EIGHT

0 0 0
                                    

Valeria meletakkan tas lelaki itu di atas meja yang ada di sampingnya. Matanya memancarkan sorot kekhawatiran yang besar. Ia bingung dan sedikit takut melihat Riyan yang terkapar di atas kasur itu.

Setelah menimbang cukup lama, ia akhirnya memutuskan membawa lelaki yang mengisi pikirannya itu ke apartemen hadiah dari papanya saat ulang tahun ke-17 tahun lalu. Di sini hanya ada dirinya dan Riyan karena apartemen ini kosong, ia hanya sesekali datang untuk menginap jika sedang bosan di rumah. Rencana apartemen ini hanya ingin ia jadikan sebagai investasinya saja.

Valeria mengambil benda hijau di atas meja yang tadi ia ambil dari lemari kaca di kamar ini.

"Ayo bangun, minum obat." Ujar Valeria yang membuat lelaki itu membuka matanya sedikit dan menggeleng lemah. Ia benci rasa obat hijau itu.

"Ayolah, kalau lo mati gue nggak mau jadi saksi!"

Valeria menarik tangan lelaki itu memaksanya untuk mengubah posisinya menjadi duduk. Akhirnya Riyan menurut dan menelan obat itu secepat kilat.

"Nah gitu dong, sekarang udah jam 10 malam, lo tidur di sini aja."

"Gue ada di kamar sebelah. Lo bisa panggil kalau lo butuh bantuan." Valeria yang tak mendapatkan jawaban pun meninggalkan lelaki yang sedang tertidur pulas itu.

Beberapa jam kemudian. Tepatnya pukul 12 malam, Valeria yang merasa kelaparan pun bergegas menuju dapur. Ia membuka kulkas yang tinggi nya mencapai 1.5 meter itu.

Hanya ada beberapa frozen food yang ia beli kemarin karena memang hari ini ia berencana untuk menginap di sini. "Goreng nugget aja deh." Monolognya.

Beberapa menit menunggu nugget itu matang sempurna ia berbalik ke kulkas untuk mengambil minum.

"Setan!" Teriaknya kala seorang bertubuh tinggi itu muncul di hadapannya.

Ternyata itu adalah Riyan.

"Bersuara kek, bikin kaget aja!" Decaknya.

Mata itu.

Raut wajah itu.

Raut wajah yang persis ia tunjukkan beberapa kali di situasi yang sama.

"Di kamus hidup lo ga ada tertulis maaf ya?" Sindir Valeria sambil berjalan menuju gorengannya yang sudah matang. Jika tidak diangkat sekarang mungkin sudah gosong.

"Maaf." Ujar Riyan yang membuat Valeria menggelengkan kepalanya.

"Lo mau makan?" Tanya Valeria.

Riyan mengangguk. Ia mengekori Valeria yang membawa nugget yang berjumlah banyak itu ke meja makan.
"Ga ada nasi, jadi makan ini aja."

Lagi dan lagi Riyan hanya mengangguk.

Lama-lama balasan lelaki itu membuat Valeria jengkel.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, tante Kimmy dan om Hendra siapanya lo?"

"Ibu tiri dan papa kandung." Balasnya sambil memasukkan nugget ke dalam mulutnya.

"What? Ibu tiri?"

Riyan mengangguk.

"Jangan bilang maksud lo iblis di luar ibu peri di dalam itu kayak yang gue pikirin!?"

Riyan mengangguk lagi.

Oke. Valeria benar-benar speechless dengan Riyan.

"Terus lo diusir kenapa?"

Valeria menutup mulutnya yang asal mengeluarkan pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan.

"Sorry."

"Karena gue berantem sama Clara, dia ngadu."

"Gue dijodohin sama Clara." Tambahnya.

Valeria berusaha mati-matian menahan senyumnya kala mendengar pernyataan itu. Artinya Riyan tidak benar-benar berpacaran dengan Clara bukan?

"Serius? Padahal banyak yang ngira kalian bakalan nikah habis lulus."

"Gue nggak pernah suka sama dia. Ini semua karena pemaksaan orang itu." Riyan menjelaskannya dengan amarah yang bisa dirasakan oleh Valeria.

"Em gue bingung harus bereaksi gimana." Ujar Valeria dengan hati-hati takut melukai perasaan Riyan.

"Cukup tutup mulut tentang masalah ini."

"Oke."

Beberapa detik tenggelam dalam keheningan membuat Valeria memutar otak untuk mencari topik. Ia tidak suka dengan suasana canggung ini.

"Lo ingat ga sama gue?"

"Lo yang nyasar di ruang ganti kan?"

"Bukan, sebelum itu."

Riyan tampak berpikir sejenak lalu menggelengkan kepalanya.

"Yaudah deh." Ujarnya dengan nada kecewa.

Riyan yang bingung pun menggaruk tengkuknya. Apa ia pernah bertemu Valeria sebelum itu? Rasanya tidak ?

Atau mungkin pernah?

"Gue tidur duluan ya." Valeria berlalu pergi meninggalkan Riyan yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

*---*

"Lo ga sekolah?"

Riyan menggelengkan kepalanya. Kepalanya masih terasa sakit dan ia tidak sanggup untuk berdiri.

"Yaudah, lo kalau masih mau tinggal di sini gak papa kok."

"Lo se-percaya itu sama gue?" Tanya Riyan membuat Valeria juga bertanya pada dirinya sendiri.

"Karena lo anaknya tante Kimmy sama om Hendra? Dan gue yakin lo orang baik."

"Yaudah, password pintunya 043927. Kalau lo mau mandi, toilet di dekat dapur. Dah ya bye."

Riyan membaringkan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar berwarna biru langit itu. Pikirannya sibuk tertuju pada hidupnya. Harus kemana ia sekarang? Apa ia harus ke rumah kakeknya? Ia tidak mungkin terus-menerus tinggal di apartemen Valeria. Rasanya aneh, mereka tidak pernah saling kenal dan tiba-tiba tinggal di satu atap.

.
.
.

First Sight, First FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang