"Hehe." Megha nyengir, menggaruk area hijab di mana tengkuknya berada. "Kak Rei galak, Kak. Aku takut mau tanya pun, dia pendiam sekali."
Mey terkekeh mendengar jawaban polos Megha. "Kau itu sungguhan adiknya Reigha, atau adik-adikan sih?"
"Adik-adikan bagaimana?" Megha pura-pura lebih polos lagi, biar Mey tidak tanya lagi.
Dan ya, berhasil. Perempuan dengan wajah agak chinese itu menyerah sendiri. "Terserah kalian lah. Yang jelas sih, ini setahuku, dia kalau ke gunung ini ya ke tempat itu saja. Katanya, ada kenalannya yang pernah jatuh di jurang dekat sana."
"Ha?" Mata Megha membulat, terkejut sekali mendengarnya. "Kenalan siapa, Kak? Maksudnya jatuh ke jurang terus meninggal begitu?"
Mey menyeruput kopinya. Ia lantas menganggukkan kepala. "Ya. Setahuku begitu. Tapi, aku tidak tahu jelasnya, Reigha tidak pernah mau bilang."
"Hmm. Apa pacarnya ya, Kak?"
"Aku tidak tahu. Sejak pertama ketemu dia di gunung ini, dia sudah begitu."
"Kapan pertama kali ketemu, Kak?"
"Ehm.." Mey terlihat mengingat ingat, matanya sedikit memicing. "Mungkin dua tahun lalu. Kenapa? Kau itu macam detektif saja tanyanya."
"Hehe." Megha nyengir lagi. "Maaf ya, Kak. Aku memang agak-agak kepo kalau soal Kak Rei. Habisnya misterius sekali jadi orang."
"Santai saja. Sekarang aku paham kenapa Rei memanggilmu bocil."
"Kenapa? Aku masih anak kecil sekali ya, Kak?"
"Ehm."
Megha melipat bibirnya kecewa. Bisa-bisanya perempuan itu menganggukkan kepala tanpa sedikitpun berpikir, seolah tidak ada yang perlu diragukan lagi begitu.
"Sudah, bocil-bocil kau sudah menang banyak dibanding perempuan lain!" celetuk Mey tiba-tiba.
Megha keceplosan. "Benarkah?"
Gadis itu tidak sadar, jika ia telah menjawab pertanyaan Mey tentang adik macam apa dia bagi Reigha dengan bertanya begitu.
"Ehm." Mey menjawab santai. "Aku tidak pernah melihat Reigha ke sini dengan perempuan. Kau yang pertama. Menang telak dari perempuan manapun, 'kan?"
"Iya sih. Tapi, aku yakin deh, kenalan tadi pacarnya. Atau orang yang sama dengan pemilik pita merah itu?" Suara Megha melemah.
"Kalau pita merah, sepertinya lebih istimewa lagi."
"Kok bisa?" Suara Megha semakin sedih saja terdengarnya.
"Aku pernah lihat sih, pita merah itu dari Rei kecil sudah ada. Kau tidak lihat di medsosnya?"
"Aku tidak suka main medsos, Kak." Megha berkelit, dari pada ketahuan tidak tahu medsosnya Reigha justru Mey semakin curiga nanti. "Tapi nanti lah, waktu turun aku buat, hehe."
"Ya-ya. Tuh!" May menunjuk dengan gerakan kepala, ke arah timur.
Megha menoleh, ternyata, semburat orange jingga mulai terlihat muncul dari kegelapan langit.
Puncak Gunung P yang tadinya terlihat samar, perlahan mulai jelas.
Ya, Puncak Gunung P memang tingginya sekitar 1600-an mdpl, masih lebih tinggi dibanding ketinggian pos dua, yang berkisar 1500-an mdpl.
Sama seperti pendaki lain, Megha yang baru pertama melihat sunrise di gunung terkagum.
"Pantas Kak Rei suka ke sini," gumamnya.
"Di atas lebih bagus lagi," celetuk Mey.
"Benarkah?"
"Ehm. Persiapkan fisikmu, baru minta antar Rei ke sana. Kau pasti akan lebih terkagum lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomanceNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...