15 › Semoga.

137 18 4
                                    

Arwalla menarik nafas saat mobil yang dikemudikan Allan berhenti di area parkiran yang ada di pelataran gedung pengadilan DKI. Suara nafas dari submissive Khana itu tentunya mengundang atensi Allan yang langsung mengusap punggung telapak tangan Arwalla yang dingin.

"Pulang aja gimana? aku takut kamu pingsan karena kurang bertemu dengan pelaku." Ujar Allan membuat Arwalla menoleh ke arahnya dengan sebuah gelengan.

"Aku sudah siap, Lan."

"Tanganmu dingin, gimana bisa dibilang siap? Kamu panik."

Arwalla menggeleng lagi, "Ini aku bisa handle."

"Yakin?"

"Iyaaa, bawel banget sih." Hardik Arwalla yang lebih dulu melepas seatbeltnya sebelum turun dari mobil, meninggalkan Allan yang menghela nafas sebelum ikut menyusul turun.

"Ayo, katanya sudah siap ketemu mereka." Ujar Allan setelah berdiri di samping Arwalla yang mendelik.

"ayah dan kak Bastian?"

"Sudah di ruang tunggu." Jawab Allan yang kini dengan santainya menggandeng tangan Arwalla.

Mereka berdua berjalan beriringan memasuki pintu utama pengadilan, berjalan memasuki ruang tunggu yang di mana sudah disinggahi lebih dulu oleh tuan Zedklen, Bastian dan bibi Sasmita.

"Kamu yakin mau ikut masuk ke ruang sidang, Alla?"

Arwalla menoleh ke arah Bastian, lalu ia mengangguk santai. "Aku mau tahu pelakunya, apa kalian sudah lebih dulu tahu siapa pelakunya? Apa motif mereka? Atau apa yang ayah terka selama ini benar? apa pelakunya adalah keluarga Askara dengan motif persaingan perusahaan?" Tatapan polos terarah pada kepala keluarga Zedklen.

Tuan Zedklen melirik Bastian, tentunya mereka sudah tahu dan terkaan dari Tuan Zedklen sedikit salah. "Arwalla, kita lihat waktu persidangan saja ya? Agar semuanya lebih diperjelas lagi." Saut Bastian.

Arwalla menghela nafas samar karena harus menahan rasa penasarannya yang membuncah sampai waktu persidangan tiba.

"Aden Walla duduk saja dulu, ndak baik berdiri lama-lama." Celetuk Sasmita yang kini langsung menuntun Arwalla supaya duduk di kursi kosong yang tersedia di ruang tunggu persidangan.

Arwalla tersenyum tipis, "terima kasih.. bi."

Sasmita mengangguk dengan seulas senyum, wanita paruh baya itu sesekali mengusap punggung Arwalla supaya tuan muda Khana itu tenang dan tidak lebih gelisah.

"Jangan mikir yang berat-berat ya, aden.. pelakunya pasti mendapatkan hukuman seberat-beratnya."

y o u t h

"Sidang udah mau dimulai."

Sastra melihat jam tangannya dengan langkah kaki sedikit terburu-buru saat mendengar celetukan Essa, "Papa lo sama papa gue udah di dalam?"

"Yoi, Shada sama papanya juga udah di sana, tinggal kita berdua." Jawab Essa yang melangkahkan kedua kakinya beriringan dengan SastraㅡKedua pemuda itu berjalan menyusuri lorong gedung pengadilan, sampai pada langkahnya berdiri di depan pintu pengadilan yang sedikit terbuka.

"Kayaknya belum dimulai." Celetuk Sastra yang dengan berani membuka pintu ruang sidang dan melangkah masuk disusul EssaㅡYang mana kehadiran mereka telah berhasil mengundang atensi dari pihak korban yang rupanya sudah lebih dulu duduk di kursi yang tersedia.

"He's getting prettier, Sas." bisik Essa seketika menyadarkan atensi Sastra akan keberadaan sosok yang dimaksudkanㅡSastra bahkan langsung menatap ke arah pemuda yang duduk bersebelahan dengan mantan adik iparnya.

16. Youth, dendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang