Menghibur Istri Bocil

64 2 0
                                    

Reigha keluar dari kamar Kakek Rizfan. Ia bertanya kepada penjaga di depan pintu. "Cewek tadi kemana?"

"Ke sana, Den!" tunjuk penjaga itu, ke sebelah kiri pintu.

Reigha menganggukkan kepala singkat, lalu lari, berniat menyusul Megha.

Sampai persimpangan kedua, Reigha tidak mendapati ke arah mana Megha pergi.

Pemuda itu lantas bertanya kepada seorang perawat yang berjaga di pusat informasi terdekat, sambil menunjukkan foto pernikahan mereka. "Lihat cewek ini, Sus?"

"Oh, ini cewek yang tadi menangis ya? Sepertinya ke teras, ada taman, lewat sana." Suster menunjukkan arahnya.

"Ok, makasih, Sus."

"Dengan senang hati." Suster menganggukan kepala, Reigha pergi.

Laki-laki itu menuju teras lantai tiga rumah sakit. Tidak ada orang, karena memang malam di sana suhunya dingin.

Penerangan taman itu sebenarnya estetik, dengan cahaya kuning, atap bermotif kayu.

Sebagian lantainya juga memakai rumput sintetik, kecuali jalan setapaknya.

Reigha menyebar pandangan ke sekitar, sampai matanya menangkap sosok gadis yang duduk sendirian di kursi taman paling ujung, dekat dengan pagar pembatas.

Pemuda itu berjalan santai, karena ia lihat, pundak istrinya masih bergetar, tanda masih juga menangis.

"Menangis bukan berarti kau lemah, tidak perlu sembunyi segala!" ucap Reigha, sambil duduk di sebelah Megha.

Mendengar suara yang tidak asing, Megha segera mengusap air matanya, menolehkan kepala ke samping. "Mau apa ke sini?" tanyanya ketus.

"Mau hina aku lagi, hah?" imbuhnya masih kesal, karena bisa-bisanya, tadi suaminya itu menyindir begitu keras, membuatnya tidak bisa menahan tangis lagi.

"Dasar bocil!" Reigha tidak kalah ketus, bahkan bicaranya tanpa melihat ke arah Megha. "Aku tadi membantumu bebas, dari kebodohan menipu diri sendiri karena sok kuat!"

"Bantu apanya? Jelas-jelas kau hanya mau menghina. Mana ada KaRe membantu? Yang ada itu KaRe menyebalkan!" Megha justru mengomel sendiri.

Reigha diam, santai sekali melihat pemandangan kota dan langit malam, meskip lapisan polusi masih juga terlihat.

Kini, justru Megha yang menoleh ke arahnya, membatin, "Kenapa diam coba? Aneh!"

Ya, laki-laki penikmat langit itu tenang sekali. Rambutnya tertiup hembusan angin, matanya seolah tidak berkedip, fokus sekali.

Megha justru salah fokus jadinya. Ya, ekspresi dingin laki-laki itu agak sedikit berkurang, lebih manusiawi begitu, tidak seperti robot.

Saking fokusnya, beberapa detik kemudian, barulah Reigha menoleh.

Megha buru-buru mengalihkan pandangan, takut ketahuan sejak tadi memandangi wajah suaminya itu.

"Kenapa berhenti ngomelnya?" tanya Reigha.

"Ha? Dia nunggu aku ngomel?" batin Megha sambil menyipitkan mata.

"Apa lirik-lirik? Lanjut saja ngomel, lepaskan semua beban. Jangan malah jatuh cinta!" ketus Reigha.

Bibir Megha seketika naik satu sisi. "Siapa juga yang jatuh cinta, hah? Gara-gara kau, aku yang tadinya sedih jadi darah tinggi!"

"Ya periksa sana kalau darah tinggi. Kenapa protes kepadaku begini?"

Bibir Megha semakin manyun, sungguhan, rasa sedihnya tadi berubah kesal yang luar biasa sekarang. "Dasar KaRe menyebalkan!" lirihnya.

"Aku dengar!"

ReiGhaRa : Never be an optionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang