12. Soal Rasa yang Dipaksa Sirna

41 29 0
                                    

Keenan berjalan santai memasuki ruang UKS. Didapatinya seseorang yang meringkuk di balik selimut, menyisakan rambut yang sedikit mengintip. Dirinya duduk tepat di sebelah gumpalan tersebut, lantas menurunkan selimut yang menutupi bagian wajah.

Satu buah kiko yang sedari tadi ia genggam, di dekatkan pada pipi yang tengah tertidur. Rasa dingin yang menjalar mampu membangunkan orang tersebut dalam hitungan detik.

"Tolol!" cercanya begitu membuka mata dan mendapati Keenan tengah tersenyum tak berdosa.

"Bangun, ege. Lu tidur udah kaya hibernasi, tau gak?"

Dengan mata yang menyipit karena masih menyesuaikan cahaya yang masuk, Reygatha mendongak melihat ke arah jam dinding.

"Setengah lima?" tanyanya dengan nada sedikit tak yakin.

"Iya, dan lo udah tidur dari jam 7."

Reygatha merubah posisinya menjadi duduk, diiringi ringisan kecil sebab bahunya terasa kebas.

"Lo abis bikin gara-gara apa sampe dipukulin begini?" Keenan ikut meringis begitu melihat lebam di wajah dan bahu sobat karibnya.

"Perihal cinta doang, anjir! Ribet banget tuh aki-aki!"

"Renjana?"

"Iya lah, siapa lagi? Gue bukan si Andi yang setiap tikungan ada."

Keenan terkekeh, "Calon-calon budak cinta."

"Bacot."

"Seneng ya lo abis diperhatiin sama dia? Abis diobatin, kan?" tanya Keenan seraya tersenyum kambing, yang praktis mendapat dengusan dari si lawan bicara.

"Boro-boro! Dianya takut, sampe nangis malahan," Keenan melotot mendengar keluhannya.

"Seriusan dia nangis?"

Reygatha mengangguk, ia mulai sibuk melipat selimut yang sudah dipakainya, "Kayaknya dia punya trauma sama luka lebam, mungkin dia pernah dapet juga. Gue sampe kaget waktu liat mata dia merah, padahal sama sekali belum ngobatin."

"Andi gak ada bilang apa-apa soal ini," gumam Keenan yang untungnya masih bisa didengar oleh Reygatha.

"Mungkin belum, tunggu waktunya aja."

Helaan nafas terdengar kentara dari belah bibir Reygatha, "Gue disuruh menikmati hasil tanpa melewati proses, Nan. Sampul gue emang keliatan kayak orang bodoh, ya?" tanyanya diakhiri kekehan.

"Engga, dia mengalah karena kondisi dia lagi di bawah, yang mana emang gak memungkinkan buat terlibat dalam sebuah kompetisi," jelas Keenan.

"Kalau kaya gini, gue tetep kehitung kalah gak sih? Dia sengaja mundur supaya gue menang, sementara gue gak ada usaha apapun buat menempati posisi pemenang. Kalau orang-orang anggap gue anak mami, kayaknya gue bakal diem aja, protes juga gak ada artinya, omongan mereka bener soalnya. Gue bisa dapet hasil yang lumayan cuma modal diem."

|∆∆∆|

"Dasar anak tidak tahu diri!" Pukulan kuat mendarat di pipi Reygatha, menambah lebam yang semula sudah terpampang.

"Saya sudah bilang, jangan coba-coba untuk mencintai seseorang, apalagi anak itu adalah anak dari kepala perusahaan. Kamu ingin membuat malu keluarga kita?!" Lagi, pukulan ia dapatkan, tapi kali ini pada perutnya. Rasanya Reygatha ingin memuntahkan semua isi perutnya saat ini. Dirinya mual bukan main.

Deandra Radenjaya, atau akrab dipanggil Dean, menarik kerah seragam putra sulungnya, Reygatha Wiratama. Ia cengkram pipi tirusnya, menimbulkan ringisan dari bibir Reygatha sebab lebamnya ditekan.

Hujan Tak Bertuan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang