Seorang perempuan dengan penampilan yang kacau dan tatapan kosong itu sedang berjalan menyusuri jalanan malam yang agak ramai. Tanpa alas kaki, ia berjalan dengan lambat karena tubuhnya yang gemetar dan lemas. Rasa cemas dan bayangan kejadian tadi seolah meghantui dirinya. Kejadian tadi seolah video yang terus saja terputar diotak Ruby tanpa adanya tombol pause.
Ruby menggaruk jari-jari tangannya untuk menekan rasa cemasnya. Tak menyadari beberapa jarinya sampai lecet dan berdarah karena Ruby menggaruknya terlalu keras.
"Gue harus pergi."
"Gue harus pergi."
"Gue harus pergi."
Berulang kali Ruby bergumam mengatakan kalimat itu. Tak peduli beberapa orang di jalanan menatapnya aneh karena penampilannya yang kacau dan berbicara sendiri sepanjang jalan. Bahkan mungkin orang-orang berpikir kalau dia orang gila.
"Beraninya lo pergi!"
Degg
Jantung Ruby rasanya akan copot saat mendengar suara itu. Tubuhnya gemetar dan mendadak membatu. Seharusnya ia berlari, tapi kenapa kedua kakinya sulit diangkat?
"L-lo k-kenapa?" gugup Garam saat melihat Ruby yang terlihat ketakutan saat berhadapan dengannya. Kedua matanya bahkan sudah berkaca lagi. Garam semakin terkejut saat Ruby yang memainkan jari-jari tangannya yang berdarah.
"Gue harus pergi!" gumam Ruby dengan tubuh gemetar.
"By lo kenapa?" teriak Garam saat mendapati sikap Ruby yang aneh. Perempuan itu terus mengulang kalimat yang sama dan tak berhenti melukai jari-jarinya.
"Gue harus pergi!" gumam Ruby dengan air mata yang mengalir.
"Apa yang lo lakuin?!" bentak Garam lalu memegang kedua telapak tangan Ruby untuk menghentikan aktivitas Ruby yang melukai jari-jarinya.
"Tolong biarin gue pergi, tolong."
Ruby merutuki dirinya yang mendadak kaku tidak bisa bergerak. Seharusnya dia lari atau teriak namun kenapa beberapa bagian tubuhnya tidak bisa berfungsi?
"M-maaf Pak Garam, s-saya tidak bermaksud lancang, tapi mbaknya ng-ngompol," ujar keamanan itu.
Kedua bola mata Garam langsung membulat. Ia menatap kebawah dan benar saja Ruby sampai mengompol.
"Siapkan mobil Pak cepat!!!" titah Garam.
"Baik Pak!"
Garam langsung memeluk tubuh Ruby. "Gue minta maaf!"
••••
Garam menatap tubuh Ruby yang sedang tertidur diatas brangkar rumah sakit. Masih ia ingat bagaimana Ruby yang terlihat ketakutan saat didalam mobil tadi. Gadis itu meracau dan memohon agar bisa pergi dari Garam. Keadaan Ruby sangat buruk, seharusnya Garam senang. Itu yang ia inginkan, penyiksaan untuk Ruby yang sudah menjebaknya. Namun saat melihat keadaan Ruby yang buruk ini kenapa dia malah ikutan sakit?
Masih ia rasakan bagaimana tubuh Ruby yang gemetar saat ia peluk tadi. Ini kesalahan, seharusnya bukan perasaan seperti ini. Ruby adalah musuhnya yang harus ia balas bukan dikasihani. Berulang kali ia merapalkan kalimat itu, namun sayangnya tidak mempan.
"Maafin gue," cicit Garam yang kini menciumi jari-jari Ruby yang terluka.
"Maafin gue."
Sialnya, justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya berulang kali. Tadi saat selesai ditangani oleh dokter. Dokter itu terlihat agak kesal saat bicara pada Garam. Karena setelah diperiksa kondisi Ruby begitu buruk. Dokter itu bilang ada luka di bibir bawah Ruby. Kalau saja Garam bukan pemilik rumah sakit ini, mungkin dokter itu sudah memarahi Garam. Sayangnya dokter jaga itu tidak berani, dia masih sungkan pada anak pemilik rumah sakit ini.
Dokter itu bilang psikologis Ruby agak terganggu saat melihat kondisi Ruby yang terlihat cemas dan ketakutan. Hal itu membuat Garam merasa bersalah, setelah Ruby pingsan dia memang tidak langsung berhenti. Namun malah melakukannya berkali-kali tidak peduli Ruby dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dia memang brengsek, pantas saja Ruby ingin pergi darinya.
"Maafin gue," Garam berdiri lalu mengecup kening Ruby cukup lama.
•••
"Ahh sakit!!"
"L-lepa-ss!"
"Arghh sakit Garam!"
"Nggak! Tolong!"
Garam tiba-tiba terbangun saat mendengar suara racauan dari perempuan yang terbaring dibrangkar depannya. Dengan kepala yang berat dan kedua mata yang masih mengantuk dia terpaksa terbangun. Lalu terkejut saat melihat Ruby yang meracau dengan kening yang berkeringat dan telapak tangan yang digenggam Garam juga berkeringat.
Garam yang cemas lalu berdiri dan mencoba menyandarkan Ruby. "By, bangun!" ujarnya sambil menepuk pelan pipi Ruby.
Ruby yang merasa sentuhan pelan dipipinya lalu membuka kedua mata. Hal yang ia lihat pertama kali adalah dinding berwarna putih dan aroma obat-obatan. Dia memutar bola matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"J-jangan! T-tolong!" Ruby memekik saat melihat Garam yang sudah berdiri didepannya. Ruby langsung menarik telapak tangannya yang digenggam oleh Garam lalu menarik selimut menutupi seluruh dadanya seolah melindungi dirinya dari Garam.
"By gu-"
"Tolong! Tolong!" teriak Ruby sambil menutup kedua telinganya tak ingin mendengar ucapan Garam.
Garam masih tidak menyerah, dia masih berusaha untuk menenangkan Ruby. Namun yang dia dapat lagi-lagi penolakan. "Jangan sentuh g-gue! Tolong! Tolong!" teriak Ruby.
Pintu terbuka. Lalu datang tiga perawat yang masuk. "Ada apa ini Pak Garam?" tanya perawat perempuan itu.
"Dia tiba-tiba meracau terus teriak sendiri," jawab Garam frustasi.
Ia bisa melihat sendiri bagaimana Ruby melindungi tubuhnya dari Garam. Tanpa sadar Garam mengepalkan kedua tangannya. "Lo emang brengsek Ram!" lirihnya.
"Kami panggilkan dokter jaga dulu Pak Garam."
Garam hanya setuju saja, karena yang terpenting sekarang kondisi Ruby harus membaik. Ia menyesali perlakuannya kemarin yang memperkosa Ruby hanya karena cemburu pada Ruby dan Loji. Seharusnya ia bisa lebih sabar dan mengendalikan emosinya. Namun dia gagal hingga berakhir membuat Ruby seperti ini.
"Mohon maaf Pak Garam, saran saya sebaiknya anda keluar dulu. Karena sepertinya pasien takut dengan Pak Garam," jelas suster paruh baya itu.
Garam mengangguk lalu melenggang pergi dari kamar inap Ruby. Pintu tertutup, Garam bersandar didinding dan terduduk dilantai sambil menelungkupkan wajahnya diatas kedua lututnya.
"Sialan Garam kenapa lo kayak gini? Harusnya lo nggak ngerasa bersalah! Harusnya lo senang!!" gumam Garam sambil meremas rambutnya frustasi.
Garam mengusap wajahnya frustasi. Perasaan apa yang dia hadapi saat ini dia sangat membencinya. Seperti saat ia kehilangan Frisa, itulah yang dia rasakan sekarang. Seharusnya dia hanya merasakannya pada Frisa bukan pada Ruby. Tapi sialnya Ruby memiliki magnet yang begitu kuat untuk menariknya. Berulang kali Garam menolak perasaanya tapi semakin ditolak ia malah semakin jatuh kedalamnya.
"Pak Garam, bisa kita bicara sebentar?" Garam menoleh kearah dokter jaga perempuan yang kini berdiri didepannya.
"Ya, silahkan," jawab Garam lalu berjalan masuk kedalam kamar Ruby. Di ruangan itu sudah ada satu perawat perempuan dan dokter jaga.
"Kami sudah menyuntikkan obat penenang ke Nyonya Ruby. Karena tadi keadaanya sangat buruk. Maka dari itu kami menyarankan setelah sadar nanti mungkin Nyonya Ruby bisa melakukan konsultasi ke psikolog," ujar Dokter jaga itu.
"Ya, lakukan yang terbaik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Cinta (21+)
RomanceWARNING ! ANAK-ANAK DIBAWAH 21+ JANGAN MAMPIR KESINI YAAA KALO MASIH MAKSA NANTI DITANGKEP WIUWIU HLOHH •••• Garam terpaksa harus menikahi gadis asing bernama Ruby. Insiden penggrebekan yang terjadi di mobilnya menjadi kesalahpahaman. Kalau bukan ka...