Part 19 Melarikan Diri

1 0 0
                                    

Viena mencoba berusaha kabur dari Brody, namun hanya dengan kekuatan dari Viena sendiri, dia tidak mampu terlepas begitu saja dari pegangan Brody pada tangannya. Tanpa aba-aba Brody sudah langsung menggendong Viena dan menghempaskan Viena di atas kasur dalam sekali hentakan.

Jantung Viena hampir copot, hingga dia sempat bengong sesaat. Brody yang melihat Viena hanya diam saja, dia pun langsung duduk di atas kasur dan mencoba menepuk pipi Viena. Merasa tidak mempan, Brody lantas memajukan wajahnya. Percobaan Brody berhasil, karena refleks Viena sudah memalingkan wajah ke arah lain. Brody langsung terkekeh melihat respon Viena.

Brody menyentuh pelan dahi Viena dengan jari telunjuknya, kemudian perlahan turun ke hidung, melewati bibir, dan yang terakhir dia memegang pipi Viena dengan lembut, hingga mau tidak mau Viena jadi harus melihat wajah Brody.

Brody memandang Viena dengan tatapan hangat, disertai dengan senyuman tulus. "Aku senang, kamu memilih untuk tetap bersama denganku," ungkap Brody, sesuai dengan isi hatinya saat ini.

Perasaan yang diutarakan Brody sudah tersampaikan dengan baik. Viena dapat merasakan ketulusan dari ucapan Brody. Akan tetapi, Viena tidak tahu harus merespon seperti apa. Viena memutuskan untuk diam saja.

Brody mengerti Viena tidak mungkin merespon perasaannya. Brody tersenyum singkat. Lebih menuju ke arah kecewa, tapi Brody berusaha untuk bersikap sewajarnya. Brody kemudian mengecup pipi Viena sekali, lalu melepaskan pegangannya dari pipi Viena.

"Tidurlah. Sudah malam."

Brody langsung menghindar dan beranjak dari kasur. Dia memilih untuk berjalan ke tempat tidur yang biasa ditempatinya dan berbaring di sana. Dia membiarkan Viena berdiam diri dan bergelut dengan pikirannya sendiri. Meski tidak lama kemudian Brody bisa merasakan pergerakan dari Viena, namun dia berpura-pura tidak merasakan apa-apa dan mencoba menutup kedua matanya, hingga dia tertidur dengan sendirinya.

Beberapa jam sudah berlalu, tapi Viena tidak dapat tidur. Padahal Viena tahu sudah sejak tadi Brody sudah terlelap di sampingnya, namun dia sendiri tetap tidak kunjung mengantuk. Pikiran Viena terus tertuju ke Chiko. Dia terus merasa bersalah karena tidak dapat menjaga diri dari Brody, hingga dia dan Brody malah melakukan hal yang tidak seharusnya.

Fokus Viena sepenuhnya teralihkan dan tertuju ke pintu kamar yang baru dibuka oleh Chiko. Viena sangat terkejut, hingga dia langsung melihat ke arah Brody. Dia melihat Brody tidak bergerak sama sekali–yang menandakan Brody masih terlelap.

Viena melakukan pergerakan sepelan mungkin agar Brody tidak terbangun. Viena turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju ke tempat di mana Chiko sedang menunggu kedatangannya.

Begitu Viena sudah berada di depan Chiko, dia langsung mendorong Chiko keluar dari kamar. Sembari menutup pintu kamar, Viena terus melihat ke tempat Brody, hingga pintu kamar di depannya sudah tertutup rapat.

Viena langsung menoleh ke arah Chiko. "Kak, apakah Kakak sudah gila? Gimana kalau tadi dia terbangun?"

Suara yang Viena keluarkan nyaris seperti bisikan, namun masih dapat terdengar sampai ke telinga Chiko.

Chiko langsung memegang erat tangan Viena. "Ayo, kita pergi dari sini. Kucek tadi pintu utama tidak terkunci."

"Gimana kalau kita ketahuan, Kak?"

Terlihat dari wajah Viena kalau dia begitu takut ketahuan oleh Brody. Padahal tadi Brody sudah mau melepaskan Chiko.

"Jangan khawatir, Vie. Kita bakal selamat, kok. Percaya dengan Kakak, ya?"

Chiko mencoba meyakinkan Viena. Melihat Viena tidak meresponnya, dia pun berinisiatif sendiri menarik Viena pergi dari sini.

Entah dorongan dari mana, tapi sepasang kaki Viena malah mengikuti langkahan kaki Chiko dengan begitu saja. Padahal dirinya begitu takut mereka kenapa-napa dan ragu untuk ikut Chiko. Lantaran sebelumnya dia sendiri sudah mencoba untuk kabur, tapi tidak berhasil dan sekarang dia harus mencoba kembali. Dia takut pada kesempatan kali ini pun, dia tidak berhasil kabur, meski sekarang dia sedang kabur bersama Chiko.

Mereka berdua sudah keluar melalui pintu utama dan kabur semakin menjauh dari kediaman Brody, sembari mereka berdua terus melihat ke arah belakang selama beberapa kali. Setelahnya, mereka berdua berhenti sebentar untuk mencoba menetralkan pernapasan mereka masing-masing. Mereka sudah mulai merasa kelelahan dan capek.

"Kak? Apa kita benar-benar bisa keluar dari tempat ini?"

Chiko mengusap pelan kepala Viena. "Tenang saja. Kamu tahu sendiri, kalau Kakakmu ini pintar dalam segala hal. Kita pasti bisa keluar dari sini."

Tetap saja, Viena terus merasa khawatir. Terlebih dia melihat luka Chiko mulai mengeluarkan darah, meski luka Chiko terbalut dengan kain kasa. Warna putih dari kain kasa itu sendiri, sebagian sudah berubah warna menjadi merah darah.

Viena hendak protes, namun Chiko sudah terlebih dulu menariknya pergi. Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda. Viena hanya dapat mengurungkan niatnya untuk bersuara dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti arahan dari Chiko.

Mereka menggunakan jalur darat dan berjalan dengan kaki telanjang, tanpa peduli dengan rasa sakit pada kaki mereka. Ditambah dengan gelapnya sekeliling mereka, mereka berdua hanya dapat mengandalkan cahaya dari langit. Meski begitu Chiko memang sudah mempelajari cara agar mereka dapat kabur. Waktunya selama beberapa jam tadi tidak sia-sia, karena mereka berdua akhirnya bisa berhasil keluar.

Sementara itu, di lain sisi tampak tangan Brody sedang melakukan sedikit pergerakan. Dia mencoba meraba-raba sekitar untuk mencari sosok Viena, namun dia tidak dapat merasakan adanya Viena di sampingnya. Refleks Brody membuka kedua matanya, kemudian beranjak dari kasur dan berlari pergi untuk mencari keberadaan Viena. Mulai dari ruangan sekitar dan kamar mandi, hingga menerobos masuk ke dalam kamar yang ditempati Chiko.

"Sialan!" umpat Brody.

Brody tidak menyangka Chiko masih mampu untuk membawa Viena kabur. Brody langsung berlari kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kunci mobil dari dalam laci meja kerjanya. Tanpa menyita banyak waktu, dia sudah berjalan dengan langkah besar dan cepat untuk keluar dari vila.

Brody menekan tombol kunci mobil dan segera masuk ke dalam mobil. Setelah itu dia langsung menyalakan mesin mobil dan menancap gas dengan kecepatan penuh untuk mengejar Viena dan Chiko.

"Sialan kau, Chiko!"

Brody memukul setir mobil di depannya.

"Dasar bodoh!" maki Brody lebih kepada dirinya sendiri.

"Kenapa aku bisa lengah?"

Brody mempertanyakan kebodohannya sendiri, lalu dia menghela napas kasar. Brody kemudian fokus melihat ke depan dan berharap dapat menemukan mereka secepatnya, terutama Viena.

Sorot cahaya lampu yang asalnya dari mobil Brody membuat Viena dan Chiko langsung kalang kabut. Mereka berdua sedari tadi tidak menemukan satu mobil pun yang mau menampung mereka, meski hanya ada beberapa mobil yang sempat melewati tempat mereka.

Brody yang melihat mereka berdua langsung segera berhenti dan keluar dari mobil melalui pintu kemudi. Melihat sosok Viena yang mencoba menjadi tameng dengan berdiri di depan Chiko membuat Brody semakin kesal.

Brody langsung berlari ke tempat mereka dan menarik Viena masuk ke dalam mobilnya. Dia mendudukkan Viena ke kursi penumpang yang ada di bagian samping kursi kemudi, kemudian menyeret Chiko masuk ke dalam mobil dan duduk di bagian tengah kursi.

Viena tidak berani bersuara sama sekali. Dia mulai mengenal dan mengerti Brody sedikit demi sedikit. Brody kini tampak begitu marah dengan mereka berdua, jadi Viena memilih untuk diam saja agar tidak membuat amarah Brody semakin memuncak.

"Lepasin kita, brengsek!" maki Chiko.

Viena berbalik sedikit ke belakang dan menggeleng pelan ke Chiko, kemudian kembali melihat lurus ke depan.

Chiko yang melihat pergerakan dari Viena hanya bisa diam di tempat. Chiko sendiri mulai mengerti kondisi fisiknya dan posisi Viena saat ini.

Brody sendiri tidak peduli sama sekali dan terus melajukan mobilnya dengan menancap gas melebihi dari batas normal, hingga Viena dan Chiko sempat oleng dan menabrak pintu mobil di samping mereka.

Brody benar-benar tidak menoleh ke mereka berdua sama sekali dan tatapannya hanya lurus ke depan. Brody tetap melajukan mobilnya, hingga mobil yang dikendarai Brody membawa mereka secepatnya tiba di vila.

Brody menghentikan mobilnya di depan vila, kemudian dia matikan mesin mobilnya dan menatap keduanya secara bergantian dengan tatapan mematikan.

The Guy Brody [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang