15. Tentang Awan dan Hujan

35 23 0
                                    

"Ngapain lo masih di sini?"

Kenapa harus ketemu si songong ini, sih? Malesin.

Helaan nafas terdengar sebelum dirinya menjawab pertanyaan dari si lawan bicara, Reygatha. "Gak usah basa-basi, deh. Biasanya juga kamu liat kalau aku suka nunggu jemputan di sini."

Reygatha mengambil posisi di sebelah gadis itu, "Siapa yang jemput?"

"Mas---" kalimatnya terputus sebab ponselnya berdering. Renjana mengusap tombol hijau di layar, lantas mendekatkan benda pipih itu pada telinganya, "Halo?"

"Bareng sama Andi bisa gak? Mas ada urusan mendadak ini sama om Nata, jadi gak bisa jemput."

"Abang Bian ke mana emangnya?"

"Loh, Bian kan kemarin udah berangkat ke Tangerang, Na."

Renjana menepuk keningnya detik itu juga, "Ana lupa," lirihnya.

"Jadi gimana? Bisa kan sama Andi? Mas buru-buru banget ini soalnya."

"Iya, bisa kok. Mas hati-hati, ya."

"Iya. Maaf ya, Na."

Meski dirinya tahu kalau kakaknya tidak bisa melihatnya, tapi ia tetap saja menjawab lelaki itu dengan anggukan lemah, lalu ia mematikan sambungan teleponnya.

"Bareng---"

"Luka kamu baru mendingan, aku gak mau liat wajah kamu tambah jelek gara-gara lebam," ucap Renjana menyela Reygatha yang baru akan berbicara.

Oke, salahkan saja mulut ember Andi yang memang kadang tidak bisa direm. Pagi tadi ketika jam istirahat pertama, si tengil itu dengan sembrono menyeletuk, "Gimana hadiah dari bokap lo? Udah sembuh?"

Renjana praktis memicing, ia memperhatikan wajah Reygatha yang sebetulnya sudah cukup membaik dibanding waktu hari kamis, tepat di mana lelaki itu memasuki kelas dengan wajah babak belur dan pakaian yang berantakan.

"Beneran bokap lo yang lakuin itu?" Pertanyaan Jenaya mewakili pertanyaannya.

Awalnya, lelaki itu tidak mau mengaku. Tetapi setelah didesak, akhirnya ia menyerah.

"Iya, ini ulah bokap gue. Hebat kan dia? Bisa bikin tato cuma dalam hitungan detik." Meski tawa tersuara, tapi mereka tahu pasti, bahwa hatinya tak baik-baik saja.

Lelaki itu menghela nafas kasar, "Lebay banget lo. Lagian cuma luka gitu doang mah cemen, udah biasa buat gue mah."

Renjana praktis menoleh, dahinya berkerut sementara matanya menyipit, sarat akan ketidaksukaan, "Udah biasa?" tanyanya sedikit menekan.

"Iya, udah bi... asa," ujarnya melemah di akhir. Dirinya sedikit menciut kala melihat sorot tajam Renjana.

"Jadi ini bukan yang pertama?" tanya Renjana dengan nada menuntut.

Reygatha meringis dalam hati, 'Berasa punya cewek gini ceritanya mah, hadeuh'.

"Papa kamu gak mungkin pukul-pukul kamu tanpa sebab, iya kan?"

"Udah sore, nih. Langitnya mendung lagi, kayaknya mau ujan, deh. Pulang sekarang, yuk." Renjana mendengus mendengar penuturannya, yang jelas sekali kalau lelaki itu mengalihkan pembicaraan.

"Siapa juga yang mau pulang sama kamu?"

"Terus lo mau nunggu siapa? Andi? Itu bocah mau manggung sama Keenan sama Dipta, udah berangkat juga tadi pas bel."

Kalau sudah begini, ya mau tidak mau Renjana ikut pulang bersama Reygatha. Lagipula, lengannya sudah ditarik oleh lelaki itu menuju motornya yang berada di depan pos penjaga.

Hujan Tak Bertuan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang