Hari libur seperti ini memang cocok untuk beristirahat. Menghabiskan waktu bersama orang tersayang, bercengkrama, berbagi rasa.
Seandainya ia bisa.
Seandainya ia bersuara.
Seandainya ia..Tungkai kakinya bergerak ke sana ke mari menguasai ruang dengan pencahayaan redup. Badannya meliuk-liuk, lengannya melambai-lambai. Bak kupu-kupu yang terbang bebas ke mana saja ia mau, perempuan itu menari dengan riang menikmati kebebasan. Tubuhnya seolah terbawa angin, berputar di satu titik, bertumpu pada satu kaki. Tepat ketika lagu itu selesai, tubuhnya merosot ke lantai dengan posisi miring sedikit telungkup. Nafasnya terengah, keringat bercucuran di wajahnya.
'Kapan pun kamu mau, dateng aja ke sini. Ruangan ini udah dikhususkan buat kamu.'
Ruangan yang hampir dipenuhi oleh cermin itu menjadi tempat paling nyaman untuk melepaskan semua beban, meski harus mengorbankan kakinya yang sudah pasti akan terdapat lebam.
Suara decitan pintu tak dihiraukannya, begitu juga dengan derap langkah kaki yang mendekat. Perempuan itu masih berbaring, membiarkan lantai di bawahnya lembab sebab keringatnya.
"Sayang?" Suara itu mengalun lembut, penuh kasih sayang. "Ngerasa mendingan?"
Usapan lembut dirasanya di pucuk kepala. Perempuan itu menoleh, lantas memberikan senyum tipis. "Seperti kemarin-kemarin, aku pasti selalu ngerasa lebih baik setelah balet."
"Mau lebih tenang lagi? Atau mau udahan aja?"
"Aku pengen ngerasa jauh lebih tenang dari biasanya, Kak."
Yang lebih tua memberi senyum simpul, "Tapi jangan dipaksain, ya. Take your time, sweetie," Selepas memberikan usapan lembut pada kepala juga bahu, ia beranjak meninggalkan perempuan itu sendirian.
"Sehebat apapun lukanya, kalau kita berusaha, kita pasti bisa sebebas kupu-kupu," monolognya, teringat akan pesan yang ia terima beberapa bulan yang lalu.
Perempuan itu bangkit, melepas pointe shoes-nya, menunjukkan keadaan kakinya yang mulai memerah dan sedikit lecet.
"Meski bebas, tapi kupu-kupu gak bisa lihat keindahan sayapnya dengan mata kepala sendiri."
Ia bertumpu pada jari kakinya, lantas memutarkan tubuhnya yang ringan dengan indah. Rok tutu yang dipakainya melingkar dengan sempurna.
Senyum terpatri menghiasi wajahnya. Terkadang matanya memejam, menikmati alunan musik yang terputar dalam imajinasinya.
Di ruang yang sunyi itu, dirinya terus menari dengan begitu bebasnya. Bergerak dari arah timur ke barat, lalu dari selatan ke utara. Ruangan cukup luas itu mampu ia kuasai dengan baik.
Ia asyik bersama imajinasinya, sehingga tidak menyadari akan keberadaan seseorang yang sudah cukup lama memperhatikannya.
"Ren.." Dalam ruang yang sunyi itu, suara pelannya mampu menghentikan kegiatan perempuan yang dipanggilnya. Ia tersenyum kala netranya bersitatap dengan netra si perempuan. "Hai," sapanya seraya melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
Perempuan itu--Renjana--balas tersenyum. Tungkai kakinya berjalan mendekat, lengannya terbuka, menyambut dengan sebuah pelukan.
"Aku gak nyangka kamu betulan datang, Rey,"
Reygatha balas memeluk, "Aku gak pernah ingkar janji, Ren," jawabnya.
Renjana terkekeh, ia membawa Reygatha untuk duduk di salah satu sofa panjang yang tersedia di ruangan itu.
"Jadi gimana lomba renangnya?"
Reygatha mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang membuat Renjana bersorak riang. "Kamu juara satu? Waahhh hebat!"
Reygatha menepuk dadanya bangga, "Udah aku bilang, renang mah aku jagonya," ujarnya menyombong.
"Makasih ya, udah mengharumkan nama sekolah dan kelas kita. Kamu mau hadiah apa dari aku?"
"Aku gak pengen hadiah apa pun. Aku cuma perlu kamu di samping aku, temenin setiap langkah perjalanan aku," jawab Reygatha disertai tatap lembut.
Renjana mengangguk singkat, "Kita terusin perjuangan kita, ya. Kali ini bukan cuma buat sembuh, tapi juga buat dapetin izin dari kakak-kakak aku sama orang tua kamu."
"Kamu cuma perlu luluhin bunda, Ren. Aku gak butuh restu ayah," Renjana menggenggam tangan Reygatha, mengusap punggung tangan lelaki itu dengan ibu jarinya.
"Kan biar adil. Kamu luluhin hati mas Yasa sama mas Tala, aku luluhin hati bunda sama ayah."
"Engga perlu, Ren. Aku udah gak ada urusan apa pun lagi sama dia," ujar Reygatha seraya balas menggenggam tangan Renjana.
"Ada cerita yang belum kamu bagi ke aku, Rey. Aku gak begitu paham sama maksud kamu."
Reygatha terkekeh, "Jadi, sebenarnya dia bukan ayah aku," Renjana tersentak.
"Terus siapa?"
"Dia kakaknya bunda."
Renjana gelagapan, "T-Tapi kok---"
"Selama bertahun-tahun, mereka memalsukan identitasnya. Pernikahan itu palsu, makanya gak ada satupun foto yang memperlihatkan hari pernikahan mereka," jelas Reygatha.
"Dan ayah kamu?"
"Di Cina."
"Kamu udah tau wajahnya?" Reygatha mengangguk.
"Dia gagah banget, ganteng kayak aku," ujarnya narsis diiringi kekehan. "Sayangnya, aku belum bisa ngehubungin ayah."
"Kenapa? Bunda ngelarang kamu?" Reygatha menggeleng.
"Ayah sama bunda bahkan masih saling mencintai. Mereka suka komunikasi secara diam-diam, supaya gak ketahuan sama om Dean."
Nafas Renjana tercekat, "Om Dean kan kakaknya bunda kamu, yang selama ini jadi ayah kamu.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Bertuan (TAMAT)
Fanfiction"Kalau diibaratkan sebagai cuaca, kita tuh lebih mirip kayak hujan." "Kenapa hujan?" "Kedatangan kita gak bisa diterima oleh semua orang, tapi peran kita paling dibutuhkan buat melengkapi hidup mereka. Kayak air sama hujan. Keduanya sama-sama berb...