3.

2.3K 254 39
                                    

Setelah pertemuan kedua yang tidak terduga di tempat tak disangka jua, dimana tokoh utama kita tak menemukan batang hidung Fanny yang mungkin telah ditelan sekumpulan manusia kurang belaian, ia balik ke rumah dengan selamat sentosa. Terduduk di sofa sekitar pukul setengah 1 malam, Renjun mengurut kening sembari mengulas balik kejadian mereka di bar.

Sialan.

J E N O dan muka duanya, gedek Renjun dibuatnya.

Lagian ngapain dia mikirin kan ya? Tinggal abaikan, nikmati sejauh mana Jeno bertingkah, kalau mengganggu banget, bisa dihindarin kan? Renjun menyayangkan kedai kopi kemarin punya barista macam Jeno, dengan cita rasa gilingan kopi yang sudah sesuai sama lidah, dan caramel dengan manis tidak berlebihan serta suasana yang bikin betah waktu bekerja, seharusnya bisa masuk ke daftar tempat nongki di kala Renjun suntuk menghadapi kanvas.

Lelaki surai abu acak-acakan itu menghela napas panjang, bak merasa usianya memendek dua tahun hanya karena menghadapi manusia sejenis J E N O. Andai saja dia punya referensi lain, tidak akan dia seberlebihan ini dalam berpikir.

Usut demi usut, rata-rata klien Renjun malah penggemar racikan kopi di Jenspresso.

Sialan.

Yap, tiga hari berlalu, Renjun menemukan dirinya berdiri di depan teras kedai terakhir yang ingin ia kunjungi lagi. Mata menatap nalang pada papan nama lebih tinggi, membatin di sanubari kenapa dia kembali ke sini.

Sebelumnya..

"Iya Mas Jun, aku tuh pengen ngasih liat detailnya secara langsung, soalnya ini tuh pesanan Mama aku," suara mendayu uang eh bukan maksudnya wanita sepantaran Renjun yang sudah jadi klien tetap selama hampir satu tahun menuturkan lewat sambungan telepon. Renjun tampak manut-manut, paham banget sama request ajaib dari orangtua si klien.

Panggil saja beliau Aera.

"Okay, berarti kita ketemuan aja di mana gitu,"

"Jenspresso aja Mas Jun, tahu tempatnya nggak? Sumpah ini aku nggak promosi loh ya, tapi tempatnya betah banget, aku pikir Mas Jun bisa loh, jualin satu lukisan Mas Jun ke sana, genre kedainya sama karya Mas Jun nyambung tahu!" Aera terdengar bersemangat di sana tanpa mengetahui wajah kecut Renjun ketika menangkap nama tempat itu disebut pertama kali.

"Kenapa kok suka di sana? Baristanya jutek,"

"Eh? Apa iya? Aku nggak pernah dijutekin sih,"

Kurang sambal! Renjun mendadak menahan diri untuk tidak meledak-ledak karena sesungguhnya dia pribadi yang positif dan ceria di kala terpaan badai. Sekali lagi J E N O punya double standard terutama pada perempuan!

"Ya ya yaaa? Kita ketemu di sana aja yaaa Mas Jun??" dirasa Renjun belum merespon, Aera memohon-mohon pakai nada memelas. Renjun tuh kalau disuruh mengikuti ego pasti berujung Aera melanglang buana meninggalkan dia (iya sebagai klien tetap), tapi mengingat perlakuan Jeno kayak... asuw (umpatan Fanny setiap dapat terjemahan kacau) ke dia, makan hati dong nanti.

"Iya deh iya, jam 10 yaa, aku mau ngebo dulu,"

"Okeh bisa, apapun buat Mas Renjun biar bisa bantu aku, makasih ya Mas! Favorit banget deh!" Ah jadi malu kan Renjun dipuji-puji gitu, padahal awal-awalnya juga cuman jual pajangan kecil-kecilan, eh taunya Aera sekeluarga nemplok sering beli buat bingkisan hadiah atau buah tangan ke orang.

Jadilah dia di sini, hampir mendekati jam 10 tetapi tidak ada tanda-tanda kap mobil Kia berwarna perak milik Aera terparkir di sana. Renjun memantapkan diri, sembari mencengkram tali tas di sekujur bahu, ia masuk perlahan melewati pintu kaca tersebut.

TWO SIDES OF THE COIN [NOREN]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang