Awal Mula

18 6 4
                                    

Bolo-bolo piye kabare? Sehat? Alhamdulillah

Woke, wes ndak usah kakean cingcong langsung ae cuusss meluncur

***

Regan tampak bergelut dengan pencil dan secarik kertas. Ya, dia tengah menyusun lagu untuk debut mereka yang tinggal beberapa hari lagi. Yang lain juga ikut membantu menyelesaikan lagu itu, lagu itu spesial karena lagu pertama yang mereka buat. Agar lagunya cepat selesai Regan membagi tugas dan dia akan menyempurnakan lagu itu sebagai sentuhan akhir dari mahakarya mereka.

Ibra dan Maren mengetuk-ngetuk pensil di meja dengan harapan menemukan irama yang tepat dari lirik yang sudah dibuat oleh Milan. Sedangkan Arun masih berada di sekolah karena mencatat data teman-teman sekelasnya untuk diserahkan kepada wali kelas. Setelah perjuangan yang panjang mereka akhirnya bisa menyelesaikan lagu pertamanya.

"AKHIRNYA KELAR JUGAA!!!" Ibra melompat-lompat kegirangan. Rasanya beban yang berat baru hilang dari pundaknya begitu menyelesaikan tugas ini.

Maren tertawa melihat tingkah Ibra yang rupanya sebelas duabelas dengan dirinya. Hanya saja Ibra lebih banyak bergerak sementara dia sendiri banyak ngomongnya. Ponsel Maren di meja berdering, layar hitam itu menampilkan sebuah nama yang membuat Maren langsung gerak cepat mengangkat panggilan suara itu.

"Kenapa?" tanya Maren yang membuat ketiga manusia di sekitarnya itu penasaran siapa yang menghubunginya.

"Hah? Ya udah, tungguin di tempat biasa gue jemput. Iya-iya,"

Maren mengakhiri panggilan suara itu dan terperanjat terkejut melihat ada ketiga makhluk hidup yang entah sejak kapan berada di dekatnya. Tanpa membuang banyak waktu cowok itu mengambil kunci motornya dan berjalan keluar. Lagi-lagi Regan menahannya untuk dimintai kejelasan dari dirinya.

Maren memutar bola matanya malas. "Gue mau jemput Arun dulu, kalian pulang duluan nggak apa-apa."

"Loh? Tumben banget lo rada dewasa gini. Nggak makan bulu babi kan?" tanya Ibra.

Milan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Emang babi punya bulu? Apa enak dimakan?"

Regan mencubit lengan Milan karena gemas dengan sikap polosnya yang terkadang terlalu polos. "Bulu babi yang di laut itu, item terus banyak durinya gitu. Setahu gue sih enak rasanya, mungkin."

Maren bergegas untuk menjemput manusia titisan Mak Lampir. Hari ini dia malas untuk mencari masalah, entah dengan siapapun itu. Sahabatnya itu membuatnya kadang berpikir jika seusia dirinya cowok-cowok kebanyakan sudah mempunyai pacar dan memboncengnya keliling kota, sementara dirinya? Maren masih tidak ingin untuk menjalin hubungan seperti itu. Dia merasa jika memang jodoh pasti bertemu dengan sendirinya. Tak jarang juga dirinya heran dengan seorang cowok yang punya pacar lebih dari satu dan berganti-ganti pasangan setiap hari.

Menurut Maren pribadi, seorang raja akan tetap menjadi raja tanpa kehadiran seorang ratu. Biarlah dia menikmati masa mudanya bersama teman-teman sengklek yang kini mereka menjadi rekan satu grup. Daripada sibuk memikirkan perempuan, cowok itu lebih sibuk memikirkan Tebu di rumah. Sebenarnya ada beberapa cewek di sekolahnya yang tertarik padanya, hanya saja Maren tidak peduli. Tertarik bukan berarti suka karena tulus.

Tanpa sadar Maren sudah berada di depan gerbang sekolah. Ia buru-buru menepuk kedua pipinya. Bagaimana bisa dia berkendara dengan mode auto pilot seperti tadi. Beruntung saja dirinya masih utuh, astaga benar-benar tidak disangka. Berkali-kali dia mengecek dirinya sendiri barangkali ada yang lecet. Maren benar-benar tidak sadar jika dirinya sedang menyetir motor dalam kondisi melamun.

HAEL : LAST CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang