangat senang sekali melihat suaminya sangat menyayangi Ibu mertuanya itu.

Namun di sisi lain, ada perasaan sedih di dalam hatinya. Kapan dirinya bisa dipeluk dan dikecup embun-embunannya seperti suaminya melakukan pada ibu mertuanya itu?

(Bersambung)

Cast:

1. Qomariah

 Qomariah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


2. Ibra

 Ibra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Istriku Semanis Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang