Perjalanan pulang dari tempat les balet Renjana begitu tenang dan damai. Mobil yang dikendarai oleh Reygatha melaju dengan kecepatan normal. Ia bersenandung kecil, sesekali menatap Renjana yang tengah tertidur pulas. Sepertinya perempuan itu kelelahan setelah menari selama hampir lebih dari dua jam.
"Unik juga dia. Lagi capek malah dibikin tambah capek sama balet," Lelaki itu terkekeh, lantas tangannya bergerak untuk mengusak rambut si perempuan dengan gemas. Kemudian turun, menautkan jemari keduanya, ia bawa mendekati bibirnya untuk membubuhi kecupan di punggung tangan Renjana.
Di sisa perjalanannya, Reygatha sama sekali tidak melepaskan tautan tangannya. Ia biarkan kehangatan dan rasa nyaman saling beradu, menghapus rasa lelah yang ada.
|∆∆∆|
Renjana tak henti-hentinya merutuki lelaki itu dalam hati. Ditatapnya sebuah rumah bernuansa coklat itu dengan perasaan tak karuan. Renjana bersembunyi di balik tubuh Reygatha.
"Kenapa takut? Bunda gak bakal gigit, kok," ujar Reygatha seraya menarik Renjana untuk berdiri di sebelahnya.
"Kan aku udah bilang, besok aja kalau mau ajak ketemu bunda. Aku baru bangun, rambut aku lepek, badan aku bau keringat. Gimana kalau bunda ilfeel sama aku?" Reygatha terkekeh mendengar celotehan si perempuan.
"Apa adanya lebih memungkinkan buat diterima, Ren," ujarnya menenangkan.
"Tapi aku kucel---" Kalimatnya terhenti kala indra pendengarannya menangkap derap langkah kaki dari dalam sana. Renjana bergerak mundur, namun Reygatha menahan punggung perempuan itu sehingga tetap di tempatnya.
Pintu terbuka, menampilkan Tiffany dengan rambut kusut dan wajah bantal khas bangun tidur, juga daster selutut. Renjana melongo, 'Bunda bukannya model, ya? Ternyata model juga bisa berantakan gini penampilannya?'
"Halooo Nda!" Reygatha melambai semangat, membuat kesadaran Tiffany perlahan terkumpul. Perempuan itu mengucek matanya sebelum benar-benar memusatkan perhatiannya pada anak sulungnya. Senyum tipis terulas menghiasi wajahnya, Tiffany menyambut kepulangan anaknya dengan sebuah pelukan hangat dan erat.
"Maaf ya, Bunda gak jadi lihat kamu lomba," ujarnya begitu pelukan keduanya terlepas.
"Iya, gak pa-pa, Nda. Yang penting Rey menang!" Soraknya bahagia.
"Selamat ya, Bunda bangga sama kamu. Kamu mau hadiah apa dari Bunda?"
"Rey pengen dapet restu dari Bunda," Renjana melotot mendengar permintaannya. Ia tersenyum kaku karena kini Tiffany menatapnya.
"Kamu akan selalu punya waktu buat anak saya?"
"Saya usahakan pasti selalu bisa, Tante."
"Kamu gak keberatan liat dia nangis sampai keluar ingus?"
Kalau saja pertanyaan itu keluar dari bibir si tengil Andika Ratmaja, sudah dipastikan Renjana akan tertawa detik itu juga. Tapi karena yang bertanya adalah Tiffany, 'calon mertanya', Renjana harus bisa menjaga wibawanya.
"Sama sekali enggak, Tante."
"Dia pasti akan merepotkan kalau ada pelajaran yang tidak dia mengerti. Kamu sanggup ajarin dia?"
"Kalau saya paham materinya, saya akan dengan senang hati bantu Reygatha sampai paham, Tante."
Tiffany mengangguk lambat, "Ayo masuk, kita makan malam bersama," Ia berlalu terlebih dahulu, meninggalkan Reygatha yang tersenyum lebar dan Renjana yang masih diam kebingungan.
"Bunda kasih lampu ijo!" Riangnya. Ia segera membawa Renjana untuk menyusul Tiffany yang sudah sibuk berkutat di dapur.
|∆∆∆|
"Saya kasih kamu kesempatan untuk menjalin hubungan dengan anak saya."
Saat ini, di meja makan hanya ada Tiffany dan Renjana. Selepas acara makan malam seadanya itu selesai, Reygatha pamit sebentar untuk membersihkan diri.
"Dengan syarat, kamu tidak boleh main-main dengan perasaannya. Kalau kamu merasa sudah tidak mencintai anak saya lagi, bilang sama saya, biar saya bawa dia pergi dari sini."
Renjana memberi senyuman simpul, "Saya yakin, rasa ini gak akan pernah pudar, Tan---"
"Panggil saja Bunda."
Yang lebih muda bersorak riang dalam hati. "Saya yakin, rasa ini gak akan pernah pudar, Bunda. Kebetulan, Reygatha jadi penyembuh luka saya yang sudah lama membusuk. Dia satu-satunya orang yang bisa mengembalikan jati diri saya."
"Cipto lebih pilih wanita rakus harta itu?" Renjana tersentak, darimana bunda bisa tau?
"Suami saya dulunya berteman dekat dengan wanita itu, karena kebetulan mereka satu sekolah, satu kelas juga. Wanita itu bahkan pernah mengincar suami saya, padahal dia tahu kalau kami sudah menjalin hubungan," jelas Tiffany dengan sedikit kilat amarah di akhir.
"Biasanya, bungsu adalah anak yang paling dimanja. Tapi kamu, justru yang paling banyak menerima luka," Tiffany beranjak, lantas berdiri di sebelah Renjana. Perempuan itu tersenyum seraya mengelus pucuk kepala Renjana, "Saya Bunda kamu juga, jadi jangan sungkan lagi, ya. Datang ke sini kapan pun kamu mau, pintu rumah akan selalu terbuka buat kamu," ucapnya lembut.
Tiffany mendekap tubuh Renjana kala netra perempuan itu sudah berkaca-kaca, "Luapin semua kesedihan kamu, sayang," Hatinya meringis kala Renjana memeluknya begitu erat, tangisnya bersuara begitu hebat.
Sementara di ujung tangga, Reygatha berdiri termangu, sedikit terkejut namun juga terharu dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.
"Bahagia selalu, Ren."
{===}
So sorry kalau semisal adaaa typo:(
Menuju akhir malah kena writer's block, huftt😔🤏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Bertuan (TAMAT)
Fanfic"Kalau diibaratkan sebagai cuaca, kita tuh lebih mirip kayak hujan." "Kenapa hujan?" "Kedatangan kita gak bisa diterima oleh semua orang, tapi peran kita paling dibutuhkan buat melengkapi hidup mereka. Kayak air sama hujan. Keduanya sama-sama berb...