Part 3 Tersiksa

7 0 0
                                    

Viena enggan untuk bangkit dari ranjang, meski cahaya di pagi hari menyapa dari arah jendela. Masalah kemarin sudah cukup untuk membuat Viena kesulitan tidur. Kini kepalanya menjadi senut. Dia memegang dan memijat pelan area kepala yang terasa tidak begitu nyaman baginya. Aktivitasnya mendadak terhenti, begitu mendengar suara pintu kamar terbuka.

Brody tengah berdiri di depan pintu kamar. Dia datang dengan membawa sebuah nampan dalam tangannya. Terlihat ada makanan berupa dua lapis roti dengan balutan selai coklat dengan beberapa buah anggur di sekitar dan segelas susu putih dingin. Brody menaruh hidangan di atas meja sekitar, kemudian mendorong meja tersebut mendekat ke tepi ranjang di mana Viena berada.

Viena hanya diam dan menatap dengan datar makanan di depannya. Dalam hati dia takut diracuni oleh Brody. Brody yang melihat Viena pun berinisiatif mencicipi satu anggur sebagai bukti bahwa makanan yang dibawanya itu aman. Dia melirik ke arah Viena sekilas, lalu dia berlalu pergi begitu saja dari kamar Viena.

Sebenarnya sedikit kurang lebih Brody merasa agak bersalah mengenai kejadian semalam, maka dari itu dia sengaja bangun lebih awal untuk membawakan Viena sedikit makanan dan minuman sebagai bentuk permintaan maaf tanpa kata. Akan tetapi, setelah Brody pikir-pikir, kenapa dia perlu repot-repot memikirkan sesuatu untuk Viena? Maka dari itu, dia memilih untuk pergi.

Viena sebenarnya enggan untuk memakan hidangan di depannya, tapi pada akhirnya dia terpaksa menghabiskannya. Demi agar dapat bertahan hidup, menurutnya lebih baik menerima nasibnya terlebih dulu. Viena mengunyah sembari berpikir cara mencari kesempatan agar dapat keluar dari tempat ini secepatnya.

Kala itu di rumah Viena kedatangan tamu. Pertama kali Viena melihat teman yang sebaya dengan kakak lelaki satu-satunya mampir ke rumah mereka. Sosok yang menjulang tinggi melebihi Chiko, dengan proporsi tubuh pas sedang berdiri di samping Chiko. Tiba-tiba dia berjalan mendekat ke tempat Viena. Mendatangi Viena yang baru keluar dari kamar.

Dia berhenti di depan Viena, kemudian mengeluarkan coklat dari dalam tas dan memberikan ke Viena. "Ini buatmu," dihiasi dengan senyuman singkat, dia kembali berkata, "kata Chiko, kamu suka makan yang manis-manis. Salam kenal, ya ... kenalin, namaku Brody. Sahabat kakakmu."

Viena jadi bingung dibuatnya, tapi secara refleks tangan Viena malah menerima coklat darinya. Chiko lantas menghampiri mereka dan langsung menyeret Brody masuk ke dalam kamarnya. Sebelum itu Chiko sempat berkata, "Abaikan saja dia."

Viena saat itu baru berusia dua belas tahun, sedangkan Chiko dan Brody sudah berusia tujuh belas tahun. Di mana kala itu mereka masih anak sekolahan yang hanya tahu belajar dan bermain.

Beberapa kali pertemuan Viena dengan Brody hanya sepintas, namun Viena dapat merasakan kehangatan dari Brody. Kasih sayang yang belum pernah dia dapatkan, selain dari kakaknya. Akan tetapi, sekarang yang Viena lihat dan rasakan benar-benar sangat berbanding terbalik. Brody yang sekarang seperti orang yang berbeda. Viena berpikir mungkin inilah Brody yang asli. Viena jadi membencinya.

Baru-baru ini Bram, selaku ayah dari Chiko dan Viena baru pulang dari dinas. Kebetulan Chiko sedang tidak ada di rumah. Mulanya Viena berpikir Chiko pulang lebih awal dan lupa membawa kunci, maka dari itu Viena bersemangat untuk pergi membuka pintu. Begitu sosok paruh baya yang muncul, Viena langsung mundur ke belakang. Sayangnya Bram sudah terlebih dulu bertindak, sebelum Viena bermaksud menutup pintu dan mengunci diri.

Bram langsung menerobos masuk dan menarik rambut panjang Viena. Viena lantas meringis kesakitan. Bram tidak peduli dengan rasa sakit yang Viena rasakan. Dia malah mendorong Viena sampai tubuh Viena menabrak tembok pembatas antara bagian ruang tamu menuju ke ruang makan.

Tamparan keras dari Bram mengenai pipi Viena. Terasa panas dan mulai memerah meninggalkan bekas tampar. Bram menyeringai sembari menaikkan salah satu alisnya. Raut wajahnya terlihat begitu mengerikan di mata Viena.

"Dasar anak sialan!"

Tidak puas sudah memaki Viena, Bram kemudian melepaskan pegangannya pada rambut Viena dan mendorong Viena dengan kasar, hingga Viena limbung dan akhirnya jatuh ke lantai yang dingin.

Bram berjongkok di depan Viena. Kali ini bahu Viena targetnya. Dia memegang bahu Viena dengan memberi sedikit tekanan, hingga Viena berusaha mati-matian menahan agar suara dari rasa sakit yang sedang dia rasakan tidak terdengar di telinga Bram. Viena hanya bisa menggertakkan giginya dengan sangat pelan.

"Harusnya kamu yang mati! Bukan, Istriku!"

Viena sudah terbiasa mendengar caci-maki, sumpah serapah, amukan, dan pukulan bertubi-tubi dari Bram. Selama ini Bram menganggap Viena adalah anak pembawa sial. Bram masih belum menerima kenyataan bahwa Ayu sudah meninggal. Viena lahir ke dunia, tapi istrinya meninggal. Dimata Bram, Viena yang lebih pantas untuk mati, bukan istrinya.

Biasanya ada Chiko yang mencoba menghadang dan membantu agar Bram tidak memukul Viena, tapi sayangnya Chiko sedang tidak ada. Bram menjadi lebih senang dan puas, begitu melihat Viena sendirian di rumah dan sedang tersiksa akibat dari perbuatannya.

Viena meringis mengingat-ingat kembali hari di mana dia kabur dari rumah.

Setelah Bram sudah puas memberi Viena pelajaran, dia langsung berdiri dan berjalan pelan sembari bersiul masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Viena yang berusaha menahan rasa sakit hanya untuk bangkit berdiri.

Viena sudah tidak sanggup menahan segala penderitaan yang dia alami. Berkat perasaan hancur dan rasa sakit yang mendalam, Viena memutuskan untuk minggat dari rumah. Dia mengendap-ngendap keluar dari rumah, begitu sudah mengemas barang bawaan penting ke dalam tas.

Selama perjalanan menuju ke apartemen di mana Sinta tinggal, Viena telah menghubungi Sinta terlebih dulu. Satu-satunya orang yang bisa dia minta tolong hanya Santi seorang. Syukurnya Sinta mau menerimanya, tapi siapa sangka malah ada kejadian pembunuhan.

Pelaku dan korban adalah orang yang Viena kenal. Dia merutuki dirinya sendiri sekarang. Mengingat seluruh kejadian sebelumnya, membuat Viena merasa kenapa hidupnya bisa begitu sial?

Viena melihat kondisi di luar jendela dari tempat tidur. Pemandangan di luar hanya ada banyak pepohonan yang menjulang tinggi dan besar, disertai tanah berlumpur mengelilingi seluruh area luar vila. Sisanya hanya pemandangan alam dari atas selayaknya pagi, siang, dan malam.

Renungan Viena terhenti, begitu mendengar suara pintu terbuka. Viena langsung menoleh ke asal suara. Sosok Brody berdiri tegap dengan pakaian rapi berupa kemeja putih dibalut jas berwarna hitam senada dengan warna dasi dan celana kain yang dikenakannya. Secepat itu Brody sudah berganti pakaian.

Suara deheman membuat Viena sadar kalau dia sudah cukup lama menatap Brody.

"Aku harap kamu tetap di sini. Jangan coba buat keluar, apalagi berisik," peringat Brody.

"Kenapa begitu?"

Pertanyaan Viena langsung membuat dirinya mendapatkan lirikan tajam dari Brody.

"Kalau aku bilang begitu, artinya kamu harus menurut. Mengerti?!"

Viena meneguk ludahnya, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan. Meski Viena sudah setuju untuk mengikuti perintah Brody, Brody tetap tidak melepaskan Viena dengan mudah. Brody sengaja mengunci pintu dari luar agar Viena tidak dapat keluar selangkah pun dari kamarnya.

The Guy Brody [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang