"Percaya diri sekali kau ini, hah?" Reigha masih juga menyahut dengan ketusnya.
"Iyalah, orang jelas-jelas kau itu sedang memandangiku, sampai melamun tadi." Bibir Megha terlihat sekali sedang mengejek suaminya.
"Siapa yang memandangimu, hah? Aku itu cuma melihat apa yang ada di belakangmu."
Megha seketika membalikkan badan, melihat ke belakangnya, karena sudah penasaran, apa yang di belakangnya?
Jangan- jangan hantu atau penampakan lagi? Ia sih sudah pernah baca, jika kadang memang orang yang pertama kali naik gunung itu seperti punya pengalaman yang beda, seolah sedang mendapat sambutan dari penghuni gunungnya.
Namun, sudah merinding-merinding, eh, tidak ada apa-apa di belakangnya.
Megha mendengus, membalikkan badan lagi, mau protes kepada suaminya. "Tidak ada --"
Perkataannya tercekat, saat tidak mendapati suaminya di tempat semula berdiri.
Ternyata, Reigha sudah melanjutkan jalan. Megha semakin kesal. "Dasar menyebalkan!" ucapnya sambil menghentakkan kaki ke tanah.
Lantas, angin berhembus, membuat bulu kudu nya merinding lagi.
Ia melirik ke kanan dan kiri, kemudian memegangi tengkuk dan segera beranjak, menyusul sang suami. "Hi...!"
Reigha sendiri tersenyum tipis mendengar gadis itu mulai ketakutan, senyum yang jarang sekali.
Ia sendiri mungkin tidak sadar, jika telah tersenyum begitu. Tapi, baginya cukup menyenangkan mengerjai istri bocilnya.
"Hei, tunggulah. Jahat sekali main tinggal-tinggal saja!" protes Megha saat sudah berhasil menyusul Reigha.
Padahal, tadi suaminya itu sudah memperlambat langkah, biar ia bisa segera menyusul.
Ya, laki-laki itu tidak peduli, beban di punggungnya yang berat, tetap melangkah perlahan, demi jarak mereka tidak terlalu jauh.
Tidak ada jawaban dari suaminya, Megha bertanya lagi, dengan percaya dirinya. "Mengaku saja lah. Kau sudah tertarik kepadaku, 'kan?"
"Diamlah, kau itu cepat lelah karena kebanyakan bicara. Tahu?!" Lagi-lagi Reigha mengelak dari pertanyaan itu.
"Alasan, kalau sudah ketahuan saja, pasti langsung mengalihkan pembicaraan!"
"Heh. Sok-sok an, bilang mengalihkan pembicaraan. Bocil tahu apa, hah?"
Megha buru-buru mempercepat langkah kakinya. Ia sengaja sekali jalan di depan Reigha, kemudian jalan mundur, biar bisa menatap laki-laki yang sedari tadi bicara sambil hap depan saja itu.
"Ye... bocil-bocil begini aku itu masih peka. Kau sudah tertarik kepadaku, jangan-jangan bahkan sudah jatuh cinta, tapi tidak mengaku. Ya, 'kan?" Setelahnya, kaki Megha justru tersandung batu. "Eh-eh!"
Tangan gadis itu sudah bergerak seperti kepakan kupu-kupu. Reigha reflek, melangkah lebih cepat dan segera meraih tangan istrinya, menariknya ke pelukan agar tidak jatuh ke belakang.
Untuk beberapa saat, Megha merasa sangat gugup. Itu bukan pelukan mereka yang pertama kali, tapi, kali ini berbeda saja rasanya.
"Hangat, kok bisa laki-laki dingin sepertinya punya pelukan sehangat ini?" batin Megha heran. Rasanya ia tidak mau melepaskannya.
Saat ia mau bicara, Reigha lebih dulu merengkuh kedua lengannya, membuatnya menjauh. "Kau itu kenapa ceroboh sekali, hah?"
"Jalan yang benar, bisa, 'kan? Merepotkan saja!" imbuh Reigha marah-marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomanceNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...