3. The luckely hand

20 14 0
                                    

Cora menguap sesekali, tangan kanannya memegang secangkir Latte, ia melihat orang sibuk berlalu lalang dari jendela cafe, entah itu untuk pergi bekerja atau ke sekolah. Ia hanya tertawa miris, menertawakan dirinya yang tidak menjadi bagian dari sebagian besar orang yang sedang sibuk berlalu lalang tersebut.

Gadis itu kembali melirik arlojinya dan kembali menguap, ia harus menghabiskan malamnya mengedit sebuah video, memang nasib seorang freelancer yang harus  bekerja tanpa kenal waktu dan mengejar target demi menghidupi dirinya dan keluarganya.

Pintu cafe terbuka, seorang gadis yang sibuk merapikan bajunya muncul dari sana. "Aduh, maaf ya gue telat," sesal Kirana. Cora yang berniat ingin marah karena lama menunggu mengurungkan niatnya karena melihat Kirana dengan penampilan berantakan dan napas ngos-ngosan.

"Ya. lo ngapain  ngajak ketemuan pagi-pagi gini." hanya itu yang dapat Cora lontarkan dari  mulutnya.

"Gue mau dengar cerita lo sama Pak Dani kemarin, ayo cepat ceritain!"

Cora menghela napas dan mulai menceritakan mengenai pertemuanya dan Pak Dani kemarin. Raut kesal tertera jelas di wajah Kirana saat ia mendengarkan cerita Cora.

"Sumpah ya tuh tua bangka gak tau diri banget!" kesal Kirana setelah Cora selesai bercerita. "Nyesel banget gue ngenalin lo sama dia." imbuh Kirana.

"Yaudah sebagai permintaan maaf gue, gimana kalau gue atur kencan buat lo."

Cora sontak menggeleng keras. "OGAH!"

Kirana memegang tangan Cora dan memasang puppy eyes berharap agar Cora mau mendengarkanya. "Sekali aja, gue bakal cari cowok terbaik buat lo. Gue benar-benar mau liat lo bahagia sama cowok yang tepat."

"Gue gak mau Kirana." Cora menekankan setiap kata pada kalimatnya. "Sana lo kerja, ntar telat," usir Cora.

Bukanya beranjak, Kirana malah mengeluarkan ponselnya dari tas dan membuka sebuah aplikasi pada ponselnya. Cora yang sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Kirana hanya menggeleng pelan sembari menghela napas. Cora mengernyitkan dahinya ketika melihat tampilan depan aplikasi yang dibuka Kirana, ia seperti pernah melihatnya baru-baru ini.

"Ah iya!" Cora berseru ketika berhasil mengingatnya. "Penipu kemarin," sambungnya. Kirana yang tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Cora menatap gadis itu meminta penjelasan.

"Gue kemarin nemu web baru tapi malah ngarahin ke aplikasi itu." tunjuk Cora pada ponsel Kirana.

Kirana yang sudah mengerti apa yang dimaksud Cora dengan web baru langsung menyodorkan ponselnya ke arah Cora. "Cepat pilih satu!"

"Lo udah tau gue gak percaya gituan."

"Pilih aja!" Kirana memaksa.

Dengan malas Cora memilih satu kartu. Inilah kebiasaan Kirana yang tidak Cora mengerti, ia sangat suka melihat ramalan tarot, bahkan ia memulai harinya dengan membuka apliksi tersebut. Gadis itu bahkan rela mengeluarkan uang untuk menjadi pengguna VIP di sana.

Sebuah kalimat keluar setelah Cora memilih kartu, Cora sempat membacanya. Namun, Kirana dengan cepat menyembunyikanya. "Udah lah, gak usah aja," ucapnya dan kembali memasukan ponselnya ke dalam tas.

"Gue udah baca, gue sial lagi kan hari ini."

Kirana meringis, "Gak usah dipikirin, lagian kan lo juga gak percaya tarot."

"Gue duluan ya!" Kirana bergegas menghindari Cora. Sepeninggalan Kirana, Cora kembali  menatap kosong ke arah luar jendala, melihat jalanan yang mulai sepi.

Pintu cafe kembali terbuka, Cora menoleh, ia melihat dua pria berperawakan tinggi berjalan ke arah kasir. "Orang bodoh mana yang beli kopi di cafe lain padahal dirinya sendiri punya cafe," seorang cowok berucap ketika mereka melewati Cora, tidak terlalu keras. Namun, cukup jelas untuk di dengar Cora.

Fate DestroyerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang