Pukul 3 sore, Valeria baru saja pulang dari sekolahnya karena tadi ia bertemu dengan guru pembimbingnya untuk membicarakan rencana masa depannya. Di Martha Bangsa, semua murid-muridnya memiliki guru pembimbing saat di kelas 12, tujuannya untuk membantu siswa bisa mendiskusikan rencana masa depannya dengan baik. Martha Bangsa sangat memperhatikan bagaimana perkembangan siswa di sini dengan berbagai cara. Seperti menawarkan lomba, memberi kelas tambahan ataupun yang lainnya.
Valeria berencana untuk melanjutkan studinya di negara swiss. Swiss adalah negara impiannya sejak lama. Walaupun begitu, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negera tersebut. Mungkin kesempatannya adalah saat ia lulus dan memutuskan tinggal di sana.
Valeria pergi mengganti bajunya di kamarnya dengan baju santai dan celana panjang kesukaannya. Badannya terasa sangat pegal dan tulangnya seakan remuk. Matanya sibuk menyisir setiap sudut apartemennya, tetapi nihil ia tidak menemukan keberadaan Riyan.
Tok tok tok tok
Valeria mengetuk pintu kamar yang ditiduri oleh Riyan. Setelah wajah tampan lelaki tertangkap di matanya, diam-diam ia bernapas legah.
"Gue mau nanya sesuatu sama lo."
Riyan mengangguk dan mempersilahkan gadis itu masuk ke kamar itu. "Jadi gimana keputusan lo?"
"Kalau boleh gue mau numpang untuk seminggu kedepan, setelah itu gue akan pergi."
Valeria mengangguk.
"Boleh kok, tapi malam ini gue balik aja ga enak kita satu apartemen gini."
"Kalau gitu gue nggak jadi, gue-"
"Ssttt, diam ga lo!" Interupsi Valeria berhasil membuat lelaki itu mengatupkan bibirnya.
Valeria mengeluarkan kartu bank cadangan yang ia punya. Sebenarnya ia memiliki 4 bank karena masing-masing memiliki fungsinya. 1 bank untuk jajan dari ayahnya, 2 bank lainnya untuk investasi sahamnya yang ia tabung. 1 lainnya adalah bank cadangan darurat.
"Nih, atm cadangan gue pakai aja."
"Enggak perlu gue masih ada simpanan kok."
Valeria memicingkan matanya tidak percaya pada perkataan Riyan. Ia mengambil dompet sekals yang berada di atas meja.
"Apanya simpanan?" Tanya Valeria sambil menunjukkan dompet lelaki itu yang kosong.
"Bukan di sana, di rekening gue."
"Yaudah kalau gitu balikin duit gue semalam sekarang. Cuma 45 ribu kok."
"Oke, duit gue udah habis dan atm gue keblokir semua." Jawabnya dengan nada pasrah. Gadis itu membuatnya mati kutu.
"Makanya ambil nih!"
Akhirnya Riyan mengambil kartu berwarna abu-abu itu dengan sedikit menurunkan gengsinya.
"Sama-sama!"
"Makasih."
"Gue mau makan di luar, ikut ga?"
"Enggak, gue di rumah aja."
"Yaudah, gue pergi dulu!"
Setelah 30 menit berlalu, sosok gadis mungil itu muncul dari balik pintu membawa sekotak pizza, burger, dan fried chicken terkenal. Ia meletakkannya di meja tepat di depan tempat Riyan sedang duduk.
"Tara~"
"Lo mau ngadain party?"
"Ya enggaklah, ini buat kita makan. Gue nggak selera kalau makan sendirian. Dah ayo makan!"
Riyan diam dan tak menjawab lagi. Ia mengarahkan tangannya mengambil satu slice pizza dengan toping keju leleh di atasnya itu. Satu suapan berhasil mendarat di kerongkongannya. Enak. Satu kata itu yang muncul dalam pikirannya. Faktanya terakhir kali ia makan makanan enak seperti ini adalah saat ia TK. Setelah itu hidupnya adalah neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Sight, First Feeling
Teen FictionPertemuan kala itu, Riyan Gerrard Wijaya, lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu adalah seorang kapten basket yang mempunyai paras yang diidam-idamkan oleh kaum hawa. Wajahnya sedikit judes padahal dia sangat ramah walau hanya dengan teman sekitarnya...