38. Tak Tertebak

224 71 6
                                    


"Fadil, jangan lari," teriak si wanita.

Namun, si anak keburu sudah menubruk tubuh Badai yang langsung mengangkatnya dan memutar-mutarnya dengan gembira. Sang lelaki kecil tertawa tergelak-gelak. Tawa itu menular kepada semua yang hadir, kecuali Sekar yang tertawa kecut melihat keakraban Badai dengan anak kecil itu. Apakah itu anak Badai yang disembunyikan di sini? Lalu apa kabar rumor yang mengatakan bahwa Ningsih adalah tunangan Badai?

Oh, bodohnya dia tidak mau memperjelas hal itu ketika mereka berdua dalam mobil tadi. Tapi, ini kan perjalanan bisnis. Tak seharusnya mereka membicarakan hal yang bersifat pribadi, kan? Lagi pula, pembicaraan mereka sama sekali tak mengarah pada topik tentang pasangan. Sama sekali tidak pernah, kecuali saat Badai mengantarkan Sekar setelah pulang dari acara ulang tahun ibunya.

"Fadil, turun, Nak," kata perempuan itu. Ia meraih lelaki kecil yang ada di pelukan Badai, tapi anak itu menolak.

"Biarkan saja, Mbak," kata Badai. "Sudah lama juga aku nggak ketemu Fadil."

Eh, apa katanya tadi? Mbak? Masak Badai memanggil istrinya dengan sebutan 'mbak' sih, pikir Sekar yang seketika tercerahkan. Senyum mendadak terbit di bibirnya. Hal ini tak luput dari perhatian Badai yang sedari awal melihat reaksi Sekar yang kaku terhadap Fadil.

"Mas Rahman ada di kebun. Katanya menunggu customer dari Yogya. Ternyata kamu," kata perempuan itu.

Badai hanya menggumam, tidak menjawab dengan jelas.

"Biar kami langsung ke kebun saja," katanya. "Fadil nggak pa pa, kan, kalau kuajak ke kebun?"

"Jangan, banyak nyamuk di sana. Sini, Fadil, ikut Mama lagi," kata Dina sambil sedikit memaksa anaknya lepas dari pelukan Badai. "Sebentar lagi ada Kak Ifa bawa balon untuk menata tempat ulang tahun," katanya.

"Benar?" tanya anaknya yang seketika melorot dari dada Badai.

"Jangan suka bohong pada anak kecil, Mbak," tegur Badai.

"Lho, bener ini. Besok Fadil ulang tahun, jadi hari ini Ifa akan bantu-bantu buat ngatur tempatnya."

"Baiklah kalau begitu," kata Badai. "Kami langsung ke kebun saja, sudah hampir Zuhur."

Mereka berempat berpisah di jalan kecil menuju kebun yang tadi ditunjukkan oleh Dina. Rupanya tempat itu cukup jauh. Mereka harus melewati jalan setapak sepanjang dua ratus meteran untuk sampai di sana.

"Lelah?" tanya Badai yang menyadari bahwa Sekar tak bersuara dari tadi. Gadis itu berjalan tepat di belakangnya. Langkahnya sedikit ketinggalan dari Badai karena perbedaan panjang tungkai mereka yang cukup lumayan.

"Nggak, kok, cuma menikmati pemandangan saja. Enak di sini hawanya," jawab Sekar.

"Mirip Kaliurang, kan?"

"Lebih dingin di sini rasanya," jawab Sekar. "Mmm ... Badai ...," lanjutnya ragu.

"Kenapa?"

"Si Fadil kok bisa panggil kamu 'ayah'?" tanyanya. "Memang bapaknya nggak marah?"

Badai terkekeh. Ia mundur selangkah untuk menjajari langkah Sekar.

"Aku yang nungguin dia lahir memang. Aku juga yang mengazankan. Jadi pantas saja kalau dia panggil aku 'ayah'. Si Rahman tuh brengsek, mau punya anak tapi nggak mau menemani istrinya lahiran."

"Kok bisa? Ada gitu suami yang percaya istrinya ditunggui oleh laki-laki lain?"

"Oh, bukan begitu maksudku. Jadi begini, pas dekat-dekat waktunya Dina melahirkan itu, Rahman dapat pesanan untuk ngantar tanaman ke Tegal. Nah, kebetulan aku pas di sini, jadi istrinya dititipin ke aku. Katanya sih masih jauh waktu lahirannya. Apa tuh namanya?"

"HPL."

"Iya, HPL-nya. Jadi aku mau mau saja dipasrahin. Nggak tahunya, Rahman baru sampai di Pekalongan, istrinya tiba-tiba kontraksi. Ya kubawa saja ke rumah sakit. Bapaknya pulang, anaknya sudah bersih. Namanya saja pakai namaku akhirnya buat mengenang kejadian itu. Namanya Ahmad Fadil Maulana. Keren, kan?"

Apanya yang keren? Sekar pernah melahirkan. Ditunggu suaminya tentu saja. Mantan. Mantan suaminya sekarang. Tapi orang melahirkan itu kan auratnya juga terbuka. Apalagi kalau pakai baju rumah sakit yang belakangnya hanya ditali itu. Selama proses itu, bukan tidak mungkin akan tampak bagian-bagian yang seharusnya tidak dilihat orang lain yang bukan suami dan tenaga medis, kan? Mengapa Badai justru yang menemani Dina lahiran?

"Memangnya Dina nggak ada ibu untuk nemenin lahiran?"

"Nggak keburu panggil. Anaknya brojol begitu saja."

"Suaminya nggak cemburu?" tanya Sekar.

Badai menggeleng. "Sampai hari ini Rahman baik-baik saja. Dia bahkan dengan bangga bilang kalau aku adalah penyelamat keluarganya."

"Aneh," kata Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nggak aneh, kata Badai dalam hatinya. Rahman tahu ia tak pernah tertarik pada istrinya atau wanita lain. Rahman tahu bahwa ia tak bisa on kepada wanita. Karena di Jepang dulu, Rahman pernah membuatnya mabuk karena obat perangsang dan mendatangkan perempuan Jepang yang tergila-gila kepadanya. Meskipun Badai sempat tergoda karena efek obat itu, ketika perempuan itu mulai melucuti dirinya, Badai tersadar bahwa bukan ia perempuan yang diinginkan Badai. Seketika suasana mendingin karena "adik kecil" Badai langsung menyusut dan tak mau bangun lagi.

Perempuan Jepang tadi berteriak-teriak mengumpati Badai yang masih setengah sadar. Mulut Badai meracau memanggil seseorang. Dari situlah Rahman tahu bahwa Badai tak akan tergoda dengan perempuan selain dari nama yang dipanggilnya dengan penuh rasa sakit ketika dia dalam keadaan tak sadar.

"Kita sampai," kata Badai yang sadar bahwa Sekar merasa tak nyaman dengan ceritanya itu. "Itu dia si brengsek Rahman. Namanya saja yang Rahman, tapi kadang kelakuannya dajal. Untunglah setelah kembali ke Indonesia dan menikah, ia menjadi lebih baik. Setidaknya mirip manusia yang lain."

Sekar tersenyum kecil, tapi memilih untuk tidak menjawab. Matanya terpaku pada ribuan bibit yang terhampar di depannya. Dari yang pendek, hingga yang tinggi. Dari yang masih mulai disemai hingga yang sudah mulai berbuah. Bunga juga ada di sini. Ada beberapa pekerja yang sibuk dengan tugas masing-masing dan di antara mereka banyak yang kemudian berhenti sejenak untuk melihat siapa yang datang. Lalu seorang lelaki bertubuh gempal agak pendek datang menghampiri mereka sambil tertawa lebar.

"Ah, ini dia tamu yang dinanti-nanti," katanya sambil mengembangkan lengannya hendak memeluk sahabatnya. Sayangnya Badai menghindar sehingga Rahman hanya bisa memeluk angin.

"Kamu sengaja mau bikin aku penuh lumpur?" tanya Badai yang disambut dengan gelak tawa Rahman. Tawanya keras, memenuhi seantero kebun.

Sekar ikut tertawa melihat keakraban dua sahabat itu.

"Oh, aku tidak lihat ada gadis cantik di sini," kata Rahman setelah gelak tawanya mereda. "Pantesan dari kemarin ada yang rewel maksa minta disediain bibit kualitas nomor satu."

Sekar tersenyum.

"Saya Sekar, Mas. Temannya Badai."

"Oh, Sekar, ya, kupikir An ...."

"Bibit apa saja yang kausediakan, Man?" tanya Badai memotong kalimat Rahman.

Aning. Pasti itu, kan, yang dimaksud Rahman? Badai tak ingin nama Aning bergema di telinga Sekar karena mungkin akan membuatnya bertanya tentang hubungannya dengan Aning. Baiklah, memang tak seharusnya kepentingan pribadi masuk dalam urusan bisnis. Ingat, Sekar, ini hanya urusan bisnis semata. Jangan sampai jatuh dalam pesona lelaki yang menyimpan banyak tanda tanya.

Harusnya Sekar tak terusik. Tapi mengapa ia tak nyaman dengan kenyataan bahwa Badai pernah menunggui Dina melahirkan? Mengapa ia tak senang ketika ada nama Aning menyeruak di antara harinya yang seharusnya ceria ini?

Namun, Badai terlalu susah dibaca. Ada saatnya dia tampak begitu hangat dan menyenangkan, tapi di saat yang lain ia terasa begitu dingin dan jauh. Entahlah. Pada akhirnya ia hanya bisa menatap punggung kokoh lelaki itu sambil bertanya-tanya, peristiwa apa saja yang telah dialaminya selama mereka berpisah. Bisakah ia menebaknya hanya dengan menggabungkan puzzle-puzzle cerita yang didapatnya setelah mereka bertemu kembali?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang