Undangan

7 5 0
                                    

Oke, sesuai keinginan para readers kesayanganku, Dendeng up lagii. Soalnya aku tau rasanya digantung itu nggak enak. Jadi ya gitu lah,

Happy readingʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔ

***

Cowok itu kini tersadar di ruangan serba putih. Berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri bersamaan dengan tubuhnya yang terasa lemas. Masker oksigen terpasang rapi menutupi hidungnya.

Suara hangat dan lembut tertangkap indera pendengarannya. Dengan lemah dia menoleh ke arah samping dimana seorang dokter masuk ke dalam ruangannya. Sosok itu terlihat sangat familiar baginya. Matanya menyipit karena pandangannya sedikit memburam.

"Kamu udah sadar? Gimana, ada yang sakit?" tanya dokter itu dengan ramah.

Maren menatap wajah dokter yang sudah dianggap sebagai kakaknya. "Rama.... Dimana?"

"Ah, dia berada di ruangan lain. Kondisinya sudah stabil tapi kami perlu melakukan observasi untuk memantau perkembangannya. Jadi dia mungkin akan tinggal lebih lama." jelas Resi sambil mengusap kepala Maren.

Ia tidak menyangka jika Maren akan mendonorkan sebagian hatinya untuk Rama. Hati dinginnya berhasil luluh berkat cowok periang ini. Perlahan hatinya menghangat, dia seolah merasakan kehadiran teman lamanya yang sudah lama hilang kabar.

"Papa jahat...."

Resi mengusap lembut air mata yang meleleh di pipi Maren. Tampaknya pengaruh bius masih belum sepenuhnya menghilang. Hal itu mungkin mempengaruhi sedikit emosi dan kesadaran seseorang. Ia membiarkan pasiennya ini mengeluarkan semua emosinya yang tertahan sebelumnya.

Satya menyimak baik-baik semua curahan hati Maren. Cowok itu tampaknya tidak sepenuhnya sadar telah mengatakan semuanya pada seorang dokter. Dia benar-benar mengatakan segalanya pada Resi, dan pria itu hanya diam menyimak semua cerita Maren.

"Sstt.... Maren, kamu anak yang baik. Kamu anak paling baik yang saya temui.... Jangan sedih ya?" Resi tak berhenti mengusap kepala Maren yang sekarang tengah menangis.

Maren menceritakan semua perbuatan Arid padanya selama ini. Satya yakin dibalik sosok Maren yang keras kepala ada trauma mendalam diingatkannya. Cowok itu akhirnya tertidur karena kelelahan, wajah sembabnya membuat Satya iba. Pria itu memutuskan untuk membawa Maren pergi dari cengkraman Arid. Ia berniat untuk merawat Maren dan menyembuhkan semua lukanya.

***

"Ren, lo kenapa sih pucat gitu? Lo beneran nggak apa-apa?"

Cowok yang tengah menidurkan kepalanya di meja lantas menoleh ke arah Arun yang tengah menatapnya dengan khawatir. Arun sampai meletakkan buku yang dibacanya karena khawatir setelah Maren datang dengan wajah lelah. Bagaimana tidak, Maren sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena Resi berada di dekatnya dalam waktu yang cukup lama. Hal itu membuat Maren sedikit terganggu namun di saat yang bersamaan dia merasa senang ada orang lain yang mau menemaninya.

"Hhmm, gue nggak apa-apa. Cuma ngantuk abis begadang nonton basket di HP." Maren terpaksa berbohong kepada Arun, dia tidak mau membuat Arun semakin khawatir dengan kondisinya yang baru saja operasi donor hati.

"Beneran deh, udah gue mau tidur jangan berisik kayak knalpot rusak."

"Ngaca kali," sarkas Arun sambil kembali membaca bukunya.

HAEL : LAST CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang