Episode 9

660 35 0
                                    

FAHIM POINT OF VIEW

Dio kalau udah ketemu es krim makanya nggak ada aturan, tadi udah habis satu mangkuk makan di tempat terus sekarang di dalam mobilnya Mas Mirza lagi makan satu kotak yang dibungkus bawa pulang. Setelah ini kalau Dio makan lagi aku harus ngelarang soalnya kasihan perut sama giginya.

Habis belanja bahan makanan, aku tadi ke toko es krim dan sekarang dalam perjalanan pulang diantar Mas Mirza. Dalam mobil ini sama sekali nggak ada namanya keheningan, Mas Mirza terus ngajak ngobrol aku entah Dio sampai kadang kami ketawa karena ceritanya.

Sampai nggak kerasa udah di depan rumah aku, segera aku turun dari mobil dan membawa barang-barangku. Dio tetap berdiri nggak jauh dari aku sambil menjilati sendok es krimnya.

“Sini yang berat biar aku yang bawa.” Mas Mirza bahkan membantuku membawa barang belanjaanku.

“Makasih ya Mas.”

Kami akhirnya masuk rumah lalu aku taruh belanjaan di meja dapur. Syukur sekarang sudah banyak bahan makanan jadi aku bisa masak lagi nanti. Mas Mirza duduk di kursi meja dapur ditemenin Dio yang masih makan.

“Mau kopi apa teh Mas? Biar aku buatin?” tawarku ke Mas Mirza, kasihan kan kalau nggak tawarin minuman soalnya udah bantu aku bawa barang.

“Kopi deh.” Balasnya.

Segera aku buatin kopi buat Mas Mirza, setelah itu aku taruh di depannya. Aku nggak langsung duduk gitu aja tapi aku mau nyicil nyimpan bahan makanan. Mas Mirza masih duduk karena aku nggak izinin buat bantu soalnya kan mudah juga.

“Suami kamu pulang jam berapa?” tanya Mas Mirza padaku.

Aku yang baru naruh ikan di kulkas sambil ngebalas ucapanya. “Kadang sore kadang juga malam, tergantung kesibukanya.”

“Terus kamu di rumah berdua aja sama Dio?” tanyanya lagi.

“Iya, kadang itu ada orang kompleks sini yang bersihin rumah sama nyuci.”

Sesekali Mas Mirza menyerutup kopinya, karena masih panas jadi perlahan-lahan. “Kalau butuh temen buat nemenin main sama Dio, bilang aja ke aku.”

Dio yang dengar langsung tanya ke Mas Mirza. “Om mau main sama Dio? Dio punya robot-robotan loh.” Diletakannya kotak es krim di atas meja, sekarang Dio pergi entah kemana.

“Anak kamu lucu banget.” Ujar Mas Mirza sambil tersenyum melihat Dio lari.

Nggak lama kemudian Dio kembali bawa dua robot transformer yang dibelikan Papanya dua minggu lalu. “Ini robotnya Dio, Om mau main nggak?” tanya Dio.

“Boleh.” Mas Mirza udah kayak anak kecil, sekarang nemenin Dio main sampai teriak-teriak nggak jelas. Bahkan aku udah selesai menata bahan makanan, semuanya udah rapi.

Aku lihat udah pukul dua siang ternyata, pantas aku lumayan lapar. “Ada yang lapar nggak?” tanyaku ke mereka.

“Diooo!” Dio yang lebih dulu menjawab.

“Mau makan apa?”

“Ikan goreng!” Dio masih aja ingat dia mau minta ikan goreng.

Aku beralih ke Mas Mirza yang diam sambil senyum melihat Dio yang begitu aktif sejak tadi. “Kamu Mas mau makan apa?”

“Samain kayak Dio aja.” Balasnya.

“Om tau nggak ikan goreng buatannya Baba enakkkkk banget.” Aku menggelengkan kepala sambil senyum lihat kelakuan Dio. Begitu juga Mas Mirza mengacak rambutnya Dio.

Sekarang aku mulai masak ikan goreng dan beberapa lauk lainya. Waktu aku mau goreng ikan, tiba-tiba aja Mas Mirza mendekatiku terus aku lihat dia menggulungkan kemejanya. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya dia.

Aku lihatin Mas Mirza sejenak, mungkin emang dia yang berkharisma jadi aku sampai ngelamun lihatnya. “Him?” panggilan Mas Mirza membuatku sadar, aku jadi salah tingkah karena ngelamun di depannya.

“Nggak usah bantuin mas, nanti baju kamu kotor.”

Bukanya duduk, malahan Mas Mirza ambil piring terus nungguin di samping. Aku ketawa lihat Mas Mirza bawa piring biasa. “Piringnya bukan itu tapi yang persegi empat tuh, yang kamu bawa itu buat makan”

Mas Mirza kembali dengan piring barunya. Makan siang udah siap, aku mengambilkan makanan ke Mas Mirza dan juga Dio. Makanan masih panas kadang aku meniupkan ikan gorengnya Dio. “Pantes Dio bilang enak, emang juara kalau ini.” Puji Mas Mirza pada makananku.

“Kalau enak ditambah lagi aja.” Suruhku.

Aku nyuapin Dio nggak bawa sendok soalnya susah kalau makan ikan. Ternyata Mas Mirza juga samaan nggak pakai sendok, kelihatan banget lokalnya. “Kalau aku makan ikan palingan beli itu juga nggak enak banget, tapi buatan kamu enak. Apalagi kalau di masakin.” Lanjut Mas Mirza.

Entah untuk kata terakhir dari Mas Mirza mengingatkanku, berarti Mas Mirza selama ini hidup sendiri kalau nggak ada yang masakin. “Om kalau makan kesini aja kan ada Baba yang masak. Boleh kan Ba?”

Lamuanku terbuyar karena Dio. “Iya boleh.”

“Tuh kan Baba aja bolehin, nanti kita makan sama-sama. Ada Baba ada Papa ada Om Rama ditambah Om Mirza jadi Dio senang deh.” Ucap Dio masih sempatnya makan sambil bicara.

Mas Mirza mengambil minumnya lalu menelan makanannya. “Om Rama? Dia siapa?” tanya Mas Mirza.

“Temennya Mas Anton, dia tidur di sini soalnya pindah kerja ke daerah sini.” Jawabku.

“Temen? Kenapa nggak ngekos aja atau ngontrak rumah gitu.”

Aku juga nggak tau soal alasan itu, waktu Mas Mirza terus menatapku aku harus jawab sebisaku. “Mungkin belum terbiasa aja disini, lagian ada kamar kosong jadi bisa di pakai.”

Mas Mirza mengangguk lalu melanjutkan makan sampai selesai. Akhirnya kami makan begitu kenyang, sekitar jam tiga sore Mas Mirza izin buat pulang. Aku sama Dio mengantar sampai ke luar rumah.

“Dadah Om Mirza!!” teriak Dio sambil melambaikan tanganya.

“Hati-hati.” Ujarku dan mobilnya Mas Mirza berlalu dari rumahku.

Aku dan Dio kembali masuk ke dalam, aku hendak merapikan meja makan tapi alhasil aku lihat jas milik Mas Mirza yang ketinggalan. Waktu aku mau ambil jasnya, sesuatu jatuh dari saku jas milik Mas Mirza. Syukurnya itu hanya dompet, tapi karena dompetnya terbuka aku lihat beberapa isinya.

Sesuatu yang nggak pernah aku duga ialah foto polaroid kecil aku sama dia waktu kami masih pacaran dulu dan sebuah cincin di dalamnya. Aku tidak menduga kalau Mas Mirza masih menyimpan foto itu tapi cincin itu punya siapa?

---

Menetap Diantara Cinta Mereka [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang