"Lepas!" Megha menarik paksa tangannya, saat mereka sudah agak jauh dari warung tadi. "Kenapa sih, tarik-tarik begitu? Sakit tahu!"
"Makanya, jangan kecentilan. Bisa?" Reigha protes balik, raut wajahnya semakin kesal saja.
"Ha? Siapa yang kecentilan?"
"Kaulah. Pakai nyengir centil, senyam-senyum, sok akrab sekali."
Alis Megha sampai mengkerut. Perasaan dia tadi hanya senyum biasa, menjawab biasa juga. Bagaimana bisa dibilang kecentilan?
Namun, ekspresi wajah gadis itu berubah, tersenyum agak mengejek. "Oh.. ada yang cemburu sungguhan rupanya?"
"Cembura-cemburu. Bocil tahu apa?" Reigha meraih tangan Megha lagi. "Sudah, ayo cepat jalan, kebanyakan bicara!"
Suaminya mengomel sendiri, Megha hanya mengatupkan bibir. Matanya sesekali melihat ke arah tangannya, yang digengam Reigha dengan lebih baik, tidak sakit seperti tadi.
Laki-laki itu diam-diam mendengar perkataannya. Ya walau, dia tidak menanggapi ketika protes tadi, tapi ia perbaiki sendiri.
Sadar jika sejak tadi hanya dia yang bicara, Reigha menoleh ke kanan. Mereka pun berpandangan, Megha nyengir, tapi, ia berkata, "Kenapa kau itu, hah? Kesambet?"
"Hush. Di tempat seperti ini tidak boleh bicara sembarangan tahu...!" Megha sampai meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri.
"Sok tahu!" Reigha mengalihkan pandangan ke depan, malas berhadapan dengan gadis yang tangannya ia genggam sejak tadi.
"Ya tahulah. Aku 'kan sudah belajar banyak hal, biar bisa menyukai apa yang suamiku sukai," jawab Megha dengan riangnya.
Mendengar suami disebut, Reigha melirik sekilas ke arah istrinya itu.
Ia tidak berkata-kata, melihat Megha nyengir saja sudah membuatnya terganggu.
Dalam arti, dia mulai merasakan hal lain saat melihat senyuman yang menggemaskan istrinya dan itu yang membuatnya terusik.
"Sayangnya, aku sulit sekali memahami orangnya. Entahlah, kadang dingin, kadang perhatian, kadang menyebalkan, tapi yang jelas, karenanya aku tidak merasa kesepian." Megha menceritakan tentang suaminya, di depan orangnya langsung.
Namun, kali ini Reigha tidak menoleh. Ia dengar semua ocehan istrinya, tapi, ia tetap menatap depan, seolah tidak peduli.
Tidak ada sahutan dari suaminya, Megha melirik sekilas. Wajah tampan dengan tatapan mata dingin, seperti biasa, tidak ada perubahan.
Padahal, dia sudah berusaha bermanis-manis kata lagi. "Hmm. Apa kurang bagus ya kata-kataku? Harus begitu aku merayunya dengan gombalan maut?" celetuk Megha, sengaja sekali menyuarakan isi hatinya.
Reigha sekali lagi dengar. Tapi, laki-laki itu pura-pura tidak dengar, wajahnya tetap menatap depan, seolah sungguhan tidak peduli.
Megha jadi kesal sendiri. Bibirnya manyun, menatap wajah suaminya dari samping.
"Jalan lihat depan!" kata Reigha.
"Ya-ya. Padahal bisa bicara, kenapa tadi tidak menyahut? Atau jangan-jangan dia lagi mikir mungkin ya? Mau jawab apa begitu?" Lagi-lagi, Megha menyuarakan isi hatinya.
Suaminya tidak menyahut lagi. Suara hewan malam mulai terdengar bersahutan.
Hawa dingin pun semakin menyergap. Megha tidak lagi bisa bicara panjang lebar. Tenaganya mulai terkuras perlahan, karena setelah pekarangan warga, jalanannya naik lagi.
>
Jalanan yang tadinya batako, seperti paving rapi, kita berganti tanah dengan bebatuan.
Di depan, ada sebuah gapura, bertuliskan TAHURA R. SOERJO.
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomanceNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...