SEVEN

0 0 0
                                    

"kamu tinggal di sini saja." Ujar seorang pria yang sudah berumur itu. Rambut putihnya mengeliling kepalanya dan wajahnya mulai keriput.

Tangannya sibuk memegang tongkat coklat yang menjadi cirinya akhir-akhir ini. Umur yang sudah tak lagi muda membuatnya tidak bisa berdiri tanpa tumpuan.

Lawan bicaranya itu menggeleng lemah.

Lelaki tua itu menghelah napasnya kasar. Walaupun ia tau bahwa jawaban itu akan selalu diterimanya, nyatanya ia tetap bertanya untuk menawarkannya. Ia bukan memohon untuk tinggal karena kesepian, tidak itu bukanlah alasannya. Banyak orang di rumah ini, pembantu yang berjumlah 5 orang, satpam 4 orang, supir 2 orang dan juga penjaga peliharaan harimaunya yang berjumlah 4 orang ikut memenuhi rumah ini. Ia merupakan salah satu pecinta hewan yang suka memelihara hewan yang jarang dipelihara. Seperti harimau, merak, alpaca dan masih banyak lagi. Bahkan luas kebun binatang buatan itu lebih besar dibandingkan dengan rumahnya.

"Baiklah, kakek menghargai keputusan kamu. Tetapi, jika kamu ingin keluar dari sana, rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu."

"Riyan cuma mau ketemu mama." Ujarnya.

Lelaki tua yang ia panggil 'kakek' itu memejamkan matanya sejenak dan memijat pelipisnya lalu berdiri menghampiri cucu kesayangannya itu. Ia menepuk pundak lelaki itu.
"Selesaikan sekolahmu, kakek berjanji akan membawa ibumu ke sini."

Riyan tersenyum hangat dan memeluk kakeknya.

"Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja jika kamu bersabar sedikit lagi."
Balas lelaki tua itu dengan air mata yang tertahan kala memeluk pundak cucunya yang bergetar karena menangis itu. Hidup cucunya terlalu berharga untuk diperlakukan seperti ini. Ia bisa saja melakukan apa saja untuk memberikan pelajaran bagi anak lelaki itu, tetapi Riyan memilih agar kakeknya itu tidak ikut campur dalam masalah ini. Riyan yakin bisa menyelesaikannya sendiri. Ia tidak mau kakeknya mengeluarkan amarah besar dan akan berpengaruh pada kesehatan kakeknya itu.

"Riyan pulang, besok Riyan ke sini lagi." Lelaki tua itu mengangguk dan tersenyum seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

*---*

Setelah mengunjungi kakeknya, Riyan kembali ke rumahnya, apa masih bisa disebut rumah?

Riyan menyimpan ransel sekolahnya ke atas meja. Ia berbaring di atas kasurnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Pemandangan kosong yang selalu ia tatap.

Drrtttt

Clara is calling

Lelaki itu menghelah napasnya gusar.

"Halo beb?" Suara itu membuatnya ingin sekali melempar ponsel hitam miliknya.

Riyan hanya membalasnya dengan bergumam.

"Besok sore temenin aku ke acara ulang tahun kak Sherla ya, kamu ingatkan kak sherla, anak sepupu dari papa?"

"Besok latihan."

"Latihan kan bisa kapan-kapan, lagian acaranya juga setahun sekali."

"Lo bisa nggak sih ga usah gangguin gue sehari!?" Amarahnya memuncak kala mendengar perkataan Clara. Walaupun gadis itu sering mengatakan hal-hal yang membuatnya jengkel ia selalu menahan umpatannya. Namun, kali ini ia melepaskannya begitu. Ia sangat lelah dengan semua skenario di hidupnya. Skenario yang seolah dibuat-buat dan tidak jelas.

First Sight, First FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang