Delapan Belas

758 7 0
                                    

"Bagaimana dengan proyek apartemen kamu Garam?" tanya Genta.

Seluruh keluarga Genta yang tinggal di mansion ini sedang makan malam. Tak terkecuali Ruby yang terpaksa harus ikut. Padahal dia sudah menolak karena sedikit takut dengan keluarga Garam setelah melihat isi pesan keluarga gila ini. Namun Garam memaksanya karena ini perintah Genta. Akhirnya disinilah Ruby, seperti orang asing yang tak dianggap. Sejak tadi bahkan tak ada yang menyapanya atau basa-basi dengannya. Sebaliknya malah menatap Ruby dengan tatapan mencemooh.

"Udah mulai jalan pembangunan Pi," jawab Garam.

Genta tersenyum lebar, seperti biasa anak laki-lakinya itu tidak pernah mengecewakannya. Meskipun ada satu masalah yang dibuat Garam, namun bagi Genta itu tidak masalah asal tidak mempengaruhi GT Grup.

"Ya, kerja bagus! Papi sudah menghubungi Dr. Lucia, besok kamu dan istrimu menemui Dr. Lucia untuk program bayi laki-laki," tutur Genta yang langsung membuat kedua bahu Ruby melemas.

Gue harus selesaiin misi ini cepet-cepet sebelum gue kejebak lebih jauh sama keluarga prik ini!

Tera menatap suaminya tidak setuju. Perempuan ini sangat menginginkan Mina untuk menjadi menantu sekaligus pemberi cucu untuknya. Bukan gadis antah-berantah seperti Ruby. "Pi! Jangan sembarangan! Lebih baik kita nikahkan Mina dan Garam dengan cepat, aku nggak mau punya cucu dari wanita nggak jelas seperti dia!" tolaknya.

Latifa langsung tertawa mendengar ucapan madunya itu. "Kamu itu lucu sekali Tera. Padahal dulu kamu juga perempuan nggak jelas yang masuk ke rumah tangga saya!" sindir Latifa.

Meja makan itu mendadak menjadi panas. Latifa dan Tera saling menatap tajam. Sementara Genta tetap santai memasukkan makanannya kedalam mulut. Seolah biasa melihat pertengkaran para istrinya. Berbeda dengan Garam yang duduk disebelah Tera, lelaki itu langsung menyentuh bahu Ibunya seolah mencoba meredakan amarah Tera.

"Mi, udah," bujuk Garam.

"Diam kamu Garam! Nggak usah ikut campur urusan Mami sama si lampir itu!" omel Tera.

Latifa tersenyum sinis. "Aku memang lampir, tapi semua orang tau aku istri sah Genta, sedangkan kamu?" ledeknya yang membuat Tera semakin geram.

Tera tentu saja tidak terima. Dia akan membalas ucapan Latifa dengan ketus dan menyakitkan tentunnya. "Kalau saja kamu pecus mengurus Mas Genta, dia pasti nggak bakal cari perempuan lain! Servis kamu kurang memuaskan sih!" ejeknya membalas.

Latifa tentu saja marah. Bahkan para anak disana sudah mulai pening melihat pertengkaran istri Papa mereka. Tak terkecuali anak perempuan berusia tujuh tahun yang terlihat ketakutan disamping Liza.

"Heh pelakor! Kamu ngaca sana! Kalau Mas Genta puas sama kamu, nggak mungkin dia nikahin Hera sama Remini. Kamu saja nggak memuaskan pakai ledek saya, NGACA!!"

"Liza, Ariana, Santa! Masuk ke kamar kalian masing-masing!" titah Genta pada ketiga anak perempuannya.

Sekarang di meja makan ini hanya tersisa, Genta, Latifa, Tera, Remini, Garam dan juga Ruby. Setelah ketiga anak perempuannya masuk ke kamar. Genta meletakkan sendoknya dengan kasar hingga membuatnya bunyi dentingan. Seolah menginterupsi para istrinya untuk tidak membuat masalah.

"Remini sayang, kamu masuk ke kamar aja ya. Kamu kan lagi hamil muda," ucap Genta selembut mungkin. Hal itu tentu saja membuat Latifa dan Tera menatap kesal.

Begitupula Ruby, gadis itu tak henti memandangi Remini yang masih sangat muda. Bahkan Ruby bisa menaksir kalau usia Remini itu sepantaran Liza. Dan mirisnya, anak semuda itu mau menjadi simpanan Om tua berkepala lima hanya demi uang. Tak lupa Ruby menghujat mertuanya yang pedofil ini. Sudah tau Remini seusia Liza, bisa-bisanya tetap dinikahi.

"Iya sayang, aku masuk dulu. Anak kita juga kayaknya pusing kalau liat orang berantem terus," lembut sekali ucapan Remini sampai membuat Ruby, Tera dan Latifa ingin muntah.

Lebih menjijikannya lagi. Si Pak Tua Genta itu tersenyum lebar dan membalas ucapan istri mudanya. "Iya sayang, istirahat ya. Nanti aku susul ke kamar," ujar Garam.

"Maksud kamu apa Mas? Ini kan jadwal kamu tidur sama aku!" protes Latifa tak terima. Remini menatap mengejek kearah Latifa, lalu pergi ke kamarnya.

"Nggak bisa gini ma-"

"Pi, aku sama Ruby mau masuk dulu. Kalau ada hal penting, kita bicarain aja di ruang kerja Papi!" potong Garam yang sudah muak melihat pertengkaran istri Papinya. Ia berdiri lalu menarik kursi, kemudian menarik Ruby dari sana.

"P-permisi Pak Genta, kami ke kamar du-" belum selesai ucapannya, Ruby sudah ditarik oleh Garam. Meninggalkan pertengkaran Genta vs dua istri tuanya.

•••••

Pukul tengah malam, Ruby terbangun karena mendengar suara tangisan. Ia beranjak dari ranjangnya mencoba mencari tahu sumber suara itu. Sejujurnya ia ingin mengabaikan, namun suara tangisan itu membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Alhasil dia harus membuat suara tangisan itu berhenti agar ia bisa tidur. Meninggalkan Garam yang masih terlelap, Ruby berjalan keluar dari kamarnya. Lalu mengikuti sumber suara dan terkejut saat melihat kamar ketiga dari deretan kamar Garam, kamar itu menyala terang dengan pintu yang terbuka.

Ruby bergegas menuju kamar itu. Matanya membulat saat melihat anak perempuan menangis di kamar bernuansa pink itu. Ruby langsung masuk tanpa permisi, melihat anak kecil itu menangis sendirian mengingatkannya pada adik semata wayangnya.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Ruby yang kini sudah berjongkok didepan gadis yang ia ketahui bernama Ariana.

Ariana mendongak menatap Ruby. "Aku kangen Bunda," jawabnya dengan terisak. Ruby langsung menyeka air mata Ariana. Lalu mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan lembut.

"Mm.. bunda kamu kan di rumah," ujar Ruby takut menyinggung gadis kecil itu. Pasalnya dia juga tak tahu sebenarnya gadis ini anak siapa.

Ariana menggeleng. "No, Bundaku kerja, udah nggak pulang selama seminggu."

Ruby mendelik, kalau bukan Latifa dan Tera jadi siapa Ibu dari gadis kecil ini? "Eng.. kalau boleh tahu, nama Mama kamu siapa?" tanyanya sungkan.

"Bunda Hera," Ah Ruby baru ingat. Tadi saat di meja makan memang Latifa menyebutkan nama Hera. Jadi Ariana ini anak Hera. Batin Ruby.

Ruby menatap kasihan pada Ariana. Seharusnya dia bisa meminta penghiburan pada tua bangka Genta. Tapi si Tua bangka Genta itu sedang sibuk bersama istri mudanya.

"Kamu mau Kakak temani tidur?" tawar Ruby.

Awalnya Ariana ragu, namun melihat inisiatif Ruby yang datang menjenguknya di kamarnya, ia sedikit tertarik. Karena biasanya, jika tiap malam dia menangispun, Kakak-kakaknya dan Ibu tirinya tidak mau datang padanya.

"Boleh, tapi Kakak jangan tinggalin aku setelah tidur ya?" pinta Ariana.

Ruby tersenyum lalu mengangguk. "Iya," ujarnya lalu menuntun tubuh Ariana naik keatas ranjang.

Jebakan Cinta (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang