Tiga hari kemudian.
Malam itu, Megha terlihat duduk termenung, di sofa yang melekat dengan jendela kamar barunya, atau lebih tepatnya kamar Reigha, di rumah Keluarga Mahendra.
Ia menatap sendu cincin dengan aksen warna biru tua seperti batik yang melingkari jari manisnya.
Sebuah benda, yang menjadi bukti jika kini statusnya telah berubah, menjadi perempuan bersuami, bukan lajang lagi.
Ya walaupun hidupnya tetaplah sama, sepi. Mengingat, suaminya itu dingin dan kerasnya seperti batu.
Mereka telah sah secara agama dan hukum negara sebagai suami istri, tapi, atas kesepakatan berdua, mereka menyembunyikan status itu, jadi tidak mengadakan resepsi pernikahan.
Kakek pun setuju, karena itu syarat Reigha mau menerima perjodohan. Megha lebih-lebih sepakat lagi, ia masih belum siap dengan statusnya ketika terpublish nanti.
"Kemana dia? Kamar ini justru lebih sepi dari pada kamarku sendiri," gumam Megha, mulai jenuh sendirian, menyebar pandangan, mencari sosok laki-laki yang biasa tidur di sofa.
Telepon genggamnya berbunyi, Megha beranjak dari kursi. Ia ambil benda pipih berwarna hitam itu dari atas meja.
Melihat pesan dari Finara, gadis itu tersenyum. "Bahkan Finara lebih bahagia, saat dia memamerkan tempat kosnya, di mana ia akan tinggal saat kuliah nanti. Kata Mama pernikahan ini akan membuatku tidak kesepian lagi, tapi ini justru lebih sunyi. Apa hidup memang sebercanda ini? Aku yang selalu kesepian berharap punya orang tua seperti Papa Mama Finara, eh anak ini justru mau hidup bebas, senang saat mau merasakan hidup mandiri, di tanah rantau yang jauh dari orang tuanya," batinnya merasa miris.
"Atau, apa aku yang tidak pandai mensyukuri diri?" imbuh Megha dalam hati, lagi-lagi menyalahkan diri sendiri.
Gadis itu memilih tidak menghubungi orang tuanya setelah pernikahan paksa mereka.
Benar, seperti yang ia duga, jika bukan dia yang menghubungi, tidak sekalipun orang tuanya mencari tahu, makanya hidupnya semakin sepi.
Dulu, dia masih bisa berharap, menunggu balasan di grup chat keluarganya.
Tapi, sekarang ia bahkan tidak punya satu hal pun untuk ditunggu, hidupnya kosong, tidak ada yang dia pikirkan, kecuali Kakek Rizfan, yang selalu mau mendengar perkataannya.
Hanya saja, malam ini, Kakek meminta Megha istirahat di rumah, kalau pagi, baru ia ke rumah sakit.
Megha terbangun dari lamunan. Netranya justru menangkap penampakan benda merah yang teronggok begitu saja di dekat lemari.
Ia dekati benda itu, mengambilnya. "Hmm? Pita merah maroon ini punya siapa?"
"Kenapa tergeletak di sini?" imbuhnya sambil membolak-balik kain merah, seperti slayer tapi lebih panjang.
Saat itulah, tiba-tiba suara pintu kamar terbuka terdengar. Megha menoleh, ternyata suaminya sudah berjalan ke arahnya dengan langkah cepat.
Laki-laki itu menyambar pita merah di tangannya sambil langsung marah-marah. "Kubilang jangan sentuh-sentuh barangku!"
"Paham tidak bahasa manusia, hah?" hardik pemuda dengan wajah dingin yang kini berstatus sebagai suaminya itu.
"Heh." Megha menghembuskan napas kesal. "Begitu saja marah-marah. Tadi itu jatuh di bawah, sudah diambilkan bukannya terima kasih malah marah-marah!"
"Aku tidak butuh bantuanmu. Jangan lakukan apapun. Seperti kataku dulu, aku hanya menikahimu karena paksaan kakek. Jadi jangan harap kau berhak melakukan apapun, kau bahkan tidak akan lebih berharga dari pita ini. Menyentuh pun kau tidak pantas. Mengerti?!" Reigha menatap nanar, menggenggam erat pita merah di tangannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/352621352-288-k610676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomanceNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...