Dua Puluh Tujuh

584 9 0
                                    

Ruby mengerjapkan kedua kelopak matanya. Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Ia membuka kelopak matanya dengan sempurna lalu mengumpulkan kesadarannya.

Gue dimana? monolognya saat mencium bau obat-obatan.

Ia mencoba menggerakan tangan  kanannya namun ia terkejut saat melihat infus yang tertancap dipunggung tanganya.

"Kepala gue pusing," gumamnya lalu mencoba menggerakan tangan yang satunya.

Ia terkejut saat melihat Garam tidur dengan posisi duduk menyandarkan kepalanya dibrangkar Ruby. Tentu saja Ruby panik. Suhu tubuhnya menjadi panas, jantungnya berdegup dengan kencang dan napasnya memburu. Refleks ia menarik paksa tangan yang dipeluk Garam.

Hal itu sontak membuat tidur Garam terganggu dan terbangun. Garam membuka kedua kelopak matanya lalu terkejut saat melihat Ruby sudah duduk.

"Udah bangun?" ujar Garam yang sedang mengumpulkan kesadarannya. Setelah dirasa cukup ia lalu menatap Ruby yang  berusaha membuka infus.

"Jangan dibuka, gue janji nggak akan jahat sama lo," ujarnya dengan suara yang selembut mungkin.

Garam berdiri lalu meraih kedua tangan Ruby. "Lo yang tenang, gue janji nggak bakal jahat."

Sayangnya yang berbicara itu Garam. Mana bisa Ruby percaya?

"Jangan nangis, gue minta maaf. Gue janji nggak bakal jahatin lo lagi," Garam terkejut saat melihat air mata sudah meluncur dipipi Ruby.

Ia tahu Ruby masih takut padanya. Namun dia tidak bisa meninggalkan Ruby sendirian. Apalagi dengan keadaan berbadan dua. Akhirnya yang bisa Garam lakukan hanyalah mengulang kata maaf dan janji tidak akan menjahati Ruby.

Sementara Ruby, perempuan itu masih menangis sesegukan. Teknik mengontrol emosi dan ketakutan yang diberikan oleh dokternya memang rumayan bisa ia lakukan. Hanya saja, ia masih takut dengan Garam. Bayangan saat Garam menghujamnya dengan kasar masih tetpatri jelas diotaknya.

"Mau minum dulu?" tawar Garam namun Ruby tidak merespon. Namun satu tangan Garam tetap bergerak mengambil gelas berisi air putih diatas nakas.

"Minum dulu," Garam menyodorkan gelas itu tepat dimulut Ruby.

Perasaan Ruby yang semula gundah tiba-tiba mendekat ke gelas itu. Sepertinya dia memang butuh air. Garam dengan telatan memegang gelas dan membantu Ruby meneguk minum. Setelah dirasa cukup, Ruby menjauhkan bibirnya dari gelas itu. Garam yang peka lalu mengambil gelas itu dan meletakkanya dinakas.

Perasaan Ruby sedikit tenang setelah minum air putih. Kesadarannya mulai terkumpul, lalu melepas paksa cekalan Garam.

"Jangan macem-macem!" titah Garam saat Ruby melepas cekalannya. Ia cemas takut Ruby melepas infus. Namun Garam bisa bernapas lega saat Ruby bergerak memunggunginya dan tidak melepaskan infusnya.

Meskipun Garam kesal karena merasa diabaikan. Namun setidaknya ia sedikit bersyukur, Ruby tak mereog lagi seperti kemarin saat bertemu dengannya. Sepertinya hasil perawatan selama seminggu ini cukup berguna bagi Ruby.

"Gue panggilin suster bentar," ujar Garam lalu menghubungi perawat untuk datang ke kamarnya.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan dan pintu terbuka. "Selamat pagi nyonya Ruby," sapa perawat itu berjalan kearah Ruby.

Garam menatap perawat itu. "Saya nitip dia sebentar Sus, mau ke toilet bentar," ujarnya.

"Baik, silahkan tuan," jawab Suster itu sambil tersenyum, menganggap Garam romantis dan posesif sekali pada Ruby. Padahal Garam melakukan itu karena takut Ruby macam-macam.

Setelah terdengar bunyi pintu kamar mandi tertutup. Ruby mulai bergerak, ia  tidur dengan tegap tidak posisi memunggungi lagi. Lalu ia menatap perawat perempuan itu.

"Saya kenapa bisa ada disini Sus?" tanyan Ruby.

Perawat itu tersenyum sambil melakukan tensi darah di pagi hari. "Kemarin anda pingsan dan dibawa Tuan Garam ke rumah sakit ini. Anda dirawat sini karena tubuh yang lemah. Hanya itu saja yang bisa saya beritahu, untuk lanjutannya bisa tanya ke suami anda langsung," ujar perawat itu.

Ruby mendengus kesal, bibirnya mengerucut. Tidak puas dengan jawaban si perawat. Bagaimana mau tanya pada Garam? Melihat wajah Garam saja dia sawan.

"Sus boleh disini aja nggak temanin saya?"

Ucapan Ruby sukses membuat si perawat tertawa kecil. Lagian lucu sekali Ruby ini, sudah ditunggui suaminya gimana bisa ia menyuruh perawat itu ikut menjaganya?

"Sudah ada suaminya yang menunggu dari semalam Bu."

●●●●●

Ruby masih membatu, sampai sekarang ia kesusahan memproses apa yang terjadi kali ini. Tadinya ia pikir ia dibawa keluar untuk periksa lebih lanjut mengenai kondisinya yang tidak sehat. Namun seperti tersambar petir di musim panas, tubuh Ruby rasanya ingin ambruk saat sekarang ia diperlihatkan layar yang menampilkan janin sebiji kacang.

"Senang sekali, akhirnya Ruby sudah mengandung Garam. Padahal baru beberapa minggu yang lalu kalian kesini untuk program hamil, ternyata sepertinya sudah terbuahi sebelum kesini," ujar dokter Lucia yang membuat tubuh Ruby melemas.

Bangsat kenapa jadi kayak gini? tentu saja Ruby cemas. Mengandung tidak masuk dalam rencananya.

Koneksinya terputus dengan the hidden, lalu tiba-tiba ia hamil. Arghhh kampret!

Tidak ada raut bahagia diantara Ruby maupun Garam. Ruby yang tertekan karena bukan rencananya. Garam yang masih bingung dengan perasaanya, dia senang Ruby mengandung anaknya. Namun Garam masih sulit melupakan penjebakan yang dilakukan Ruby.

"Oh ya Garam, kamu harus menjaga Ruby  ya, karena kandungannya lemah. Untuk sementara bedrest dulu. Oh iya, mau disini atau di rumah Ram?" tawar Dokter Lucy.

"Di rumah aja dok," sahut Garam cepat.

"Oh ya, nanti pihak rumah sakit yang akan menyiapkannya," ujar dokter Lucia.

Dokter Lucia selesai memeriksa Ruby. Perawat mendorong brangkar Ruby kembali ke ruang inapnya. Sementara Garam masih di ruangan dokter Lucia.

"Kenapa wajahmu malah kusut? Harusnya senang dong, udah ada momongan?" celetuk dokter Lucia sambil menulis resep.

Garam masih terdiam, pikirannya berkecamuk. "Saya bingung dok," jawabnya.

Dokter Lucia yang selesai menulis resep menatap kearah Garam. Dokter paruh baya yang sudah menjadi dokter yang menangani keluarga Garam selama ini.

"Kenapa? Pak Genta pasti senang dengar kabar ini."

"Papa menginginkan cucu laki-laki, saya takut kalau anaknya perempuan," ujarnya.

Dokter Lucia menghela napas panjang. Sejak dulu sampai sekarang, permasalahan Genta masih sama. Terlalu terobsesi pada anak laki-laki. Namun yang terjadi hanya ada dua keturunan laki-laki. Dan itupun yang waras hanya Garam. Sedangkan anak pertamanya selalu bikin masalah.

"Remini juga sama seperti kamu, dia juga stress memikirkan jenis kelamin anaknya. Semoga saja anaknya bisa jadi laki-laki," celetuk Dokter Lucia yang membuat kening Garam mengerut.

"Tapi Dok, Remini kemarin cerita kalau anaknya laki-laki," kilah Garam. Ia masih ingat beberapa minggu yang lalu digrup keluarganya kalau Remini mengumumkan anaknya laki-laki.

Dokter Lucia menelan ludah. "Tidak Garam, saya yang melakukan usg. Dan yang saya dapat, anaknya perempuan."

Jebakan Cinta (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang