Part 10 Tidak Sadar

1 0 0
                                    

Viena mengernyitkan dahi melihat perubahan dari Brody.

'Jangan-jangan ada maunya,' pikir Viena.

Brody sejak tadi selalu menjaganya, hingga Viena tidak dapat leluasa untuk bergerak. Sudah sejak tadi pula Viena menahan untuk tidak bertanya, namun rasa penasaran semakin meningkat seiring dengan seiring berjalannya jam waktu berlalu.

"Apa kamu tidak ada urusan?"

Brody yang tadinya sedang berdiri di dekat jendela langsung mendatangi Viena dengan langkah pelan, kemudian mencondong badannya mendekat ke tempat Viena. Dengan posisi sedikit menunduk Brody menatap dengan intens sepasang mata Viena, lalu dia menyeringai. "Berniat mengusirku?"

Viena menggeleng pelan dengan rasa takut dan berusaha menjelaskan maksud dari pertanyaannya. "A–aku hanya bertanya saja. Tidak bermaksud mengusir sama sekali."

"Ini kediamanku. Sebebas aku mau berada di mana saja dan ngapain saja."

Viena tidak berani lagi. Dia hanya diam dan memutuskan untuk tidak bersuara lagi, meski Brody masih tengah menatapnya.

Viena memutar kedua matanya. Dia merasa jengah ditatap terlalu lama seperti ini. Refleks Brody meraih dagu Viena, hingga membuat sepasang mata Viena berfokus ke Brody.

"Aku tidak suka kamu begitu," ucap Brody dengan nada dingin.

"Ini salah, itu salah .... Jadinya, aku harus gimana?"

"Cukup terima saja dan jangan banyak berkomentar. Ngerti?"

Tatapan Brody begitu tajam, saat dia memperingati Viena. Viena lantas mengangguk pasrah. Brody kemudian melepaskan pegangannya pada dagu Viena dan memilih keluar dari kamar Viena.

Di luar pintu kamar Viena yang telah tertutup, Brody mengacak-acak rambutnya dan membuang napas kasar. Hatinya terasa begitu gusar. Dia merasa setiap mau berbuat baik ke Viena, ujung-ujungnya malah hampir menyakiti Viena lagi.

Brody berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu kamarnya dan masuk ke dalam. Dia pergi mandi dengan air dingin. Berusaha menghilangkan emosi yang datang menghampirinya.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di bawah guyuran air, Brody pergi membasuh diri dengan handuk, kemudian berbaring di kasur hanya dengan mengenakan celana dalam. Dada bidangnya terekspos secara terang-terangan, meski angin malam terkena ke permukaan kulitnya.

Tangan kiri Brody menopang kepalanya di atas bantal empuk, sedangkan tangan kanannya memegang dagunya. Sepasang matanya menatap ke langit-langit plafon. Dia mulai berpikir mengenai segala masalah yang telah dilaluinya.

"Kenapa kamu harus berada di sana?"

Pikirannya berkelana dan tertuju terutama ke Viena. Brody kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas. Dia menutup kedua matanya. "Anggap saja kamu beruntung karena tidak kubunuh sampai sekarang," ucapnya, sebelum akhirnya dia tertidur dengan sendirinya.

Keesokan harinya, Brody sudah bangun dan mandi secepat kilat. Hari ini Brody memakai pakaian santai. Mengenakan kaus polos berwarna putih dan celana pendek kain berwarna krem. Terlihat cerah dan segar di pagi hari, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya Brody lebih sering berpakaian kasual dan terkesan terlalu formal dengan berpakaian lengkap seperti kemeja berbalut jas dengan celana panjang kain.

Pagi-pagi sekali Brody sudah mendatangi kamar Viena untuk melihat keadaan Viena. Brody melihat sosok Viena masih berbaring lurus di atas kasur dengan kedua mata tertutup dan napasnya teratur. Viena masih sedang tidur rupanya.

Brody menutup cahaya yang masuk ke dalam melalui jendela dengan tubuh tinggi dan besar miliknya. Semakin lama dia menatap wajah terlelap Viena, semakin lama pula dia terhanyut di dalamnya.

Kondisi Viena saat ini terlihat begitu tenang dan menyejukkan mata Brody. Tiba-tiba Viena melakukan sedikit pergerakan, hingga bagian atas tubuhnya terekspos jelas tulang selangka dan bagian belahan dadanya sedikit terlihat. Membuat Brody sempat meneguk saliva di pagi hari. Refleks Brody menarik selimut Viena, hingga yang sekarang terlihat hanyalah bagian wajah Viena.

Brody sempat menggeram tanpa suara dan menggerutu dalam hati.

'Sial! Masih pagi malah dikasih lihat beginian!'

Biar bagaimana pun Brody masih normal. Ditambah proporsi tubuh Viena memang begitu pas.

'Sejak kapan dia bertumbuh dengan sebaik itu?'

Pikiran Brody kembali pada kesadaran.

'Astaga! Sialan!' umpat Brody dalam hati.

Bohong kalau Brody tidak merasakan apa pun di depan Viena, namun tetap saja dia harus mengelak pada hari itu. Dia terlalu gengsi untuk memuji keindahan tubuh Viena.

Brody yang sedang bertarung dengan pikirannya langsung terkejut, begitu melihat sosok Viena sudah terbangun. Brody cukup pintar dengan secepat kilat sudah mampu mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar, hingga Viena kurang memperhatikan mimik wajah Brody.

Viena terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan mata selama beberapa kali untuk melihat dengan benar keberadaan Brody di depannya.

"Pagi," sapa Brody.

'Pagi-pagi buta begini, kenapa dia sudah ada di sini?' batin Viena.

"Jangan menatapku sampai segitunya. Aku baru saja masuk kok," jelas Brody. Padahal sebenarnya dia sudah dari tadi di sini. Secara Brody tidak perlu mengatakan apa pun, tapi entah mengapa bibirnya malah refleks mengatakan suatu kebohongan di depan Viena. Brody sendiri bingung kenapa dia perlu menjelaskannya ke Viena.

"Aku hanya memastikan penglihatanku," balas Viena.

Entah mengapa begitu Viena bersuara, rasanya kesabaran Brody jadi setipis tisu dibagi secara acak. Kadang bisa sedikit dan terkadang bisa jadi lebih banyak. Terkesan tidak konsisten dan tidak beraturan. Emosinya benar-benar selalu naik turun dibuat Viena.

Dorongan dari dalam diri Brody langsung tergerak. Kedua tangannya dengan cepat sudah mengangkat tubuh Viena dari depan. Viena memekik dan mengayun-ayunkan kedua kakinya di udara.

Efek dari tidak adanya ketenangan dari Viena membuat Brody bertindak dengan cepat. Bibirnya sudah membekap bibir Viena. Viena langsung terdiam dan tidak bergerak sama sekali. Sepasang mata Viena melotot. Viena tidak menyangka Brody bakal mencium bibirnya.

Melihat Viena sudah terdiam, barulah Brody menjauhkan bibirnya dari bibir Viena. Brody tersenyum licik di depan Viena.

"Semakin kamu memberontak, malah semakin bagus. Aku jadi mendapat keuntungan lebih"

Viena tidak berani membantah. Viena merasa Brody memberinya ancaman dengan cara yang curang. Viena hanya membuang muka ke arah lain. Brody yang melihat kelakuan Viena hanya bisa tersenyum, namun senyumannya begitu singkat. Detik berikutnya, Brody sudah merubah senyumannya menjadi datar.

Brody membawa Viena masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu Viena di luar sampai Viena selesai mandi, kemudian membawa Viena kembali ke atas kasur.

Sengaja Brody sendiri yang turun tangan untuk menjaga Viena. Semua semata-mata lantaran menurut Brody, Mari tidak mungkin kuat untuk mengangkat Viena. Maka dari itu, Brody memutuskan untuk menjaga Viena sampai Viena sembuh.

Biasanya Brody tidak pernah meninggalkan pekerjaannya, namun kali ini pengecualian untuk seorang Viena. Brody sendiri tidak mengerti dengan perlakuannya terhadap Viena. Dia mulai merasakan keanehan terjadi pada dirinya, sejak dia bertemu kembali dengan Viena. Dia sendiri tidak menyangka akan adanya hari-hari seperti ini bersama dengan Viena. Sekarang hari-harinya dipenuhi dengan Viena.

Brody membawakan Viena makanan dan minuman, lalu mengobati luka pada telapak kaki Viena. Dia mengurus Viena dengan begitu telaten, hingga Viena sendiri bingung dengan perlakuan Brody terhadapnya.

The Guy Brody [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang