14 › Memikirkan.

115 12 0
                                    

Hi, chapter ini dan chapter selanjutnya akan memuat adegan persidangan. Jadi, aku minta maaf apabila adegan persidangan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, terima kasih.

y o u t h

Sejak kemarin berita mengenai Khana kembali naik ke permukaan bertepatan setelah kabar mengenai pelaku dari kasus kebakaran rumah Khana diungkap jika sudah tertangkap dan akan segera menjalani persidangan untuk hukuman atas tindakannya yang sudah merenggut nyawa keluarga Khana.

Berita-berita itu juga memuat aset Khana yang selama ini tidak terdengar; aset berupa perusahaan yang kembali dipertanyakan pasal siapa yang akan mengelola dan siapa pewarisnyaㅡTapi, kebanyakan orang beranggapan jika aset atau perusahaan Khana itu dikelola oleh pengacara pribadi keluarga Khana seperti apa yang pernah dikabarkan belasan tahun lalu; keluarga Zedklen. Namun, publik tidak tau jika berkas pemindahan wewenang penuh atas perusahaan Khana sudah ditanda tangani oleh orang yang seharusnya sejak dulu memegang wewenang; Arwalla Khana yang sampai detik ini belum diumumkan.

"Sore ini kita harus berangkat ke Jakarta."

Arwalla terdiam mendengar pernyataan Bastian yang usai menceritakan pasal pengadilan yang tiba-tiba menghubungi Tuan Zedklen kemarinㅡMemberikan kabar bahwa pelaku pembunuh kedua orang tuanya sudah tertangkap, "Sore ini..? Tapi, bukankah sidangnya masih lusa?"

"Ya, Arwalla." Jawab Tuan Zedklen sembari membaca artikel mengenai kasus keluarga Khana yang kembali diunggah oleh media, "Tapi, jadwal sidang bisa saja berubah jika kasusnya mendesak atau sudah terlalu lama ditunda."

"Apa kamu tidak bersedia ikut? Tidak apa-apa jika kamuㅡ"

"Nggak, aku siap." Sela Arwalla cepat.

Bastian menatap tidak yakin, "Kamu yakin?"

"Aku mau lihat pelakunya secara langsung, aku juga mau lihat reaksi pelakunya waktu dijatuhin hukuman!" Jelas Arwalla lalu tertawa pelan, "Lagipula aku datang ke Jakarta untuk menghadiri persidangan bukan bertemu dengan mereka berdua."

y o u t h

"Jadi, selama ini orang yang sering papa lihat dari pantauan apartemen kamu itu.. orang yang sering mengunjungi apartemen kamu itu putra tunggal Khana yang masih hidup, Sastra?"

Sastra lebih dulu melirik sebelum menjawab celetukan acak yang dilontarkan sang papa, "Oh? Selama ini papa pantau aku?" Sepertinya suasana pagi ini sedikit rusak.

Tuan Askara sudah menyadari segalanya sekarang, ia mendengus kesal saat mendengar balasan dari sang putra sulung yang sekarang sudah berkamuflase menjadi putra tunggal, "Ya menurut kamu apa yang harus dilakukan papa jika mempunyai putra yang merupakan calon penerus perusahaan papa?"

"Hanya karena aku calon penerus perusahaan jadi papa mengawasi aku? Bukan papa ngawasin aku karena papa peduli sama aku yang merupakan putra papa?" Sarkas Sastra membuat sang papa mematung di tempatnya duduk.

Tuan Askara menghela nafas, "Terlepas dari alasan papa mengawasi kamu.. apa yang sudah kamu perbuat pada putra Khana itu salah, Sastra."

Sastra berdecak acuh, "Perbuat apa sih? Apa yang papa tahu tentang aku?"

"Pelecehan, pemerkosaan dan perbudakan? Sudah puas kamu melakukan ketiga hal menjijikan itu kepada seseorang yang hidup dan keluarganya sudah sangat hancur? Bahkan tanpa sadar kamu telah membunuh putra Khana secara perlahan, Sastra." Telak Tuan Askara berdasarkan informasi mengenai putranya yang sudah satu tahun terakhir ini ia dapatkan, "Dengan begitu sebenarnya kamu tidak ada bedanya seperti mama tiri kamu yang sudah membunuh kedua orang tua putra Khana."

Sastra tertegun, enggan memberi sanggahan ditambah menyadari sang papa yang terlihat sangat kecewa saat melontarkan kata demi kata.

"Papa kecewa sama kamu yang bisa-bisanya menggunakan fasilitas yang papa berikan secara cuma-cuma itu untuk berlagak bajingan, Sastra." Ujar Tuan Askara, tidak tanggung-tanggung juga beliau berkata kasar pada sang putra, "Papa hanya berharap kamu tidak berlaku lebih bajingan lagi setelah ini, papa harap kamu berhenti mengganggu hidup putra Khana yang sekarang mungkin jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Papa, Arwalla ituㅡ"

"Walaupun kamu sudah menyadari kesalahanmu, kamu tetap tidak pantas untuk melihat atau bertemu dengan putra Khana, Sastra."

y o u t h

Jakarta adalah kota di mana Arwalla Khana dibesarkan dan tumbuh dewasa dengan cara dihancurkan jiwa, batin dan mentalnyaㅡUntung tubuhnya tidak serta-merta juga dihancurkan karena hanya dengan tubuhnya itu sudah cukup bisa membuatnya bertahan hidup meskipun tubuhnya itu dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu, sakit? Jangan ditanya seberapa sakitnya saat dalam raga kita yang sudah hancur dan tidak bisa pulih sedangkan raga kita masih bisa pulih, menangis bahkan mati bukan solusi yang bisa menyelesaikan perkara hidup Arwalla selama di kota ini.

Jakarta, kota yang juga menjadi saksi bisu atas segala aib dan rasa sakit yang dialami submissive Khana yang kesulitan untuk mengatakan tidak pada seseorang yang telah membuatnya seperti iniㅡMerasa kotor dan tidak bernilai, karena pada saat itu Arwalla memang belum tahu bahwa ia memiliki status tinggi yang bisa membuatnya berani membela diri. Tapi, sepertinya sekarang Arwalla merasa jauh lebih mampu dan memiliki niat untuk membalas segala rasa sakitnya pada orang itu.

Sudah dari sejam lalu Arwalla dan keluarga Zedklen sampai di Jakarta, beristirahat di salah satu rumah properti milik KhanaㅡMereka juga membawa Sasmita jikalau dibutuhkan sebagai saksi untuk menjawab pertanyaan mengenai pribadi isi rumah Khana dan jika ada pertanyaan menyangkut keberadaan penerus Khana selama ini yang mungkin saja dipertanyakan karena Sasmita adalah asisten rumah tangga Khana yang selamat sekaligus asisten yang merupakan pengasuh pribadi penerus Khana.

Pukul setengah satu dini hari, Arwalla masih terbangun, ia menoleh ke arah sofa dan mendapati Allan yang rupanya masih terjaga untuk menyelesaikan tugas kuliah. "Allan?" Panggilnya berhasil menarik atensi Allan.

"Eh, aku terlalu berisik sampai membuat kamu bangun ya? Maaf,"

Arwalla menggeleng lalu merubah posisinya menjadi duduk, "Aku terlalu banyak tidur.." Mengingat ia sudah tidur saat perjalanan, "Allan? Tugas kamu masih banyak ya?"

"Gak, hanya satu.. makalah deadlinenya besok pagi," Sebut Allan kali ini fokus mengetik.

Arwalla mengangguk-angguk seolah paham lau memilih diam memperhatikan Allan. Namun, tiba-tiba pikirannya berkelana memikirkan tentang bagaimana jika nanti tiba-tiba ia bertemu dengan Sastra? Ah, jikalau memang dipertemukanㅡHaruskah ia bersikap angkuh atau sebaliknya? Apakah Sastra akan menatapnya penuh kebencian atau memohon?

Arwalla mengrenyit bingung atas pikirannya sendiri, tangannya pun spontan terangkat untuk mengusap perutnya yang lumayan membesar, sudah terlihat jika submissive itu tengah mengandung seorang bayi yang entah nanti ayah dari bayi itu akan menerima atau tidak? Jikalau ayah dari bayi itu tidak menerima maka Arwalla dengan sangat mampu akan membesarkan bayinya seorang diri bahkan memberikan nama Khana pada bayinya karena pada dasarnya Arwalla memang tidak membutuhkan sosok dominan semenjak perlakuan remeh yang dilakukan dominan Askara dan dominan Gathama pada dirinya.

"Melamun ya?"

Arwalla tersentak sadar dari lamunannya, "Nggak.." Elaknya.

"Tidur, jangan mikir hal aneh." Ujar Allan khawatir, ia menutup laptopnya lalu menghampiri Arwalla yang duduk di atas ranjang, "Kamu mikir apa ? Mau apa? bilang ke aku, jangan sampai kamu begadang karena memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan." Tangannya terulur untuk merapikan surai Arwalla, "Oh ya, tadi kamu tidur awal ya? Tadi papa memberitahuku bahwa pengadilan memajukan jam sidangㅡTidak jadi lusa tapi besok pagi jam sepuluh."

Arwalla mencerna informasi yang diujarkan Allan, "The sooner the better, aku nggak mau di sini lebih lama."

© 2 Oktober 2024.

16. Youth, dendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang