Tiga Puluh

236 8 2
                                    

"Code blue!"

Daye memekik saat menerima email dari Ruby. "Yuby ngasih kode!"

Semua orang yang ada di markas itu langsung menghambur ke kubikel Daye. Membaca monitor yang menampilkan inbox dari Yuby.

"Mana?!" pekik Aron tak kalah kencang.

Daye menunjuk layar monitor. Aron, Siena, dan lainnya membaca isi pesan itu. Sedetik kemudian mereka merasa lega, akhirnya mereka bertemu dengan titik Yuby. Pasalnya, Vernan yang ditugaskan di lapangan kemarin malah gagal karena ketahuan memasukan obat ke minunan Garam yang langsung diketahui oleh karyawan lainnya.

"Sini Ye, biar gue lacak IPnya!" ujar Aron pada wanita hamil itu.

Daye mengangguk lalu berdiri dari kursinya membiarkan Aron bermain dikomputernga. Sambil terus mengucap syukur dalam hati karena Yuby akhirnya ditemukan.

Dua minggu lebih berlalu.

Mereka kehilangan jejak Yuby. Pernah Jack mencoba menyusup di rumah besar Genta sebagai tukang servis AC. Namun dia tidak menemukan jejak Yuby sama sekali. Meski begitu, tim mereka tidak menyerah. Berbagai cara dilakukan untuk menemukan jejak Yuby. Namun menembus pertahanan Genta tidak semudah itu. Apalagi setelah insiden tertangkapnya Vernan. Proteksi keluarga Genta semakin diperketat.

"Titiknya ada di perumahan Golden Suit Mansion," celetuk Aron.

"Akhirnya Yuby, kita nemuin Lo," Daye sudah menangis sesegukan. Ibu hamil itu memang selalu sensitif, apalagi ini menyangkut sang sahabat.

"Gue mau jemput dia sekarang!" seru Aron yang sudah berdiri.

"Nggak bisa! Kita harus tunggu instruksi Ryujin!" peringat Jack yang sudah mencekal lengan Aron.

"Persetan dengan instruksi, gue harus jemput Yuby sebelum dia hilang lagi!" Namun tak semudah itu saat Jack menggertak Aron.

"Jangan bawa perasaan pribadi dalam misi ini. Satu kali kita salah langkah, bukan cuma Yuby yang habis tapi kita semua!" peringat Jack yang langsung membungkan Yuby.

Aron langsung bungkam. Kalau dipikir lagi, benar kata Jack. Ini menyangkut misi mereka, kalau gagal sekali lagi. Mereka bukan habis ditangan Genta tapi ditangan bosnya.

"Gue hubungin Kak Ryu dulu," ujar Siena yang diangguki oleh rekan lainnya.

Dilain tempat. Ruby sudah kembali ke kamarnya. Rebahan diranjang sambil berdoa semoga timnya membaca kode emailnya.

CKLEK

Pintu terbuka.

"Ini makanannya," suara itu memecah lamunan Ruby. Ibu hamil itu ingin pura-pura tidur, namun urung saat mengingat Garam sudah effort membelikannya makan. Akhirnya ia mendudukan tubuhnya.

Ruby memasang senyum palsunya. Dia harus akting manis lagi sampai bisa kabur dari Garam. "Hubby!" serunya.

Garam berjalan ke ranjang mereka, duduk ditepi ranjang tepat disamping Ruby. "Makanan apa sih ini? Ga jelas banget!" cibirnya lalu mengeluarkan makanan itu satu persatu.

Cimol adalah plastik pertama yang Garam keluarkan. Ia menyodorkan pada Ruby yang diterima dengan senang hati. Ruby sudah memegang tusuk dan menusukan ke cimol tersebut lalu melahapnya. Namun baru satu suapan dia menyerahkan pada Garam.

"Kenapa?" tanya Garam.

Ruby mengelus perutnya. Dengan ragu dan takut menatap Garam. "Pengen liat hubby makan itu sampai habis," ujarnya yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Garam.

"Nggak! Lo makan semua nih makanan yang gak guna kayak gini!" ketusnya yang sontak membuat Ruby berkaca-kaca.

Kehamilan ini membuat Ruby sensitif sekali. Tentu saja Ruby tidak menyukainya, karena itu bukan dirinya sama sekali. Kalau seperti ini, dia mirip wanita tidak berdaya yang lemah.

Melihat Ruby yang sudah akan menangis. Garam menghela napasnya panjang, ia ingin mengumpat namun dia mencoba sabar. Kalau saja Ruby tidak mengandung anaknya. Garam pasti sudah memarahi Ruby. Huh menyebalkan sekali, mana seumur hidup Garam tidak pernah makan, makanan jalanan sama sekali lagi. Karena menjadi pewaris GT Grup, makanan Garam juga ikutan diatur. Makan empat sehat lima sempurna yang bisa menunjang gizi, dan otak yang baik. Kalau Genta tahu dia makan seperti ini, habislah dirinya.

"Kalau nggak mau yaudah! Gue buang aja!" Garam tetaplah Garam. Mana mau dia menuruti dikontrol orang lain. Sekalipun yang memintanya adalah perempuan yang mengandung anaknya.

Garam sudah mengambil plastik hitam itu lalu memanggil pelayan. Sementara bahu Ruby langsung merosot. Air matanya meluruh, tidak tahu kenapa cengeng sekali hanya karena tak dituruti. Apakah semua Ibu hamil seperti ini? Ruby merebahkan tubuhnya, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Lalu menangis sesegukan, entahlah perasaanya begitu terluka ditolak seperti itu. Tanpa sadar ia mengelus perutnya tanpa henti.

Apa yang gue harapin dari dia? Dari dulu  kan dia bilang nggak mau gue mengandung anaknya.

"Nggak usah cengeng! Berisik banget tangisan lo!" ketus Garam yang sudah masuk kembali ke kamarnya. Mengambil tablet dan duduk disofa untuk bekerja dari rumah.

Sabar ya Nak. Doain mama biar bisa keluar dari tempat ini secepatnya. Biar kamu nggak dimarahin terus.

Rasanya sakit sekali dikatai seperti itu. Kalau saja Ruby tidak hamil pasti ia akan santai saja. Namun hormon Ibu hamil sangatlah sensitif. Huh, kalau saja Ruby punya ponsel, mungkin dia bisa mencari di internet penyebab dan cara mengatasi hormon Ibu hamil yang sensitif ini. Ia juga muak menjadi lemah dan ditindas oleh Garam.

"Hoek.. hoek.. hoek!"

Baru saja tidur setengah jam, Ruby terbangut karena perutnya serasa diaduk. Ia beranjak dan berlari menuju kamar mandi, mengeluarkan cairan putih dari mulutnya. Hal itu tak luput dari penglihatan Garam. Ia yang sejak tadi berada di sofa lalu menyusul Ruby ke kamar mandi. Mendapati Ruby yang berlutut didepan closet.

"By!" Garam mendekat ke Ruby lalu memijit leher istrinya. Namun dengan cepat ditepis oleh Ruby, ia masih marah dengan Garam.

"Lepas!" cicitnya pelan karena tubuhnya  yang lemah. Seharian ini, belum ada makanan yang masuk ketubuhnya karena mual. Hanya makanan yang dibelikan Garam tadi yang ia makan. Meskipun hanya satu suap, namun dia mampu menelannya. Berharap Garam mau memakannya agar ia juga bernapsu makan. Namun sebaliknya Garam malah menolaknya.

Garam mengabaikan ucapan Ruby dan masih memijit leher Ruby. Ia jadi merasa bersalah karena menolak permintaan Ruby. Padahal kemarin dokter Lucia sudah bilang, kalau ibu hamil biasanya akan sensitif dan akan mengidam. Namun dasarnya Garam yang tidak sabaran dan pemarah, akhirnya membuatnya lepas kontrol.

Tubuh Ruby rasanya lemas, bahkan untuk menahan tubuhnya saja ia agak susah. Kepalanya sampai disandarkan ke pinggiran closet. Hal itu membuat Garam langsung memencet tombol flush menyiram sisa cairan muntahan Ruby.

"Udah?" tanya Garam namun Ruby tidak menjawab.

Melihat tubuh Ruby lemas dan tidak berdaya seperti itu. Garam meraih tubuh Ruby dan menggendongnya bridal. Ruby ingin menolak dan meronta namun tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Dia hanya pasrah saat  tubuhnya dibawa ke kamar oleh Garam.

Jebakan Cinta (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang