PAKAI SAJA

230 19 3
                                    

"Pakai saja."

Apa gendis punya masalah dengan pendengarannya?

"Kenapa ngeliatin Mas. Pakai saja, Gendis," setelah repitisi, barulah Gendis yakin dia tak perlu ke THT.

"Tapi Mas, i-itu terbuka."

"Gendis, kamu itu istri Mas dan kita sudah menikah sah dimata agama jadi kamu tampil terbuka, maaf kasarnya tanpa pakaian sekalipun di hadapan Mas, tidak ada dosa untukmu. Jadi pakai saja yang sudah disiapkan sama Umma. Lagian masih ada kimono berbahan satinnya kalau dingin. Dan ada selimut di tempat tidur."

Gendis tidak bisa lagi menjawab pernyataan Fadhlan, suaminya. Dia malah kebingungan sendiri bagaimana menjelaskannya. Dia bukan takut dingin.

Sebetulnya Fadhlan juga paham kesulitan Gendis. Dia juga merasa ibunya kelewatan sih menyiapkan pakaian seperti itu untuk istrinya. Tapi logika Fadhlan yang menyadari kalau pernikahannya sudah berlangsung dua tahun dan dirinya yang belum memiliki keturunan pasti membuat orang tuanya mendambakan adanya penerus keluarga.

Hanya saja, dia tidak berani mengungkapkan kalau mereka belum sampai sejauh itu hubungannya. Rasanya khawatir sekali melukai hati wanita yang sudah melahirkannya dan kenangan masa lalu tentang anggota keluarganya yang pernah melakukan kesalahan yang sama membuatnya memilih menahan diri, bersabar mengikuti permintaan orang tuanya meski hatinya merasa berat.

Tapi ... Gendis gadis baik. Dua tahun ini sudah terbukti kesabaran, ketabahan, dan ketulusannya mengurus Fadhlan. Masa iya dia tidak mau memberikan kesempatan untuk Gendis?

Memang mau sampai kapan Fadhlan menutup hati?

"Ehm, Mas-"

"Maaf ya Gendis," dan untuk pertama kalinya dengan berat hati Fadhlan yang memang belum bisa menerima istrinya terpaksa menggerakan tangannya menepuk-nepuk kepala istrinya.

Sukses membuat Gendis tak bisa meneruskan ucapan penolakan soal baju saringan beras.

"Mas sudah dzolim sama kamu selama dua tahun ini. Tapi sekarang kita coba sedikit lebih berani ya. Gendis boleh kok buka kerudung di depan Mas. Dan nanti kalau di apartemen, kita tidurnya satu kamar saja begini. Mungkin kita harus lebih banyak berinteraksi lebih dekat lagi."

Boleh nggak sih Gendis menjerit bahagia?

Ini adalah tawaran termanis yang diberikan Fadhlan selama dua tahun terakhir ini. Apakah ini adalah jawaban dari doa-doanya yang minta pada Tuhan untuk meluluhkan hati suaminya?

Gendis tidak tahu. Tapi dia percaya kalau pertolongan tuhan itu dekat. Gendis sudah berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik dan Fadhlan juga sudah berusaha untuk memenuhi nafkahnya.

Jelas ucapan suaminya ini membuat senyum di bibirnya merekah.

"Iya Mas, Terima kasih sudah mau membuka diri untuk Gendis."

Kalau saja Gendis sedikit lebih cantik. Setidaknya bisa berhasil membuat Fadhlan melupakan sosok wanita sempurna yang pernah dicintainya, dengan sikap Gendis yang begitu penurut, selalu peduli pada Fadhlan dan menyiapkan semua kebutuhannya, bahkan tidak pernah merepotkannya juga sangat dewasa, pasti rasa cinta itu akan muncul lebih cepat.

Sayang sekali, Gendis jauh sekali dari bayangan wanita itu. Bahkan sepersepuluh kecantikan Tamara saja tidak ada. Fadhlan sangat suka dengan gadis yang kulitnya putih. Yang tampak glowing kalau terkena cahaya.

Cuma sayang, keluarganya memilih Gendis untuk menjadi istrinya.

Gendis, si gadis dengan kulit sawo matang, meski sekarang sudah lebih baik sih tidak seperti dulu saat mereka awal menikah, Gendis terlihat kumal dan hitam terbakar mentari. Tapi tetap Gendis yang sekarang ini masih jauh dari sempurna di mata Fadhlan.

"Ya sudah kamu mandi dulu ya."

Fadhlan sampai beristighfar berkali-kali memikirkan ini. Tidak pantas dia menyakiti hati wanita sebaik Gendis.

Makanya daripada lamunannya semakin liar memikirkan tentang seorang wanita yang sudah tidak lagi ada di sisinya dan bukan haknya untuk dipikirkan, Fadhlan menepis semua rasanya dengan menggelar sajadahnya.

Tadi dia hanya menepuk kepala Gendis dan masih tertutup oleh kerudung.

Fadhlan tidak perlu wudhu lagi dan dia sekarang sudah serius memulai solat isya-nya.

'Belangnya kentara banget!'

Seharusnya setelah selesai solat, Fadhlan biasanya melakukan dzikir tapi kali ini pandangannya terpana pada sosok Gendis yang baru saja keluar dari kamar mandi dan istrinya itu masih tampak canggung.

Gendis menarik-narik pakaiannya yang menurutkan kependekan. Bahkan wanita itu berdiri kaku dan menunduk tak berani menatap ke arah Fadhlan yang masih di lantai dengan posisi kaki tahiyatul akhir.

Apanya yang belang yang membuat Fadhlan sampai menatap istrinya dari kaki ke kepala dan kembali lagi ke kaki untuk beberapa kali seakan melupakan waktu yang terus bergulir?

"Gendis sini dulu sebentar!" panggilnya pelan. Fadhlan yang masih duduk di sajadahnya memilih menyuruh istrinya untuk datang padanya ketimbang dia yang menghampiri.

"Iya Mas! Tapi saya pakaiannya kayak gini Mas."

Istriku Semanis Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang