BELANG

254 18 3
                                    

"Gak apa-apa, sini dulu, pinta Fadhlan yang dituruti oleh istrinya. Meski malu, Gendis berjalan pelan dengan handuk yang dipegangnya sengaja dipanjangkan supaya bisa menutupi sedikit kakinya. Meski tidak sampai mata kaki tapi setidaknya di bawah lutut.

"Duduk di depan sajadah Mas saja, Sini! Jangan di ubin, dingin!" maksud Fadhlan, duduk berhadapan dengannya dengan alas sajadahnya.

"Iya Mas," ucap istrinya lagi, malu-malu. "Gimana Mas?" tanyanya lagi seakan beban betul duduk di hadapan suaminya sampai tangan kanannya menutup bagian dada kimononya yang menurut Gendis, terlalu terbuka.

Gendis tidak pernah menampilkan tubuhnya di hadapan laki-laki kecuali ayahnya selama ini. Itupun tidak dengan pakaian begini.

"Kamu pakai jilbab dari usia berapa?"

"Uhm, dari umur lima tahun Mas. Kalau keluar sudah pakai jilbab. Soalnya Gendis nggak mau Ibu nanti di sana dibakar gara-gara anaknya ndak menutup aurat."

Ada tawa kecil yang muncul dari bibir Fadhlan yang selama ini tidak pernah bercakap-cakap dengan istrinya seintim ini.

"Memang siapa yang cerita sama kamu kayak gitu?"

"Waktu itu eyang uti bilang begitu Mas. Gendis harus terbiasa pakai kerudung biar nanti sudah besar ndak banyak alasan buat pakai kerudung," ucap Gendis sambil membayangkan wajah eyang utinya yang sudah almarhum saat usianya tujuh tahun. Itu keluarganya terakhir yang meninggal sebelum ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian.

"Pantas saja kulitmu belang. Tubuhmu putih bersih. Hanya telapak tanganmu dari pergelangan tangan dan juga kakimu yang mungkin kamu suka buka tutup kaos kaki terus wajahmu warnanya kontras sekali dengan warna kulit tubuhmu karena kena cahaya mentari langsung."

"Ehm--"

Gendis memang bisa bicara apa saat suaminya menjelaskan begitu?

Jujur saja dia malu.

Dan selama ini Gendis belum pernah kepikiran untuk melakukan sesuatu pada kulit tubuhnya.

"Boleh Mas tanya? Apa kamu pernah kepikiran buat beli skin care? Itu loh yang biasa perempuan pakai untuk membersihkan kulit mereka? Face care."

"Pernah Mas. Tapi saya takut. Nanti takut yang dipakai itu malah bisa bikin kanker kulit."

Lagi-lagi jawaban yang membuat Fadhlan tersenyum sampai bisa menunjukkan urutan giginya yang putih bersih dan membuat istrinya terpana dengan ketampanan suaminya.

Sungguh sosok yang sempurna!

Beruntunglah dirinya jika dia berhasil menaklukkan pria itu untuk mencintainya suatu saat nanti.

Tapi kapan?

Gendis tidak yakin dengan tubuhnya yang seperti sekarang ini.

Sepertinya teman-teman suaminya cantik-cantik. Dan ini masih membuat dirinya minder.

"Kenapa nggak tanya sama Mas?"

"Eeemm-"

Lagi-lagi wanita itu tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan pada suaminya

Dia memang tidak pernah kepikiran untuk menanyakan hal yang seperti itu.

"Malu?"

"Iya Mas! Dan nggak enak Mas. Soalnya beli-beli kayak gitu kan mahal."

Fadhlan sebenarnya gemas dengan jawaban Gendis yang sangat polos ini.

Ya, dia tahu berapa harga barang-barang seperti itu. Tapi kan Fadhlan sudah bekerja dan selama di Jepang juga dia masih bisa mendapat penghasilan dari uang beasiswanya. Dan sebelum berangkat ke Jepang dia juga memiliki tabungan. Fadhlan bukan orang yang boros juga. Dia terbiasa menabung dari SD. Uang sakunya utuh.

Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan istrinya karena selama ini memang mereka tidak pernah mengobrol intens sebelumnya.

"Ya sudah begini saja. Mumpung kita sudah ada di Indonesia, nanti Mas carikan klinik kecantikan yang aman ya. Jadi nanti kita ambil paket di sana saja untuk membersihkan kulitmu supaya tidak belang begini."

Istriku Semanis Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang