35. Permintaan Bapak

379 78 2
                                    


"Sudah malam, Ndhuk. Kamu mendingan menginap di sini daripada pulangnya kemalaman," kata Pak Suryo ketika dilihatnya anak semata wayangnya itu masih meringkuk di sofa yang berada di sudut kamaar ibunya.

"Baru pukul setengah delapan, Pak. Sekar masih mau menunggui Ibu di sini," jawab Sekar.

"Kamu sedang menghindari sesuatu?" selidik bapaknya. Naluri lelaki itu mengatakan bahwa ada hal yang disembunyikan oleh putrinya belakangan ini.

"Mboten, Pak," elak Sekar. "Sekar hanya ingin lebih lama berada di dekat Ibu."

"Setiap hari kamu di sini sampai jam sembilan tapi tak pernah mau menginap," kata Suryo. "Kalau tujuanmu memang supaya dekat dengan ibumu, mengapak tidak menginap saja? Apa ada yang sedang kamu hindari, Ndhuk?"

Sekar tertegun. Apa memang sebegitu mudahnya bapaknya membaca apa yang sedang terjadi pada dirinya?

"Sejak kedatangan Pramudya, Bapak lihat kamu lebih pendiam, Ndhuk."

"Masak sih, Pak? Itu kan sudah dua bulan yang lalu. Lebih malah."

"Betul, tapi Bapak memang merasakan ada sesuatu yang berubah."

"Nggak, kok, Pak. Sekar biasa saja. Masalah Pram mau ambil semua harta Ibu, Sekar tak masalah. Malah bagus kalau kita sama sekali tidak punya kaitan dengan mereka."

"Tapi ibumu akan sedih sekali. Ibumu sudah berniat mewariskan semua perhiasannya kepadamu."

"Bukan masalah, Pak. Justru betul apa yang dilakukan oleh Pram. Sekar sama sekali tak punya hubungan darah dengan keluarga mereka. Jadi, biarlah saja. Kalau Bapak bisa membujuk Ibu untuk menyerahkan semuanya, itu justru lebih baik. Toh tanpa harta milik Ibu, kita sudah hidup dengan sangat layak," kata Sekar.

Memang, kehadiran Pramudya yang berakhir dengan pingsannya dia di kantor Sekar dulu karena dipukul Badai, memang bertujuan untuk meminta semua perhiasan warisan keluarga yang dipegang oleh Nastiti. Tentang hal itu, Sekar tak akan mempermasalahkan. Justru yang jadi masalah adalah jika Pramudya terus-menerus berada di rumah ini dan bertingkah tidak sopan seperti waktu lalu. Jadi, ia sama sekali tak keberatan jika semua perhiasan milik Nastiti diberikan pada Pramudya. Nilai perhiasan itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekayaan yang bersumber dari bapaknya.

"Lalu apa yang membuatmu seperti ini? Bapak harap tidak terjadi sesuatu yang buruk. Mungkin ada sesuatu yang kamu hindari di luar sana?"

"Sekar baik-baik saja, Pak. Sekar tak menghindari apa pun. Sekar hanya ingin di sini dulu. Kalau melihat Ibu tidur seperti itu, tenang rasanya."

"Itu efek obat," sahut ayahnya menghela napas panjang. "Kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk," lanjutnya lirih.

Sekar hanya bisa mengangguk. Apa yang bisa diharapkan dari pengobatan pasien kanker stadium 4 selain tetap bangun setelah tidurnya? Rasanya mustahil mengharapkan Nastiti bisa sembuh seperti sedia kala. Dokter sudah mengatakan bahwa kemo hanya akan membuat sel kanker itu melemah, alih-alih menghilang. Sayangnya efek sampingnya juga luar sangat menyiksa. Pada kondisi Nastiti seperti sekarang, kemoterapi hanyalah akan membuat tubuhnya melemah sehingga dokter hanya memberikan obat untuk mengurangi rasa sakit. Hanya itu yang bisa mereka lakukan, selain selalu siap sedia di samping Nastiti dan memberikan perasaan bahagia kepadanya.

"Ibumu pernah menanyakan mamimu," kata Pak Suryo.

Sekar menatap bapaknya tak mengerti.

"Ibumu merasa bersalah atas apa yang telah diperbuat kepada kalian," lanjut Pak Suryo. "Kiranya, kalau itu tak memberatkan, bisakah kamu mengusahakan agar mamimu bisa bertemu ibumu? Bapak ingin ...."

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang