14. Yasa dan Ketiga Adiknya

31 14 0
                                    

"Om Nata ajak kita buat ikut kumpul keluarga besar di hari sabtu," Yasa menjadi pembuka pembicaraan di malam yang damai itu. Ia menghampiri ketiga adiknya tengah asyik menonton televisi, menampilkan kartun disney Tangled, si perempuan berambut panjang.

"Besok, ya? Males, ah. Pasti banyak yang julid," jawab si bungsu.

"Gak sopan kalau kita gak dateng," ucap Abian seraya menepuk pelan kening adiknya.

"Ya lagian. Kalau gak ngobrolin ekonomi, pasti ngobrolin prestasi. Ana males."

Yoga mengangguk menyetujui, "Iya, bener! Apalagi tante Dea, dia selalu julid sama Yoga. Masa setiap ketemu bilangnya selalu gini, 'Kamu udah besar, ya. Kasian ya, belum ada pacar. Kayaknya gak bakal ada yang mau deh, hehe'. Yang bikin sebel tuh tawanya itu, loh! Beneran ketawa ngeledek! Gimana gak kesel coba?!"

Yasa mengusap pucuk kepala adiknya seraya tersenyum tipis, "Gak usah didengerin yang julid gitu mah, Yo. Kita mah pergi ke sana niatin buat ngehargai om Nata aja, abis itu udah. Gak pa-pa gak sampe selesai juga, yang penting udah setor muka," ujarnya penuh kesabaran.

"Bian juga pernah dijulidin."

Yasa menoleh, "Apa katanya?"

"Bian kan kuliahnya emang belum selesai, terus dikomentarin sama dia, tuh. Katanya, 'Kapan wisudanya? Kok lama banget? Kerja cuma modal lulusan SMA mah susah, loh, gajinya kecil, hehe'. Gak tau aja dia kalau Bian udah kerja, udah punya jabatan juga."

"Memangnya gelar sepenting itu ya buat dunia kerja?" tanya Yoga dengan wajah polos.

"Menurut Ana gak terlalu penting, sih. Lagipula, untuk mencapai suatu kesuksesan atau buat dapat pekerjaan, itu gak melulu harus dengan gelar. Contohnya Abang Bian, walaupun belum dapat gelar, tapi udah bisa kerja dan gajinya lumayan. Sementara di luar sana masih banyak sarjana-sarjana yang belum bisa dapat kerja. Intinya perbanyak relasi sama pengalaman aja, karena yang bakal dibutuhkan itu bukan cuma gelar, tapi kemampuan sama keahlian."

Baik Abian maupun Yasa, keduanya sama-sama terpukau dengan kalimat si bungsu. Keduanya kompak saling tatap seraya tersenyum bangga.

"Gila! Adik Abang udah dewasa ternyata!" Renjana tertawa begitu Abian memeluk dirinya.

"Masa aku kecil terus?"

"Pemikiranmu itu loh. Mas punya banyak temen yang punya adek, dan kebanyakan adek mereka tuh nuntut kakak-kakaknya supaya dapat gelar terus lanjut kerja. Katanya biar nanti mereka bisa kuliah di kampus yang sama, terus kalau kerja bisa langsung masuk," ujar Yasa.

"Selebihnya cuma buat pamer," imbuh Abian.

Dalam dekap Abian, Renjana menggeleng pelan, "Ana tahu, kuliah itu gak gampang, apalagi cari pekerjaan. Nanti kalau Ana udah lulus SMA, biarin Ana berjuang ya Mas, Abang. Ana gak butuh orang dalam, Ana cuma butuh dukungan dan doa dari kalian aja."

Yoga ikut memeluk Renjana, "Pintarnya adik Abang."

Sementara si sulung Yasa, dirinya hanya menatap ketiga adiknya yang tengah berpelukan seperti Teletubbies dengan sendu. Andai kata ia memiliki kantong Doraemon, ia akan memberikan apapun keinginan ketiga adiknya itu secara cuma-cuma.

Mas Janji, sebelum Mas menikah, Mas akan lebih dulu membahagiakan kalian. Untuk saat ini, Mas cuma bisa melakukan seadanya. Mas belum bisa menutupi kesedihan-kesedihan yang ada. Maafin Mas Yasa.

{===}

"Semoga kita gak ketemu sama om dan tante yang suka julid, khususnya tante Dea." Abian dan Yoga kompak mengamini ucapan adik bungsunya, membuat Yasa menghela nafas lelah.

"Namanya manusia pasti gak bakal luput dari komentar manusia lainnya," ujarnya.

"Berarti kita juga boleh komentarin mereka ya Mas?" Abian dan Renjana serempak tertawa, sementara Yasa menepuk jidatnya pelan.

"Gak gitu, Yo. Kenapa juga kita harus capek-capek berkomentar kalau diam jauh lebih baik? Inget, Yo, diam adalah emas."

"Betul tuh kata Mas Yasa, diam adalah emas. Jadi, Yo, sebelum tempelengan melayang dari tangan Mas Yasa, mending kita masuk duluan," Abian merangkul Yoga dan mengajaknya untuk memasuki rumah makan tempat berkumpulnya keluarga besar mama.

"Kadang Mas bingung, dia nanya gitu karena emang gak tau apa pura-pura goblok, ya?" Renjana kembali tertawa, kali ini seraya memukul lengan Yasa.

"Gak boleh gitu, ih!" Lalu kemudian ia menarik tubuh lelaki itu untuk menyusul kedua saudaranya yang lain.

|∆∆∆|

'Loh, beneran selesai, ya? Aduh, ya ampun kasian banget ini gak ada yang urus. Yang sabar, ya. Tante harap, papa kalian gak akan menelantarkan kalian gitu aja. Titip salam ya buat mama kalian, bilangin juga buat rajin-rajin rawat diri, biar kejadian ini gak bakal keulang lagi nantinya'.

Renjana meremat gelas minumannya cukup kuat, yang mana mampu menarik atensi ketiga kakaknya.

Abian yang kebetulan duduk di sebelahnya segera menggenggam jemari si bungsu yang otomatis melepaskan rematannya.

"Kamu kenapa?" tanyanya begitu lembut.

"Tante Dea.." Ah, hanya dua kata itu saja sudah dapat dimengerti oleh mereka.

"Di antara orang tua yang lain, bisa aja orang tua kita yang sering di cap buruk. Tapi kalau soal mendidik, mama sama papa yang paling berhasil. Baik di antara keluarga mama maupun papa, anak-anak mama yang paling banyak prestasinya," ucap Abian.

"Kalau diibaratkan sebagai cuaca, kita tuh lebih mirip kayak hujan," Renjana berbisik lirih.

"Kenapa hujan?" tanya Yasa.

"Kedatangan kita gak bisa diterima oleh semua orang, tapi peran kita paling dibutuhkan buat melengkapi hidup mereka. Kayak air sama hujan. Keduanya sama-sama berbentuk air, tapi air lebih dicinta daripada hujan, padahal hujan jadi salah satu penyebab adanya air."

"Lebih tepatnya, kita kayak tetesan air yang sedang berkelana cari tempat yang layak buat ditempati," imbuh Abian.

"Kalau bukan karena kita, keluarga besar ini gak bakal ada apa-apanya," ujar Yasa sedikit menyombong. Lebih jelasnya, ia berusaha mencairkan suasana yang perlahan kelabu, kontras dengan warna langit sore ini.

"Kalau bukan karena om Nata, gak bakal mau gue capek-capek dateng ke sini. Mending rebahan sambil main ps," ujar Abian.

"Pulang aja lah," ajak Yoga.

"Pamit dulu ke om Nata, habis itu kita pulang. Gak pa-pa gak pamitan ke yang lain juga, yang penting ke om Nata aja," putus Yasa yang membuat adik-adiknya bersorak riang.

"Janji ini pertemuan keluarga terakhir yang kita hadiri?" Renjana mengulurkan jari kelingkingnya pada Yasa.

"Asal bukan om Nata yang ajak," balas Yasa seraya menautkan kelingkingnya dengan kelingking Renjana.

"Deal."

Hujan Tak Bertuan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang