Sekar duduk di samping Badai yang mengemudi dengan tenang menuju kota kecil yang hanya berjarak satu kota dengan Yogyakarta, yakni Magelang. Seingat Sekar, Temanggung juga kota tempat asal Mamak Niah, ibu Badai. Jadi, ia menduga bahwa yang akan mereka datangi nanti masih termasuk kerabat Badai. Mungkin karena kerabat, maka Badai tahu kualitas tanaman yang dijual. Apa pun itu, Sekar yakin bahwa pilihan Badai memang yang terbaik.
Sekar duduk dengan tenang di kursi penumpang, setenang Badai yang berkendara dengan kecepatan stabil. Lagu-lagu lama milik Sheila on 7 mengalun dari sound system mobil. Itu lagu yang sudah lawas sekali, tapi baik Sekar maupun Badai masih sangat hafal liriknya. Sebabnya, tentu saja karena lagu-lagu dalam album itu hits ketika mereka masih muda, bahkan bisa dibilang masih kecil. Kedua, So7 merupakan grup band legendaris kebanggaan kota Yogya. Sebagai warga kota Yogya, mereka berdua memiliki fanatisme yang sama terhadap grup band tersebut. Apalagi, mereka juga terkenal dengan sikap mereka yang ramah dan low profile khasmas-mas Jawa yang family man. Sekar pernah beberapa kali bertemu mereka secara tak sengaja di area publik di Yogya dan lagak mereka sama sekali tak mengesankan bahwa mereka adalah bintang legendaris di Indonesia.
Tanpa sadar, Sekar ikut berdendang mengikuti nyanyian Duta, sang vokalis. Badai mengulum senyumnya melihat hal itu, tapi ia tak bereaksi berlebihan, takut gadis di sebelahnya menjadi canggung seperti tadi pagi.
"Kita pernah nonton konsernya kayaknya dulu, ya?" tanya Sekar yang telah lebih santai.
Badai mengangguk. "Yang kamu bolos les itu, kan?" katanya sambil tertawa.
"Iyakah?" tanya Sekar.
"Dan habis itu aku dimarahi Bapak karena mengantarkanmu ke sana," kata Badai sambil tertawa.
Sekar ikut tergelak. "Bapak dan Ibu harusnya nggak akan tahu kalau nggak ada yang bocorin," kata Sekar sesaat setelah tertawanya reda. "Dan kalau itu bukan kamu ya Ningsih."
"Bukan aku," jawab Badai.
"Berarti dia," gumam Sekar. "Aku nggak nyadar ternyata dia sejahat itu."
"Kadang orang memandang orang lain berdasarkan normanya sendiri," kata Badai. "Apa yang bagi kita tabu, mungkin bagi orang lain tidak. Kita tidak bisa memandang sesuatu secara hitam putih."
"Wah, pandai berfilsafat kamu sekarang," goda Sekar.
Badai tak menjawab, hanya tersenyum simpul. Mukanya sedikit kemerahan karena malu dipuji oleh Sekar.
"Ih, Badai mukanya merah," kata Sekar. "Kenapa?"
"Nggak pa pa. Gerah saja."
"Ini AC-nya sudah besar lho. Lagian di luar juga nggak panas. Mana ada gerah?"
"Gerah karena ada kamu, Dek," jawab Badai jujur.
"Ih, apaan sih. Garing banget, deh," sahut Sekar yang mendadak salah tingkah karena ucapan Badai.
Badai tidak menjawab. Hanya tersenyum sambil tetap fokus mengemudi. Sesekali tangan kirinya mengusap kuduknya, mengusir jengah yang muncul akibat kata-kata Sekar. Namun, bukan hanya Badai yang salah tingkah. Sekar pun setali tiga uang kalau pakai istilah dulu. Kalau sekarang, sebelas dua belas. Hampir sama. Akibatnya, meeka kehabisan bahan pembicaraan sehingga akhirnya ia memilih diam tak berkata-kata lagi.
Mereka berkendara dalam hening. Harusnya terasa lama, tetapi Sekar merasa sebaliknya. Meskipun mereka berkendara tanpa bercakap-cakap, musik yang mengalun dan cuaca sejuk awal musim penghujan membuat perjalanannya terasa nyaman. Saking nyamannya, ia tertidur dengan sangat nyenyak.
Rasanya sudah lama sekali ia tak bisa tidur nyenyak. Tidur tanpa mimpi buruk yang seringkali membangunkannya tengah malam lalu tak bisa tidur lagi hingga Subuh menjelang. Tidur kali ini tanpa mimpi buruk yang membuatnya terbangun dalam keadaan lega karena semua itu hanya sekadar mimpi.
Badai yang melihat gadis di sampingnya perlahan tertidur mengendarai mobilnya dengan hati-hati, jangan sampai ada gerakan mendadak yang bisa membuat Sekjar terbangun. Sesekali ketika kepala Sekar miring ke bahu, ia menahannya dengan tangan kiri supaya leher gadis itu tidak sakit.
Akhirnya, setelah memnempuh perjalanan 45 menit lebih lambat dari biasanya, sampailah mereka ke rumah yang dituju. Sebuah rumah joglo khas Jawa yang sudah agak kuno, terbuat dari kayu jati asli, dengan halaman luas yang dipenuhi dengan bibit tanaman. Di sekeliling rumah terdapat hamparan padi keemasan yang siap panen.
Badai menghentikan mobilnya di tepi jalan yang kecil yang terbuat dari semen cor. Meskipun demikian, ia tak segera mematikan mesin mobil. Tak tega rasanya ia membangunkan Sekar dari tidurnya yang begitu nyenyak.
Diam-diam ia mengamati wajah Sekar yang tampak polos tanpa dosa. Masih cantik seperti ketika kecil dulu. Karena ia sedang terpejam, maka tampak jelas kondisi bulu matanya yang tebal dan lentik. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya tampak penuh dan Badai tahu, meskipun bibir itu dipulas lipstik, warna asli bibir Sekar lebih indah dari pulasan itu.
Tak puas-puasnya Badai mengamati Sekar yang tengah lelap tanpa gadis itu sadari. Badai tak tahu apa reaksi Sekar jika tahu apa yang dilakukannya. Mungkinkah Sekar akan tersipu malu, atau justru ia akan marah karena Badai telah diam-diam membiarkannya dalam kondisi tak berdayanya? Entahlah. Rasanya tak puas memandangi wajah Sekar saja, tapi Badai sadar bahwa apa yang tengah mekar kembali di dalam hatinya tak boleh ia biarkan berkembang terlalu jauh. Tentu saja, karena mereka berbeda. Sekar terlalu agung untuk seorang Badai.
Untung, tak berapa lama kemudian Sekar menyadari bahwa mobil telah berhenti. Untung pula bagi Badai, ketika Sekar membuka mata, ia tengah memandang lurus ke depan untuk meredam hatinya yang mendadak ngilu mengingat bahwa sampai kapan pun mereka tak akan bisa menyatu, bahkan jika satu-satunya hasratnya adalah untuk Sekar. Tak peduli bahwa ia akan melajang seumur hidup, ia tak akan melewati sekat bernama kasta itu karena Sekar tak layak mendapatkannya. Ia tak pantas untuk Sekar, seorang gadis bangsawan pewaris ratusan aset milik keluarga Suryoningrat.
"Sudah sampai?" tanya Sekar kepada Badai. "Mengapa tidak membangunkanku?"
"Nggak tega, tidurmu begitu nyenyak."
Sekar meringis. "Rasanya sudah lama sekali nggak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi di mobil. Aneh," gumamnya. "Mobilmu nggak dikasih kecubung, kan? Katanya bisa buat orang jadi tidur kalau ada kecubung di sekitarnya," ujarnya kepada Badai.
Badai terkekeh. "Kalau ada kecubung di sini, kita nggak akan sampai karena aku juga pasti akan tidur."
"Ya, kali aja kamu punya penawarnya. Kamu kan suhu di bidang tanam-tanaman. Kalau dalam film kolosal, kamu sudah bisa jadi tabib tuh," jawabnya asal sambil membuka kaca di atas kepalanya dan memeriksa riasannya. Rupanya rambutnya sedikit berantakan. Segera, Sekar mengambil sisir untuk merapikan rambutnya.
Setelah dirasanya rapi, ia segera menyusul Badai yang sudah turun dan melakukan peregangan untuk melemaskan otot-ototnya.
"Udaranya nyaman sekali," katanya bersemangat.
Badai hanya menggumam, takjub dengan sikap ceria Sekar yang bertolak belakang dengan tadi pagi. Mungkinkah dalam tidur ia mendapatkan hidayah supaya bersikap ramah kepadanya?
"Nursery-nya juga besar. Pasti yang punya sudah merintisnya lama sekali. Kamu kenal yang punya?"
Badai hanya mengangguk. Matanya menatap ke arah pintu masuk halaman yang terbuat dari bambu. Sekar mengikuti tindakan Badai, melihat ke arah yang sama.
"Itu yang punya," kata Badai.
Seorang perempuan seusia Sekar berjalan dengan tergesa-gesa ke arah mereka. Ada seorang bocah kecil berusia sekitar tiga tahun dalam pelukannya. Ketika jarak mereka semakin dekat, anak kecil tersebut merosot dari rengkuhan ibunya dan berlari menuju Badai sambil berteriak, "Ayaaaah ...."
Senyum Sekar menghilang. Wajahnya sepucat mayat. Drama apa yang sedang dilihatnya kini? Oh, ia bahkan lupa untuk bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukat Sekat
ChickLitMereka pernah saling mencinta. Menjadi sejoli yang tak terpisahkan. Berada dalam satu lingkaran bernama darah biru. Lalu semua rahasia terbuka. Dan jarak mereka kini sejauh barat dengan timur. Membentang tak terhadang, tapi ada pertemuan yang kembal...