"Sebelumnya mohon maaf pak, kesepakatan kita di awal tidak seperti ini," Cora seberusaha mungkin menahan emosinya. Bayangkan saja pekerjaan yang ia kerjakan selama seminggu dengan full begadang bayaranya dipotong 20% dari kesepakatan awal.
"Dari awal kan saya udah bilang, kalau telat dari deadline terpaksa bayarannya saya potong."
"Loh, saya telat juga karena bapak yang tadi malam tiba-tiba minta revisi."
"Ya itu hak saya dong, kan boleh revisi sampai tiga kali."
"Tapi saya udah ngirim progresnya dari tiga hari yang lalu dan bapak baru minta revisi tadi malam. Lagian saya hanya telat beberapa jam."
"Ya pokoknya itu sudah kesepakatan kita dari awal, kalau kamu tidak terima kembalikan saja uang saya. Saya bisa cari editor yang lain!"
tuttt...
Sambungan teleponya dimatikan sepihak. Cora menghela napas, inilah yang tidak ia sukai dari freelancer. Gadis itu menarik rambutnya dan berteriak kesal. Suka tidak suka ia harus menerima, karena jika tidak maka editan yang ia kerjakan selama seminggu akan terbuang sia-sia. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tertawa. Ia menertawakan diri nya sendiri yang berakhir seperti ini.
Cora meraba kasurnya untuk mencari keberadaan ponselnya, setelah ketemu gadis itu menekan tombol panggilan pada salah satu kontaknya.
"Hallo Ra, kenapa?" suara Kirana terdengar dari sebrang sana.
"Tarot lo benar, gue beneran dapat sial," ungkap Cora diakhiri tawa miris diujung kalimatnya. Kirana bingung harus bereaksi seperti apa. Ia ingin berseru senang karena ramalan tarot yang ia yakini tidak pernah salah dan kali ini terbukti sendiri kepada Cora yang selama ini tidak percaya. Namun, ia juga tidak tega mendengar nada suara Cora, meskipun bukan hal baru lagi Cora mendapat kesialan.
"Lo siap-siap sekarang, lima menit lagi gue sampai."
Belum sempat bertanya Kirana sudah terlebih dahulu mematikan sambungan teleponnya. Cora hanya menurut dan berjalan menuju kamar mandi. Persetan dengan perkataan Kirana yang berkata lima menit lagi ia sampai, Cora yakini setengah jam kemudian pun gadis itu pasti belum menampakkan batang hidungnya.
Setelah selesai dengan ritualnya di kamar mandi, Cora terdiam beberapa saat di depan lemarinnya. Ia bingung harus memakai apa karena Kirana tidak memberi tahu kemana mereka akan pergi.
Cora pun menjatuhkan pilihannya pada salah satu baju bewarna hitam, tidak terlihat too much atau terlalu santai. Ia rasa baju tersebut akan cocok untuk dipakai kemana pun Kirana akan membawanya.
Suara klakson berbunyi nyaring dari bawah sana. Cora melihat dari jendala kamarnya, mobil Kirana sudah terpakir manis di halaman rumahnya. Kepala Kirana keluar dari jendela mobil dan menoleh ke arah Cora.
"BURUAAN!"
Cora bergegas meraih tasnya dan berlari menuruni tangga. Sebelum pergi ia menyempatkan diri terlebih dahulu untuk berpamitan kepada neneknya yang sedang menyuapi papanya. Ingin sekali Cora mendengar papanya bertanya kemana Cora pergi seperti yang sering seorang ayah tanyakan kepada anaknya. Namun, jangankan bertanya kemana Cora akan pergi, bahkan melirik Cora pun tidak.
"Pa, Cora pergi main bentar ya sama Kirana. Cora janji pulangnya gak kemaleman." meskipun begitu, Cora akan selalu berpamitan kepada papanya.
Setelah berpamitan Cora berlari kecil menghampiri Kirana. "Mau kemana?" tanya Cora sesampainya di dalam mobil.
"Lo liat aja nanti."
Cora tak lagi bertanya, ia hanya diam dan melihat jalanan di luar sana. Dimulai dari melewati padatnya perkotaan hingga melewati hutan dan berakhir pada sebuah bangunan di tengah taman , tidak terlalu banyak bangunan yang berada di sana, bahkan bisa dibilang cukup sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Destroyer
FantasyTak hanya punya kekuatan mengubah keberuntungan, tapi Kanaka juga memanfaatkannya untuk meraup kekayaan. Bersama tiga sahabatnya, ia menyelesaikan misi-misi berbahaya demi para klien yang haus keberuntungan. Namun, takdir memiliki rencana lain. Pert...