< Sampai di pos dua lagi >
"Lho tidak jadi pulang?" tanya Megha, karena suaminya tampak asik menyeduh kopi, menikmati pemandangan sore itu.
"Besok pagi," jawab Reigha singkat, tanpa menoleh.
Laki-laki itu duduk di teras tenda, menatap ke depan, di mana pemandangan puncak Gunung P terlihat.
Wajahnya tampak seolah tidak peduli saat menjawab tadi, tapi, ia sebenarnya menunda pulang juga karena Megha kelelahan sekali tadi, cuma tidak bilang saja.
Megha pun duduk di sebelah suaminya, menyilangkan kaki. Ia melongok ke samping tenda, tidak ada Mey terlihat.
"Kak Mey di mana?" tanyanya kepada sang suami.
"Jangan tanya-tanya, masak sana!" ketus suaminya.
Megha mendengus. Tapi, ia tersenyum, kali ini suaminya membiarkannya masak. Apa dia tidak salah dengar?
Tadi pagi saja, dia tidak boleh sentuh apa-apa, hanya menonton, sesuai perintah, biar Reigha tidak marah.
"Ok, aku masak!" ucapnya dengan nada suara antusias.
Gadis itu mengeluarkan tes nesting, kompor dan bahan-bahan makanan.
Ia pun memasak nasi, tapi, Reigha menambahi airnya lebih banyak.
"Eh-eh --!" Megha protes, suaminya hanya berkata ketus, "Kau mau makan nasi mentah, air cuma segitu tadi?"
"Ya maaf."
Kalau di gunung, kebutuhan airnya berbeda dari menanak nasi di rumah. Megha baru tahu, jadi ia menurut.
Sambil menunggu nasi matang, ia memanaskan laut siap makan dalam kemasan.
Namun, karena minyak menciprat-ciprat, ia takut-takut, mendekatkan tangan. "Aduh-aduh!" keluhnya.
"Hah." Reigha menghembuskan napas.
Ia raih sendok dari tangan istrinya, mengambil alih.
"Eh, awas tanganmu, Kak!" kata Megha.
Suaminya tidak menyahut. Akhirnya, ia paham, kenapa Reigha tidak membiarkannya memasak tadi.
"Maaf," celetuknya.
Reigha melirik, seolah bertanya maaf apa?
Megha justru nyengir. "Hehe. Terima kasih sudah dimasakkan, lain kali aku akan belajar."
Reigha hanya geleng-geleng kepala, mengalihkan pandangan. "Dasar bocil aneh, pakai nyengir segala lagi!" batinnya.
"Atau ajari aku ya, Kak? Gimana caranya, kok tidak takut begitu sama minyak?"
"Malas!"
"Hmm. Padahal kalau aku mandiri kan bisa membantumu. Lain kali, kalau kita naik gunung lagi."
"Siapa juga yang mau mengajakmu?"
"Ya aku yang memaksa ikut. Susah sekali."
Reigha melirik tajam ke arahnya. Megha hanya senyum, mengedipkan mata, memasang ekspresi polosnya.
"Kau ganggu aku sekali lagi, awas saja!" ancam suaminya.
Megha hanya memanyunkan bibir. "Aku itu tidak mau mengganggu. Orang aku hanya menepati janjiku saja."
"Janji apa?"
Megha mendekatkan diri, membisikkan ke telinga suaminya. "Janji mendekatimu. Sampai aku tidak jadi pilihan terpaksakan lagi bagimu."
Dahi Reigha mengernyit. "Heh. Berhentilah, atau kau akan menyesalinya!"
"Tidak mau." Megha menjawab dengan santai. "Kali ini, aku akan berjuang, selagi aku masih bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomansaNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...