Episode 14

590 47 3
                                    

FAHIM POINT OF VIEW

Tiga jam lamanya aku dan Dio berpindah-pindah transportasi demi sampai di kota tujuanku. Terakhir aku memesan taksi karena mengingat Dio yang sudah kepanasan dan begitu lelah. Pukul setengah dua siang aku sampai di depan rumah yang masih dengan warna cat yang sama yaitu putih dan biru muda.

Aku turun dari taksi sambil menggandeng tangan Dio yang berjalan di sampingku. Aku masuk ke dalam gerbang dan kulihat rumput halaman depan seperti baru saja di bersihkan. Kulihat pintu depan terbuka tetapi kursi depan rumah tidak ada orang sama sekali.

Aku rindu rumahku, orang tuaku, dan semua kenangan yang aku ciptakan disini. Hingga seseorang yang membawa koran keluar dari dalam rumah melihatku berdiri di depanya. “Kakek!” teriakan Dio membuatku tak hentinya tersenyum melihat Ayahku yang mulai berjalan dengan cepat mendatangi kami.

Begitu sampai, Ayah langsung mencium Dio dan menggendongnya. “Cucu Kakek udah besar aja.” Ujar Ayah sambil memandangi cucu satu-satunya.

“Buk! Cucunya datang ini!” teriakan Ayah begitu nyaring di pendengaranku.

Tidak lama kemudian Ibu keluar dari rumah dan langsung menghampiriku. “Fahim?” langsung kupeluk Ibu hingga aku hendak menangis melihatnya. Sudah lama aku tidak pulang ke kota aku di besarkan, ini baru aku bisa menemuinya tanpa harus menunggu Mas Anton libur.

“Aduh cucu Nenek udah besar aja.” Ujar Ibu sambil mencubit pipinya Dio.

“Kasihan cucu Kakek kepanasan, masuk aja yuk.” Suruh Ayah.

Aku jalan di belakang sama Ibu, sejenak Ibu menanyakan kedatanganku ke rumah. “Nggak sama Anton?” tanya Ibu.

“Enggak, Mas Anton masih ada kerjaan jadi belum bisa kesini.” Balasku.

“Jadi kamu naik apa kesini?”

“Kereta terus kesininya naik taksi.” Ibu seperti terharu mendengarnya. Ibu membawakan tas aku dan Dio ke dalam.

Dio yang tadi sempat lelah di perjalanan, sekarang seperti semangat kembali dengan berceloteh di depan Kakeknya. Tidak heran juga jika Ayah begitu rindu cucunya. Aku duduk di samping Ayah yang masih setia mendengar Dio berbicara. “Ayah kamu dari kemarin bilang kangen sama Dio, kapan ke rumah Dio lagi eh kamu tiba-tiba aja muncul.” Ibu yang baru datang sambil bawa minuman langsung memberitahu aku soal Ayah yang merindukan Dio.

“Syukur aku pulang Bu jadi kalian nggak harus repot-repot buat pulang pergi.”

“Dio tadi lihat kuda di pasar Kek.” Ujar Dio yang masih aku dengarkan.

“Kuda? Nanti Kakek ajak Dio naik kuda ya?” Ayah masih aja ngeladenin Dio bahkan ngajak Dio naik kuda, kalau udah tau Dio pasti nggak bakal lagi ngajakin. “Ngangenin aja cucu Kakek nggak pernah lihat.”

Waktu aku lagi istirahat sambil rebahan di sofa, tiba-tiba aja Ayah tanya soal Mas Anton. “Suami kamu masih kerja terus?” tanya Ayah.

“Iya, Mas Anton sibuk jadi nggak ikut aku pulang.” Jawabku begitu asal.

“Ngomong sama dia nggak usah kerja terus, sekali-kali berkunjung ke sini.” Suruh Ayah dengan nada tegasnya.

Memang Ayah dulu pernah berat nerima Mas Anton saat dia mutusin buat ngelamar aku bahkan dari semenjak aku pacaran dengan Mas Anton. Aku yang notabenya lahir di keluarga yang semuanya terbilang rajin, dan menaati semua aturan yang di buat. Tentu Ayah menolak mentah-mentah hubungan aku sama Mas Anton yang dulu kelihatan nakal. Nggak tau kalau sampai sekarang Ayah masih aja tegas kalau sama Mas Anton padahal udah di ambil hatinya buat ngerestuin aku sama Mas Anton.

“Iya Yah nanti aku sampaikan.” Aku dan Dio di rumah ini ngerasa senang, aku yang tidak lagi sedih dan Dio yang tidak henti-hentinya bermain dengan Ayah. Oh iya aku punya adik perempuan namanya Lisna Ardiyan yang sekarang sudah semester akhir katanya tinggal nunggu wisuda.

Jadi Ayah dan Ibu nantinya bakal ditemenin sama Lisna di rumah ini. Malam ini kami sekeluarga terasa begitu hangat bersama, secangkir teh dan gorengan yang Ibu buat membuat kehangatan keluarga kami begitu terasa.

Dio bermain dengan tantenya, bahkan hari ini aku sama sekali nggak ngurus Dio. Malahan di urus sama Kakek dan Neneknya. “Baba! Tante Lisna jahat!” Dio teriak sambil lari menghampiriku.

“Jangan takut-takutin ah!” ujar Ibu ke Lisna.

“Enggak, Dio tadi yang gigit aku.” Balas Lisna.

Dio memelukku begitu erat, takut tantenya bakal menggigit balik Dio. Sampai malam kami masih setia menunggu tayangan tv hingga Dio tertidur di pangkuanku.

“Bawa ke kamar sana terus tidur, kelihatan capek gitu.” Suruh Ibu ke aku. Segera aku angkat Dio menuju kamarku dulu. Kamarnya sudah dirapikan sama Ibu dan tinggal aku pakai aja. Karena memang aku sudah ngantuk jadi aku putuskan buat tidur juga, sebelum itu aku menghidupkan ponselku.

Baru saja hidup, aku sudah mendapati belasan pesan dan telfon dari Mas Anton. Aku tidak ingin membukanya lebih dulu, aku biarkan tergeletak di meja dan aku tinggalkan.

Malam ini aku benar-benar jauh dari Mas Anton, jauh seperti yang aku harapkan. Aku merasa lebih baik daripada saat aku di rumah. Aku merasa lebih tenang dengan keluar dari masalahku. Walaupun hanya satu hari ini aku merasa bahagia karena mungkin saja besok tidak akan sebahagia ini.

Pintu kamarku terbuka, memperlihatkan Lisna yang masuk membawa selimut motif bunganya. “Pakai yang ini aja Mas selimutnya, biar Dio nggak kedinginan.”

Akhirnya aku dobel selimut karena memang terasa dingin disini. “Makasih ya Lis.” Ujarku.

“Mas Fahim baik-baik aja kan?” tanya Lisna padaku.

“Baik kok.” Jawabku.

“Kalau mau cerita ke aku nggak apa-apa nggak bakal aku bilangin ke Ayah sama Ibu.”Lisna menawarkan kepedulian padaku dan aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam lalu aku hembuskan.

“Enggak ada kok, aku sama Dio baik-baik aja.” Aku mencoba tersenyum sebaik mungkin di depan adikku. Maaf aku belum bisa buat cerita ke siapapun soal masalah ini terutama sama Ayah. Aku tau walaupun terasa aneh pulang ke rumah tanpa suami pasti sedikit mencurigakan.

---

Menetap Diantara Cinta Mereka [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang