Selama di perjalanan menuju ke lokasi tujuan, Chiko terus fokus ke arah jalanan dan mencoba menghafal setiap jalur yang mereka lewati, namun yang Chiko lihat rata-rata hanya jalanan yang terlihat sangat sepi dengan banyaknya jalan yang masih berlubang dan tidak teraspal dengan baik.
Pemandangan di sekitar yang terlihat hanya pepohonan yang rindang dengan rumput liar dan bebatuan. Melewati pedesaan yang hanya tampak beberapa gubuk dengan jarak yang jarang dan pedesaan selanjutnya seperti desa terbengkalai.
Chiko keheranan karena sudah berlalu selama tiga jam lebih, namun mereka tidak kunjung tiba di lokasi. Chiko mengernyitkan dahi, kemudian melirik ke arah depan secara bergantian–melihat kedua polisi yang sedang duduk di bagian depan mobil.
"Ini masih lama perjalanan kita?"
Suara Chiko memecah keheningan dan sontak salah satu polisi yang duduk di kursi penumpang menoleh ke belakang.
"Masih lama, Pak. Kita baru mau memasuki area perkebunan kelapa sawit."
Chiko mengangguk-anggukkan pelan kepalanya, kemudian memundurkan tubuhnya dan kembali duduk dengan santai sembari kembali melihat ke luar dari samping tempatnya berada.
Mobil yang dikendarai polisi sudah hampir tiba di area kawasan terlarang dan berhenti begitu akses masuk mereka ditutup. Polisi yang duduk di kursi penumpang segera turun dan menggeser ke samping papan yang tertera larangan masuk.
"Ini tidak apa-apa, kalau kita masuk sembarangan?" tanya Chiko, begitu polisi yang tadi di luar sudah kembali masuk ke dalam mobil.
Polisi yang duduk di kursi kemudi lantas tertawa lebar. "Tenang saja, Pak. Sudah kami pantau dengan baik. Hari ini pelaku sedang tidak berada di tempat. Lokasi sekitar pun sudah kami amankan juga, Pak."
Chiko tersenyum ke mereka, lalu membalas, "Iya, iya ... Aku percaya dengan ucapan Bapak. Hanya kalian harapanku satu-satunya untuk bertemu dengan adikku."
Mobil kembali melaju masuk semakin lama semakin menjauh dari lokasi perhentian sementara tadi. Jalan yang mereka tempuh agak sulit dan tidak nyaman untuk dilewati. Chiko sempat pusing dan merasa sedikit mual, namun dia tahankan demi dapat bertemu dengan Viena.
'Ini mah bukan perkebunan, tapi sudah hutan,' batin Chiko.
Chiko mengambil ponsel dari dalam kantong celana, kemudian menyalakan layar ponsel. Chiko kira bakalan tidak ada sinyal, tapi nyatanya tetap ada sinyal di tengah perjalanan.
Dalam hati, Chiko mulai bertanya-tanya, 'Tempat yang aneh. Kenapa bisa ada sinyal?'
Melihat adanya sinyal sudah cukup untuk membuat hati Chiko menjadi lebih tenang, tapi sayangnya dia lupa memenuhi isi baterai ponselnya. Sekarang di layar menunjukkan baterai ponsel miliknya hanya tersisa tiga puluh persen. Chiko menaruh kembali ponselnya ke dalam kantong celana.
Perjalanan mereka memakan waktu lebih dari yang Chiko perkirakan. Mereka memarkirkan mobil ke tempat yang tidak jauh dari vila. Chiko sempat takjub melihat bangunan vila yang begitu besar.
Suasana di luar terlihat sepi seperti vila tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil dan bersembunyi di salah satu pohon sawit yang tidak jauh dari bangunan vila.
"Pantas saja aku kesulitan mencari lokasi Brody. Rupanya tempatnya sulit dijangkau. Jaraknya juga sejauh ini. Tidak kusangka dia memiliki sawit sebesar ini. Bisa-bisanya malah tidak terdaftar dalam list keluarganya," kata Chiko panjang lebar.
Kedua polisi yang menemani Chiko langsung melihat ke arahnya. Salah satunya berkata, "Pemilik tempat ini bukan orang sembarangan."
"Benar. Maka dari itu kita harus menunggu di sini terlebih dulu," ucap polisi yang tadinya hanya diam saja.
"Mau menunggu berapa lama lagi?" tanya Chiko.
Belum dijawab oleh mereka berdua, Chiko sudah langsung berlari menuju ke arah vila.
Kedua polisi saling bertatapan, lalu mereka berlari pergi mengejar Chiko yang sudah secepat itu menjauh dari tempat persembunyian mereka.
Begitu Chiko tiba di depan pintu utama, dia mencoba untuk membuka pintu di depannya, namun pintunya sedang terkunci. Tanpa berpikir panjang, Chiko langsung mendobrak pintu utama sampai terdengar suara gebrakan yang begitu keras. Dengan cepat dia sudah menerobos masuk ke dalam vila, begitu pintunya sudah terbuka lebar secara paksa.
Dari kejauhan Chiko langsung dapat melihat sosok Viena sedang duduk di ruang tamu bersama Mari. Viena sendiri lantas menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan Mari.
"KAK!!"
Viena langsung bangkit berdiri dan berlari menuju ke tempat Chiko. Di sana Chiko sudah menunggu sambil merentangkan kedua tangan selebar-lebarnya untuk menyambut Viena dengan senang hati.
Mereka berdua saling berpelukan. Disaksikan oleh kedua polisi yang baru tiba di depan pintu utama dan Mari yang hanya terdiam di tempat, namun sorot mata Mari tampak bingung dan seperti tidak mengerti dengan situasi saat ini.
Viena melepaskan pelukan mereka, lalu menatap dalam sepasang mata Chiko. "Kak, kita harus bergegas pergi sekarang juga. Sebelum pria itu kembali," ungkap Viena.
Gestur tubuh Viena tampak gelisah. Viena takut Brody tiba-tiba pulang dan kakak satu-satunya yang dia miliki bakalan berhadapan dengan Brody. Viena tidak mau pikiran negatif yang berputar-putar di kepalanya malah menjadi kenyataan. Viena benar-benar takut kakaknya kenapa-napa.
Chiko mengelus pelan kepala Viena dengan penuh kasih sayang. "Tenang saja. Kakak bakalan bawa kamu keluar dari sini."
"Bawa aku sekarang juga, Kak," balas Viena semakin khawatir mengenai keselamatan Chiko.
Chiko tersenyum lembut ke Viena, kemudian meraih tangan kiri Viena. "Ayo, kita pergi sekarang."
Viena mengangguk sekali. Senyum Viena mengembang hingga wajahnya terlihat begitu manis, namun sayangnya senyuman manis Viena hanya berlaku selama beberapa detik. Raut wajahnya langsung berubah menjadi pucat pasi, begitu melihat sosok yang paling tidak ingin dia lihat.
Suara tepuk tangan mengalihkan perhatian semua orang yang berada di dalam vila. Tatapan mereka semua kini hanya berfokus ke satu arah, yaitu sosok Brody yang sedang berdiri di dekat pintu utama sembari menyunggingkan senyuman licik.
Sedari tadi Mari sudah melihat Brody dari tempat yang tidak jauh dari pintu utama, namun satu-satunya yang menyadari kehadiran Brody hanya Mari seorang. Mari yang mengetahui keberadaan Brody memilih untuk melihat saja, tanpa berniat untuk ikut campur.
Brody berjalan pelan masuk ke dalam vila dan bergabung bersama mereka.
Refleks Chiko mendorong Viena ke belakang–bersembunyi di balik punggungnya. Chiko lantas menunjuk-nunjuk Brody, tepat di depan wajah Brody. "Kau ini kenapa sebenarnya?! Aku akan membawa Viena pergi dari sini!"
Chiko kemudian menatap kedua polisi yang hanya berdiam di samping pintu utama. "Kenapa kalian diam saja? Segera tangkap dia!"
Brody tertawa mengejek di depan Chiko. Hanya dengan satu gerakan jari telunjuk pada tangan kanan Brody ke udara dan kedua polisi itu langsung bergerak ke tempat di mana Chiko berada dan segera bertindak.
Segala upaya Chiko untuk melawan hanya berakhir sia-sia, dikarenakan kedua polisi memiliki kekuatan yang besarnya melebihi Chiko. Mereka langsung membekukan pergerakan Chiko dan memborgol kedua tangannya.
Viena yang berusaha membantu Chiko langsung ditarik menjauh oleh Brody dengan cara memegang erat lengan kanan Viena. Meski Viena merintih kesakitan, Brody tidak peduli sama sekali.
"Woy! Lepasin Adikku! Dasar orang gila!!"
Brody menggendong Viena masuk ke dalam kamar, tanpa peduli dengan caci maki yang keluar dari bibir Chiko. Kali ini Brody membawa Viena masuk ke dalam kamar Brody sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy Brody [ENDING]
Tajemnica / ThrillerKekasih yang berselingkuh memang pantas mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Akan tetapi, siapa sangka pelaku utama pembunuhan atas Sinta jatuh ke tangan Brody sendiri. Sayangnya kasus Sinta ditutup dan dinyatakan sebagai kasus bunuh diri. Tidak...