Episode 28 End

390 41 3
                                    

FAHIM POINT OF VIEW

3 Bulan Kemudian.

Aku resmi berpisah dengan Mas Anton, hak asuh Dio diambil oleh Mas Anton tetapi terkadang Dio sering lebih banyak waktu denganku. Aku jarang mendapat kabar soal Mas Anton bahkan yang mengantar Dio ketika ke apartemenku adalah asistenya sendiri.

Selama ini setelah berpisah dari Mas Anton, aku membuka usaha sendiri awalnya aku membuat delivery makanan untuk bekal anak sekolah. Rencana aku bakal membuka toko sendiri tentu di bantu Mas Mirza yang sampai detik ini masih menemaniku.

Aku nggak ada hubungan apapun dengan Mas Mirza, hanya sebatas teman. Walaupun aku tau perasaan nggak bakal bohong soal rasa kesepianku. Terkadang aku membutuhkan sandaran orang lain tetapi rasa traumaku terkadang masih membayangiku.

“Baba! Om Mirza mau gigit Dio!” baru selesai memasak langsung kakiku dipeluk sama Dio.

“Bentar, Baba naruh ini dulu.” Dio nggak mau lepas sama sekali meluk kaki aku padahal aku lagi megang panci panas.

“Aaaa… nggak mau, Om Mirza mau gigit Dio!”

Perlahan aku jalan walaupun berat, aku taruh makanan yang baru aku masak ke piring. Ku lihat Mas Mirza lagi berjalan menghampiri aku dan Dio, disitu Dio mengeratkan pelukanya. “Katanya mau main sama Om kok malah kabur?”

“Om Mirza mau gigit!” teriak Dio.

Mas Mirza tertawa mendengar penuturan Dio. “Kamu apain Dio sampai takut gitu?” tanyaku ke Mas Mirza.

“Tadi Dio minta main robot-robortan terus nggak sengaja tanganya kegigit aku.” Pantas aja Dio takut ternyata digigit beneran, padahal Dio tuh takut banget sama orang yang suka gigit dia termasuk Tantenya yang kalau ketemu Dio bawaanya mau gigit.

“Udah, makan dulu.” Suruhku ke mereka.

Seperti inilah aku sekarang, di bilang lebih baik tapi nggak terlalu baik. Aku punya orang yang masih mau disampingku, membuat hari-hariku lebih baik. Selesai makan dengan gaduh tadi karena Dio ganggu Mas Mirza makan, sekarang aku mencuci peralatan masak.

Saat sedang membilas, tiba-tiba saja Mas Mirza mendekatiku. Berdiri di sampingku dengan lengan kemejanya yang sudah digulung ke atas. Mas Mirza membantu aku membilas perlatan masakku.

“Toko kamu udah hampir selesai, mungkin seminggu lagi udah bisa dipakai.” Ujarnya.

Aku sungguh berterima kasih dengan Mas Mirza yang selama ini banyak membantuku. “Makasih ya Mas udah bantu aku.”

Aku menoleh menghadap Mas Mirza, dia tersenyum padaku begitu juga aku tersenyum denganya. “Him?” panggilan Mas Mirza kembali membuatku menatapnya.

“Aku mau jujur sama kamu” Aku fokuskan pendengaranku pada Mas Mirza. Kami masih saling menatap satu sama lain. “Boleh nggak kalau aku jagain kamu, jagain Dio juga kalau lagi disini? Selama ini aku nggak bisa berani bilang ke kamu kalau aku masih sayang sama kamu.”

Entah kenapa setelah mendengar Mas Mirza jujur di depanku, aku termenung begitu saja. Aku mengalihkan pandanganku ke guyuran air di atas piring. “Tapi kalau kamu belum siap..”

“Aku mau.”

Belum selesai Mas Mirza bicara sudah aku potong lebih dulu, sekarang Mas Mirza memandangiku tanpa arti. “Maaf kalau aku nggak bisa buka perasaan aku selama ini, aku masih ngerasa takut buat ngelakuin lagi.”

Mas Mirza membasuh tanganya lalu memegang kedua bahuku. “Aku tau Him apa yang kamu rasakan, maka dari itu aku mau bantu kamu buat hilangin ketakutan kamu.”

Kutatap Mas Mirza lebih dalam, senyumanya membuatku merasa lebih baik. Aku menundukan kembali kepalaku lalu aku memandanginya lagi. “Bantu aku buat ngelupain semuanya.”

Senyuman lebar dari Mas Mirza menjadi ujung percakapan serius kami, dia menarikku ke pelukanya padahal tanganku masih terdapat busa. “Makasih Him, makasih udah kasih kesempatan buat aku.”

“Aku yang harusnya makasih sama kamu Mas, kamu udah sering bantu aku, nguatin aku. Aku bersyukur punya kamu emmphh.”

Mas Mirza tiba-tiba saja mencium bibirku, membuatku terkejut. Setelah dilepasnya kini Mas Mirza menjadi salah tingkah di depanku. “Maaf kelewatan.”

Aku terkekeh di depanya, gemes lihat Mas Mirza mendadak salah tingkah. Lalu aku cium bibirnya membuat Mas Mirza kembali menyunggingkan senyuman padaku. Aku segera kembali menyelesaikan tugasku membiarkan Mas Mirza berdiri di sampingku.

“Oh iya aku mau ngasih kamu sesuatu.” Mas Mirza mengambil barang di jas-nya lalu kembali lagi di depanku.

Kulihat cincin yang pernah aku lihat di dompetnya Mas Mirza. “Aku udah nyimpan lama tapi kayaknya masih muat buat kamu.”

Kupandangi Mas Mirza yang mencoba memakaikan cincin itu padaku. “Mas aku belum siap.”

“Nggak apa-apa, aku cuman mau ngasih cincin ini buat kamu. Aku dulu pernah beli sebelum kamu pergi dari aku, aku kira bakal kesampaian tapi ya gitu.” Cincin yang aku pakai terlihat lebih klasik, aku tersenyum melihatnya. “Kamu suka?”

Aku mengangguk sebagai jawabanya, lalu kupeluk Mas Mirza. “Makasih Mas buat semuanya.”

“Makasih juga udah nerima aku.”

Kami melepaskan pelukan, tertawa melihat satu sama lain. Dio tiba-tiba datang sambil melihat aku dan Mas Mirza yang berhadapan. “Dio pipis Ba.”

Aku terkejut mendengar perkataan Dio, segera aku menyentuh celana Dio dan benar dia ngompol di celana. “Astagah Dio kenapa ngompol, kan Baba bilang kalau mau pipis langsung ke toilet.”

“Dio tadi main sendiri.”

Aku menghela nafasku lalu menuntut Dio menuju toilet, baru saja membersihkan kaki Dio. Mas Mirza meneriaku dari luar. “Him, ada tamu kamu!”

Aku bilang ke Dio dulu buat nggak main air lantas aku meninggalkanya dan pergi ke luar. Kulihat asistenya Mas Anton di depan pintu apartemenku. Aku mendekati Mas Mirza dan asistenya Mas Anton.

“Mas bisa bantu Dio dulu nggak?” suruhku ke Mas Mirza.

“Bisa” Mas Mirza lalu meninggalkanku bersama asistenya Mas Anton.

Biasanya jika asistenya Mas Anton datang, dia hendak mengambil Dio. “Bentar ya Dio lagi aku bilas dulu.” Aku hendak menyuruh asisten Mas Anton buat masuk tapi dia menolaknya.

“Saya nggak mau ambil Dio, saya mau ngasih pesan dari Pak Anton.”

Saat mendengar ada pesan yang hendak disampaikan, aku berdiri tegap dengan pendengaranku berfokus padanya. “Pak Anton bilang kalau Dio biar sama Mas Fahim dulu, Pak Anton nggak bakal ambil lagi.”

Saat aku mendengar pesan yang disampaikan asistenya, aku ngerasa ada yang mengganjal. “Papanya Dio baik-baik aja kan?” tanyaku.

Helaan nafas dari asistenya Mas Anton membuat aku semakin khawatir. “Pak Anton sedang di rehabilitasi, kemarin malam saya menghubungi pihak rehabilitas karena lihat kondisi Pak Anton yang memburuk.”

Saat kudengar penjelasanya, rasanya aku semakin khawatir dengan Mas Anton bahkan sampai dia di rehabiitasi. “Saya takut Mas kalau Pak Anton bunuh diri, kemarin saya lihat Pak Anton benturin kepala ke meja bahkan ada perban di lengan tanganya.”

Selama ini aku nggak pernah mendengar kabar dari Mas Anton, bahkan dulu saat persidangan cerai kami. Dia sama sekali nggak datang ke tempat. Tetapi hari ini aku dapat kabar buruk darinya. Aku nggak pernah lihat Mas Anton seburuk seperti apa yang aku dengar kali ini.

---

[Season 1 End]

Menetap Diantara Cinta Mereka [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang