Episode 25

290 38 0
                                    

FAHIM POINT OF VIEW

Pernyataan Mas Mirza yang masih punya perasaan ke aku semakin membuatku bingung. Dua hari ini aku belum ngasih jawaban pasti buat Mas Mirza walaupun dia sering ngunjungin aku sama Dio. Mungkin sebelumnya aku nggak pernah bayangin Mas Mirza tapi dua hari ini pikiranku penuh denganya.

Lalu soal aku bakal beneran pisah sama Mas Anton udah aku putuskan sekarang, aku mau pisah sama dia. Hari ini aku mau ke kantornya buat bicarain soal perpisahanku. Soal Dio aku nggak mau ambil pusing kalau emang Mas Anton mau ambil hak asuh aku izinkan.

Dalam mobil ini aku lagi menuju ke kantornya Mas Anton sama Dio. Lama aku nggak pernah main ke kantor dan rasanya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Sesampainya di kantor, aku dan Dio segera masuk ke dalam. Seperti biasa banyak karyawan bakal menyambutku dengan penuh kehormatan.

“Papa di kantor nggak ya?” tanya Dio di dalam lift. Sesekali dia memasang ekspresi aneh di pantulan besi lift.

“Dio kangen sama Papa?” tanyaku.

“Kangen, Papa kan dulu sering pulang tapi sekarang enggak.” Jawaban Dio mampu menyentuh ulu hatiku. Samar-samar keinginanku buat pisah sama Mas Anton dihantui oleh keadilan buat Dio.

Lift berhenti menandakan kami sudah sampai di lantai atas dimana kantor Mas Anton berada. Aku segera menggandeng tangan Dio lalu berjalan menuju pintu ruanganya. Aku dengar sedikit ada pembicaraan di dalam entah dengan siapa tapi aku bersiap buat membukanya.

Sewaktu aku membuka pintu, pandangan Mas Anton dan asistenya segera tertuju padaku. “Papa!” Dio langsung berlari menghampiri Mas Anton.

Asisten yang baru bicara sama Mas Anton tersenyum padaku lalu dia hendak keluar tetapi aku cegah lebih dulu. “Nanti ajak Dio keluar sebentar ya, aku mau bicara sama Mas Anton,” ujarku.

“Baik Mas.” Balasnya.

Akhirnya di dalam ruangan Mas Anton hanya ada aku, Mas Anton, dan Dio yang lagi dipangku oleh Papanya. “Kamu kenapa nggak bilang kalau mau kesini.” Ujar Mas Anton.

“Maaf jadi dadakan, aku mau bicara sama kamu.”

Seperti Mas Anton udah paham dengan situasi. Dia segera membujuk Dio agar mau main sama asistenya. Untung aja Dio nggak rewel jadi dia mau sama asistenya dengan iming-iming beli es krim sebanyak mungkin.

Mas Anton kembali, dia ambil duduk di sebelahku. Begitu Mas Anton memandangiku, aku yang mau bicara menjadi gugup. Sejenak aku menundukan kepala lalu sesekali mengedarkan pandanganku dari Mas Anton.

“Aku mau pisah sama kamu Mas.” Kulihat Mas Anton yang masih menatapku. “Aku pikir ini emang terbaik buat aku.”

Saat kami ngak ada jarak, aku lihat Mas Anton memejamkan kedua matanya. Tanganya memijat dahi dan sedikit helaan nafas kasar darinya. Nggak ada balasan sama sekali dari Mas Anton membuatku ngerasa kurang nyaman.“Mas?” kupanggil Mas Anton karena dia sama sekali nggak menanggapi ucapanku.

“Aku bener-bener nggak bisa Him.” Akhirnya Mas Anton membalasnya, dia menatapku. “Aku nggak bisa pisah sama kamu.”

Kupegang tanganya Mas Anton, aku genggam selagi masih bisa. “Maaf buat keputusan aku, tapi aku tetap mau pisah sama kamu. Setelah itu kamu bisa bahagia sama orang lain.”

Mas Anton mengangkat wajahnya, menatapku dengan pilu. “Aku bahagia sama kamu Him, aku bahagia punya kamu sama Dio.”

Aku nganggukin kepala mencoba memahami perasaan Mas Anton. “Aku juga bahagia Mas punya kalian tapi itu dulu, kalau kamu nggak egois tolong ngertiin perasaan aku.”

Kulepaskan genggamanya Mas Anton lalu aku bernjak dari tempat duduk, sebelum aku benar-benar keluar aku berhenti terlebih dahulu untuk mengatakan sesuatu padanya. “Kamu bisa ambil hak asuh buat Dio, aku nggak mau memperpanjang masalah. Makasih udah jadiin aku Babanya Dio, aku bakal terbuka terus buat kamu sama Dio.”

Aku hanya bisa lihat punggungnya Mas Anton, dia sama sekali nggak bergerak. Setetes air mata turun dariku, berat rasanya buat mengatakan ini. Akhirnya aku pergi dari kantornya Mas Anton, di dalam lift aku menangis. Entah menangis untuk penyesalan atau kesedihanku, aku hanya sedang tidak baik-baik saja.

Sempatkan aku mengirim pesan ke asistenya Mas Anton supaya Dio biar bersamanya lebih dulu. Setelah dari kantornya Mas Anton aku kembali ke apartemenku tetapi selama perjalanan rasanya  aku terus ngerasa sedih, aku nggak pernah bayangin bakal pisah sama Mas Anton tetapi takdir memang berkata lain.

Sesampainya di apartemen, semuanya terasa aneh. Sepi, sunyi, tidak ada suara ocehan kecil yang setiap hari aku dengarkan, aku kangen sama Dio.

Aku kuatkan diriku sendiri, mulai sekarang aku akan membiasakan diri hidup tanpa Dio, tanpa Mas Anton juga. Aku juga harus memberitau Ayah terkait ini, mungkin aku bakal secepatnya pulang ke rumah Ayah lagi.

Sore ini aku sama sekali nggak keluar apartemen, aku menunggu Mas Anton mengirim pesan atau menelfonku siapa tau Dio mau bersamaku. Tetapi sampai sore ini bahkan nggak ada kabar sama sekali.

Suara bel apartemen membuatku segera membukanya, ku kira itu adalah Dio tetapi ternyata Mas Mirza yang seperti baru saja pulang kerja. “Hai, aku bawa cemilan buat Dio.”

Aku tersenyum di depan Mas Mirza, ku ajak masuk terlebih dahulu. “Dio mana?” tanya Mas Mirza lagi.

“Dio sama Papanya.” Balasku.

Mas Mirza seperti mengerti kondisiku, tetapi aku tetap memperlihatkan senyumanku. “Aku udah bilang sama Mas Anton kalau aku bener mau pisah, aku juga ngasih hak asuh Dio buat Mas Anton.”

Kuceritakan apa yang hari ini aku lakukan kepada Mas Mirza. Dia hanya menatapku sambil tersenyum seperti sedang menyemangatiku. “Aku kangen Dio Mas.” Tetapi detik berikutnya aku meneteskan air mataku, aku kembali teringat semua kenangan yang sudah banyak aku lakukan.

“Aku kangen lihat Dio, ketawanya Dio, nangisnya Dio, aku nggak bisa hidup tanpa Dio Mas. Dio anakku.” Tangisanku pecah di samping Mas Mirza.

Mas Mirza mendekatiku, memeluk aku disaat aku ngerasa benar-benar sedih. Hari ini hari terberat buat aku, baru setengah hari aku nggak lihat Dio, belum nanti saat aku sudah benar-benar pisah sama Mas Anton.

---

Menetap Diantara Cinta Mereka [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang