"Gue tau alasan lo sama sekali gak ada kaitannya sama Reygatha, tapi Ren, lo yakin? Kita gak tau keinginan si pendek itu apa. Kalau tiba-tiba dia minta surat rumah sama tanah lo, gimana? Kan ga ada yang tau."
Hah, si tengil ini benar-benar. Renjana memang tidak sepatutnya percaya pada apa yang akan diucapkan oleh lelaki itu. Awalnya saja yang serius, akhirnya? Selalu nyeleneh dan di luar perkiraan.
"An, logika aja, deh. Senekat-nekatnya dia, ngapain juga dia minta surat rumah aku? Kayak yang gak punya rumah aja."
"Ya kan siapa yang tau, Ren. Dan seinget gue, rumah dia udah gak layak tinggal gitu, sih. Jadi, mungkin aja kan dia nekat bersaing sama lo supaya bisa dapetin rumah lo itu?"
Renjana tergelak, "Gak mungkin, orang jaketnya tiap hari hedon terus, hampir branded semua kalau diliat-liat."
"Tck, maksud gue tuh broken home!"
Tawa Renjana berhenti seketika, ia menatap Andi dengan tatapan terkejut. "S-serius?"
"Iye, makanya dia sering ngegambar, soalnya itu salah satu terapi yang dia lakuin buat penyembuhan," jelas Andi. Ia sempat terkekeh melihat wajah terkejut Renjana. "Gue tau lu baik hati, tapi jangan jadiin ini sebagai alasan elu mengalah. Gak usah berubah jadi peduli, dia gak suka dikasihani orang lain."
"An, gimana kalau dia beneran ngincer rumah aku?" pertanyaan itu praktis membuat Andi melongo tak percaya, namun sedetik setelahnya, tawa lepas mengudara memenuhi ruang kesenian.
"Sialan! Gue kira lu bakal berempati!" ujar Andi masih dengan diselingi tawanya.
"Engga dulu, orangnya nyebelin soalnya."
"Nyebelin begitu juga tetep aja banyak yang cinta."
"Iya lagi."
Keduanya tertawa, lantas kembali berbincang ringan, tak membiarkan keheningan memasuki ruang kesenian.
Ditengah-tengah keseruan perbincangan itu, salah seorang sibuk menerka sesuatu dalam hatinya;
'Emang udah seharusnya berempati gak, sih? Kalau masih berwujud manusia dan masih punya hati, pura-pura gak peduli adalah hal terbodoh yang gak seharusnya dilakukan.'
|∆∆∆|
"Lo kenapa sih?" pertanyaan dengan nada tinggi itu membuat Renjana terkejut. Ia tatap si lawan bicara yang masih menyorotnya tajam dan penuh intimidasi."Apa? Harusnya kamu seneng udah aku kasih kesempatan," jawab Renjana.
"Menikmati hasil tanpa proses?" Lelaki itu terkekeh, "Lo anggap gue se-gak bisa itu bersaing sama lo? Sombong juga ya lo."
Renjana menyugar rambutnya seraya menghela nafas, "Gini deh, seandainya kamu menang, murni dengan kerja keras kamu, apa yang bakal kamu minta dari aku?"
"Surat rumah lo."
"H-hah?" Emang boleh se-kebetulan ini?????
Reygatha berdecih, "Gak sanggup kan lo?"
"Gila ya kamu!"
"Kenapa?"
Yang perempuan melotot, kenapa katanya? Memang cowok gila. "Aku bakal kasih tiga permintaan, tapi jangan yang menyangkut kepemilikan."
"Jadi babu gue," jawab Reygatha cepat.
"Terus?"
"Jadi babu gue doang udah lumayan capek, yakin mau turutin dua permintaan lainnya?"
"Apa dulu?"
"Jadi babu gue itu udah termasuk ngerjain tugas gue di semester dua nanti, turutin apapun keinginan gue, beliin gue makanan ke kantin, selalu siap siaga kapan pun gue butuh lo."
"Ini cuma di jam sekolah doang, kan?"
Reygatha menggeleng singkat, "Termasuk di luar jam sekolah. Kedua, biarin gue kenal sama abang-abangan lo. Dan ketiga, gue mau, lo---"
"Ren, ayo pulang," suara Andi menginterupsi. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, dengan pipi sedikit menggembung karena tengah memakan lolipop.
Renjana berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pada Reygatha, ia segera menarik lengan Andi untuk segera pergi.
Sementara di dalam kelas, Reygatha mengatur nafasnya. Emosi yang semula sudah hilang kini kembali singgah. Tangannya mengepal, matanya nyalang penuh amarah. Detik selanjutnya, teriakan yang begitu memekakkan telinga memenuhi seisi kelas X IPS 1, bahkan terdengar sampai kelas 12 yang posisinya cukup jauh.
"ANDIKA RATMAJA!!!"
{===}
Pagi kali ini, meja makan dipenuhi orang rumah. Setelah hampir satu minggu mendekam di dalam kamar, hari ini Dara memutuskan untuk keluar. Dirinya bangun lebih pagi dan memasak makanan untuk sarapan. Senyum sabit ia ulas, memberitahu keempat anaknya bahwa dirinya baik-baik saja.
"Ayo makan," ujarnya membuka pembicaraan. Suasana di meja makan itu damai, yang berisik hanya sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Sebetulnya, budaya sarapan bukanlah kebiasaan mereka, termasuk Dara. Tapi entah kenapa, dirinya tiba-tiba ingin memasak untuk keluarganya. Sementara anak-anaknya, mereka hanya mengikuti kemauan Dara.
Pagi-pagi sekali, mungkin sekitar pukul setengah lima, Renjana yang belum tidur dari semalam, dikagetkan dengan suara ricuh di dapur. Kamarnya kebetulan di dekat dapur, jadi saat itu, Renjana hanya menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan. Ia praktis melotot begitu melihat presensi Dara yang tengah sibuk memilah-milah bahan masakan dari dalam kulkas. Ia bahagia karena melihat keadaan Dara yang jauh lebih baik dari kemarin-kemarin.
"Renjana, gimana sekolah kamu?" Renjana mendongak, menatap tatapan teduh ibunda.
"Aman kok, Ma."
"Les musikmu gimana, lancar?"
"L-lancar kok, Ma," Maaf, Ma, Renjana udah dua minggu gak les.
"Tingkatkan bakatmu. Minggu depan nanti Mama ada reuni dengan teman SMA Mama, kamu harus ikut, untuk mempertunjukkan bakat bermain musikmu itu."
"Iya, Ma," Selain pamer kekayaan, ternyata sekarang reuni juga jadi ajang pamer bakat anak-anaknya, ya. Hebat juga.
"Abian, bagaimana pekerjaan kamu?"
"Abian naik jabatan, Ma. Hari senin kemarin harusnya Abian mulai kerja di Tangerang."
"Oh, ya? Lalu kenapa tidak berangkat?"
Abian melirik Yoga yang masih damai menyantap makanannya, "Jadwalnya diundur, jadinya senin besok," bohongnya.
Dara mengangguk pelan, ia kini menatap anak sulungnya, Yasa. "Yasa, gimana calonnya? Sudah ada?"
"Ada, Ma."
"Mana? Kenapa belum dikenalkan sama Mama?"
"Sama-sama sibuk, Ma, belum ada waktu. Mungkin jadwal pulang Yasa yang nanti bakal Yasa bawa ke sini, Ma." Kedua adiknya, Abian dan Renjana, praktis menatap dirinya seraya menaikkan sebelah alisnya. Raut wajahnya seolah bertanya, Mas beneran udah punya calon? Tapi Yasa abai, memilih untuk segera menghabiskan sarapannya.
"Syukurlah kalau kamu sudah ada calon. Kapan pernikahannya?" Abian dan Renjana tersenyum mendengarnya.
"Rencana sih dua tahun lagi, Ma. Yasa mau kumpulin uangnya dulu, dia juga pengen fokus karir dulu katanya."
"Mama percaya sama kamu. Ingat Yasa, jangan sampai kecolongan, atau kamu Mama pindah asuhkan kepada dia."
"Iya, Ma. Yasa janji bakal saling ngejaga diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Bertuan (TAMAT)
Fanfic"Kalau diibaratkan sebagai cuaca, kita tuh lebih mirip kayak hujan." "Kenapa hujan?" "Kedatangan kita gak bisa diterima oleh semua orang, tapi peran kita paling dibutuhkan buat melengkapi hidup mereka. Kayak air sama hujan. Keduanya sama-sama berb...