Malam hari.
Di rumah sakit, Megha sudah duduk di kursi, dekat dengan Kakek Rizfan.
Reigha seperti biasa, duduk dengan kaki berselonjor, tiduran malas sendiri.
"Hmm. Apa seperti itu juga kelakuannya di rumah?" tanya Kakek Rizfan setelah melihat perangai cucunya.
"Kakek jangan mengalihkan pembicaraan," rengek Megha, menatap dengan wajahnya yang masih sembab.
"Padahal, ada baiknya kau tidak tahu, Nak. Karena mungkin, ini hanya akan menimbulkan rasa sakit yang lebih besar di hatimu."
"Heh. Orang tua dimana-mana sama, sesuka hati, seolah paling Tuhan, paling benar, menetapkan ini itu buat anaknya!" celetuk Reigha dengan nada kesal, tanpa membuka mata.
"Jaga ucapanmu, Rei!" sergah Kakek Rizfan ketus.
"Maaf, Kek. Tapi, nyatanya aku lebih sakit, karena tidak tahu apa-apa, begini. Jadi kumohon, jangan ada yang disembunyikan lagi. Tolong katakan, apa yang terjadi." Kali ini Megha sependapat dengan Reigha.
"Baiklah, Nak. Kalau kau bersikeras, tapi, kakek tidak akan bercerita, karena nyatanya, kakek hanya tahu sedikit. Mungkin, surat dari Mamamu bisa menjelaskan lebih baik."
Megha mengernyitkan alisnya. "Surat, Kek?"
"Ehm." Kakek Rizfan mengangguk. Ia menunjuk ke laci meja. "Itu, tolong kau ambil suratnya di laci itu, Nak."
Megha yang penasaran segera beranjak dari tempat duduknya. Ia menarik pegangan laci, hingga sebuah surat dengan amplop putih terlihat.
Ia ambil amplop itu, membawanya kembali duduk. Kakek Rizfan mengangguk tipis, saat Megha menatapnya. "Bacalah, Nak. Ibumu meminta kakek memberikannya saat kau tahu, jika ia telah pergi."
"Pergi? Tapi, Mama tidak --"
"Tidak, Nak. Fisiknya baik, tapi jelas mental dan perasaannya tidak baik-baik saja, belasan tahun terakhir ini."
Megha menghela napas, seolah sudah punya firasat jika desas desus itu benar adanya.
Gadis itu memberikan diri, membuka surat yang masih tersegel.
Reigha walaupun pura-pura tidur, tapi diam-diam mendengarkan juga sejak tadi.
"Huh...!" Megha menghembuskan napas, mulai membuka satu lembar surat di kertas putih, membacanya.
.
[Isi Surat Mama Megha]
Teruntuk putriku, Megha.
Maaf, Sayang. Jika kau membaca surat ini, maka itu berarti, Mama telah pergi.
Entah, apa Mama masih berhak untuk meminta maaf kepadamu. Tapi, Nak. Izinkan Mama untuk tetap mengucapkannya.
Maaf, karena Mama, kau harus menderita, kesepian dan terabaikan.
Maaf juga, karena Mama harus meninggalkanmu seperti ini, tanpa pamit, tanpa kau ketahui.
Mama tidak punya pilihan. Mama tahu ini bukan salahmu, kau hanya korban.
Tapi, Mama sudah mencoba, berusaha selama belasan tahun, tetap saja tidak bisa, Nak.
Entah apa baik Mama bercerita begini. Tapi, suatu saat kau memang harus tahu.
Bukan kau yang tidak Mama inginkan, hingga membuatmu kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ReiGhaRa : Never be an option
RomansaNEVER BE AN OPTION! Gelimang harta tidak serta merta membuat Megha Padma Wisesa bahagia. Di tengah pengabaian orang tuanya, gadis penuh luka itu justru terpaksa menikah dengan Reigha Mahendra, laki-laki dingin, cucu dari seorang pebisnis sukses bern...