Cora meminta Kirana menurunkanya di taman dekat rumahnya. Kesadaranya sudah mulai kembali, maka dari itu ia memilih untuk turun di taman dan berjalan menuju rumahnya sembari menunggu kesadaranya kembali sepenuhnya, Cora tidak ingin pulang dalam keadaan mabuk karena akan membuat neneknya khawatir.
Sepanjang perjalanan Cora sesekali memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sakit dan perutnya mual. Ia menghela napas dan melihat rumahnya dari kejauhan. Dahinya mengernyit ketika melihat asap mengepul dari rumahnya , hal tersebut membuat kesadarannya kembali seketika.
Ia dengan cepat berlari menuju rumahnya dengan perasaan campur aduk, takut jika ia akan kehilangan semuanya, ia tidak punya siapa pun lagi kecuali nenek dan ayahnya. Memikirkan hal yang tidak-tidak membuat dadanya terasa nyeri.
Sesampainya di depan rumahnya Cora menghela napas, karena apa yang dipikirkanya tidak benar. Cora berjalan mendekati papanya yang tampak sedang membakar sesuatu di halaman rumahnya. Tapi sesuatu di tangan papanya membuat Kedua bola mata Cora membulat dengan sempurna.
Ia berlari dengan cepat dan merebut medali di tangan papanya. "Papa ngapain?" marah Cora. Jantungnya berdegup dengan cepat karena jika ia telat beberapa detik saja maka medali tersebut akan melebur menjadi abu bersama potongan kayu yang dibakar papanya.
Arsan tentu saja kaget melihat kehadiran Cora yang tiba-tiba merebut sesuatu dari tangannya. Ia mulai merasakan sesuatu dari tubuhnya. Ia bergerak gelisah hingga terduduk di tanah. Cora yang tersadar akan nada nya yang tinggi kepada Arsan seketika merasa bersalah dan berjongkok di hadapan papanya.
"Pa, maafin Cora yaa. Cora gak bermaksud ngebentak papa."
Arsan menepis tangaan Cora yang hendak memegangi bahunya. "Jangan sentuh saya!"
"Paa.."
Arsan menatap takut, terlebih melihat medali emas di tangan Cora. Potongan dari kepingan masa lalu mulai memasuki ingatanya.
"Darahh.. itu daraahh!" Arsan berujar takut sembari memeluk lututnya.
Air mata menumpuk dipelopak mata Cora ketika ia melihat keadaan Arsan. Gadis itu menggeleng pelan. "Ini bukan darah pa."
Arsan mulai menyeret tubuhnya mundur menjauhi Cora. "Darah, banyak darahh!"
Cora terus menggelengkan kepalanya dan mendekat ke arah Arsan.
"Pergi kamu pergii! Kamu udah ngebunuh Siskiaa!"
Tetesan air mata mulai jatuh membasahi pipi Cora. Ia terus menggelengkan kepalanya. Rasa bersalah mulai merasuki dirinya. Isak tangis mulai keluar dari bibir mungil gadis itu. "Maafin Cora paa.."
Neneknya yang baru pulang dengan cepat memeluk Arsan yang tampak ketakutan. Arsan menunjuk Cora marah.
"Dia udah ngebunuh Siskiaa!"
Nenek Cora semakin mempererat pelukannya pada Arsan berusaha menenangkan anaknya.
"Dia Cora San, putri kamu."
"Dia pembunuhh!" Arsan dengan mata menyorotkan kebencian meraih balok kayu yang tak jauh darinya dan hendak menyerang Cora, untungnya nenek dengan cepat menahanya.
"Cora, kamu masuk ke dalam rumah dulu ya nak, Arsan biar nenek yang tenangin."
Dengan sisa isak tangis Cora mengangguk dan berjalan memasuki rumah dengan medali emas di tangannya.
Sesampainya di kamarnya, Cora langsung mengunci pintu kamarnya dan terduduk lemas sembari memeluk lututnya dengan salah satu tangannya. Matanya terus memandangi medali emas yang ia bawa, air mata kembali luruh membasahi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Destroyer
FantasiTak hanya punya kekuatan mengubah keberuntungan, tapi Kanaka juga memanfaatkannya untuk meraup kekayaan. Bersama tiga sahabatnya, ia menyelesaikan misi-misi berbahaya demi para klien yang haus keberuntungan. Namun, takdir memiliki rencana lain. Pert...