09 › Tanggung jawab.

493 27 1
                                    

Tepat sudah dua hari Sastra mengamati secara berulang kali rekaman cctv yang terpasang di setiap rumah yang ada di sekitar rumahnya, Sastra bahkan sudah meminta bantuan polisi untuk mencari keberadaan mobil dengan plat yang rupanya tidak dapat ditemukan, plat palsu.

Sastra mengumpat untuk kesekian kalinya, ia mematikan layar iPadnya sebelum beralih pada kertas kusut yang menjadi bukti atas peneroran dua hari lalu. Dibacanya lagi kalimat yang tertulis tidak rapi itu, Sastra mencoba mengingat-ingat pasal siapa yang berani melempari rumahnya dengan batu yang terbalut kertas kusut dengan tulisan bernada misterius, siapa?

"Badebah." Sastra meremat kertas kusut itu, menghela nafas kasarㅡDirinya benar-benar dibuat penasaran sekaligus marah pada si dalang yang berhasil membuat mama tirinyaㅡNathalia jatuh sakit karena ketakutan. Sastra meletakan kertas kusut yang masih berbau amis itu diatas meja nakas kamarnya, "Apa yang dia maksud?"

Klek

"Sas.."

Sastra menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka, dirinya segera beranjak dari ranjang. "Ada apa, Sha?" sautnya pada si pelaku pembuka pintu yang rupanya ada submissivenya; Shada.

"Turun, sudah waktunya makan siang." Ujar Shada sebelum tatapannya jatuh terpaku pada kertas berbentuk bulat yang berada diatas nakas, "Jangan melupakan kesehatan kamu hanya karena kertas tidak jelas itu."

"Maksudmu kertas tidak jelas itu apa, Sha? Orang-orang itu udah berani nyerang rumahku." Sastra menatap kesal ke arah submissive itu, "Kemarin rumahku dan kita gak tau besok apa lagi yang bakal dijadiin sasaran, aku atau keluargaku? No one knows until we move quickly to find out."

"Jangan bicara seperti itu. Sekarang rumah ini udah dijaga ketat, cctv jalanan juga aktif. Bahkan keamanan perumahan ini juga diketatkan karena kejadian itu, gak perlu terlalu khawatir, papaku juga pasti bantu kamu buat cari tau pelakunya, tenang aja." Ujar Shada bermaksud menetralkan pemikiran Sastra yang kemungkinan dipenuhi dengan kekacauan yang terjadi kemarinㅡTeror surat tentang hadiahㅡHadiah apa yang dimaksud dalam surat itu? Ntahlah, tidak ada yang tahu kecuali dalangnya yang kini sedang berbaring lemas di atas ranjangnya.

Arwalla yang malang. Apa ini balasan yang langsung ia dapatkan setelah menyerang kediaman Askara? Ah.. mengapa keberuntungan lebih berpihak pada keluarga yang menurut Arwalla bejat? Mengapa Arwalla langsung mendapatkan balasan telak yang membuat masa muda bahkan masa depannya hancur? Ugh, bukan hanya itu saja.. tetapi harga dirinya juga.

"Positif dan sudah empat Minggu lebih. Tuan Arwalla tidak kehabisan darah, tetapi kelelahan karena banyak pikiran."

Positif. "Kenapa semuanya kacau ya, kak? kenapa aku langsung diulti?" Tawa sumbang Arwalla memasuki pendengaran Bastian yang baru saja memasuki kamar setelah mengantarkan sang dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Arwalla.

Bastian menghela nafas, "Jangan menyalahkan dirimu sendiri."

"Ini salahku yang gak bisa jaga diri, salahku yang pasrah, salahku yang lemah, salahku yang gak punya kekuasaan.. salahㅡ"

"Enough, stop there.. don't continue, you can get sick if you just think about what has happened." Potong Bastian, "Ini semua bukan salahmu.. bukan."

Arwalla menatap ke arah Bastian dengan tatapan lelahnya, "Aku capek.. balas dendam rasanya sia-sia kalau aku bakal lahirin keturunan mereka.. sia-sia."

"Arwalla.. maksudmu apa?" Tanya Bastian, ia kurang mengerti arah pembicaraan Arwalla yang menurutnya melantur, "Balas dendam sia-sia kalau kamu lahirin keturunan mereka? Memang bayi itㅡ"

Lebih dulu Arwalla mengangguk lesu, "Ya.. aku yakin ini bayi Sastra."

"Hei, asataga.. bahkan kamu bermain dengan adikku.. Allan, apa kamu tidak ingat?"

16. Youth, dendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang