BAGIAN 1 : Axel Maverick Bjorn.

969 21 4
                                    

Seorang pemuda melangkah terhuyung-huyung menuju pintu depan, genggamannya erat saat ia membukanya dengan gerakan tak teratur.

“Selamat pagi, dunia! Dunia penuh dengan kebajikan… dan kebajingan!” Serunya pada langit biru yang cerah, dengan nada sinis yang mengudara.

Axel Maverick Bjorn, pemuda bertubuh tinggi menjulang sekitar 190 cm dengan hidung mancung dan bibir tipis, telah dikenal luas sebagai "pangeran kampus dari negeri dongeng." Meski terdengar bak lelucon, tak ada yang bisa membantah ketampanan lelaki itu, nyaris seperti sosok yang keluar dari halaman cerita fantasi.

Brukk!!

Kaki Axel tak sengaja mengenai sesuatu yang ada di depan pintunya."sial! Apa yang baru saja aku ten-" lelaki itu menganga saat mendapati bahwa sesuatu yang barusan ia tabrak adalah kotak berisi seorang bayi.

"Anak siapa ini? Astaga... Orang bodoh bagian mana yang meletakkan bayi sekecil ini di depan rumah orang lain?" Axel lalu berjongkok menatap bayi kecil itu, ia lalu kembali berdiri berjalan menuju gerbang rumahnya yang ternyata tak terkunci sembari menoleh ke kanan kiri.

Axel segera mengambil bayi itu yang hanya di lapisi selimut, tangan dan wajahnya memerah karena kedinginan.

"Orang tua mana yang berani membuangmu bayi kecil? Kau sangat imut...," Axel terus memandang bayi yang ada di hadapannya, ia gemas sendiri melihat pipi chubby milik bayi berkulit putih itu. 

Tangannya gatal ingin menoel-noel, namun ia tak berani karena takut bayi itu akan menangis. Tahu sendirikan kalau bayi menangis sangat susah untuk diam, tidak mungkin tangan kekar Axel membungkamnya, Bayi itu bisa mati kehabisan nafas.

ia memindahkan bayi itu ke atas sofa secara perlahan-lahan, lalu beralih mengambil ponselnya. Axel ingin menelpon Serra, sahabat karibnya sejak kecil.

"Serra! Coba tebak, apa yang baru saja kudapatkan di pagi yang cerah ini!" Axel berbisik di telepon karena takut suaranya membangunkan bayi itu.

"Axel! Suka sekali kamu ganggu, ini masih pagi! Lagi pula ini hari Minggu, aku masih tidur jam segini. gara-gara kamu aku harus bangun dari tidur ku yang nyenyak!" suara serak gadis itu terdengar dari telepon.

"Dengar dulu! Baru saja ada sebuah kotak kardus tepat di depan pintu rumahku!" Axel dengan setiap penekanan pada kalimatnya, Ia begitu serius berbicara pada Serra.

"Paketmu? Lalu untuk apa kau menelponku Axel Maverick Bjorn?" Kini Serra sudah berteriak keras di akhir kalimatnya dengan nada ketus.

"Shutt… dengar dulu! Aku serius, ada sesuatu yang harus kau tahu," Axel semakin memelankan suaranya, lelaki tampan itu dengan perlahan duduk di sofa.

"Cepat jelaskan! Apa yang harus aku ketahui di pagi yang cerah ini, hah?"

"Aku baru saja menemukan kardus berisi bayi!" Axel masih dengan suaranya yang sangat pelan. Tangannya terasa keram karena terus menahan tubuh bayi itu.

"Bayi kucing? Kau ingin merawatnya? Rawatlah, jangan katakan kau menelponku untuk meminta persetujuan?" Serra baru saja ingin menutup telepon, tapi kalimat yang dilontarkan Axel malah membuatnya mengurungkan niat itu.

"Bukan bayi kucing, tapi bayi MANUSIA!!" Axel dengan suara lantangnya.

Serra bingung apa sahabatnya itu mengatakan hal yang benar atau hanya bercanda saja. Mereka sudah bersahabat lama, lelaki tampan itu selalu membuat lelucon keterlaluan yang sering kali membuat dirinya kesal.

"Kau bercanda, kan? Mana mungkin ada orang yang membuang bayi lewat kardus di depan pintu rumahmu! Aku sama sekali tak percaya dengan omong kosong mu itu, berapa botol alkohol yang kau minum?" Serra tetap kekeh tak mempercayai ucapan yang terdengar seperti omong kosong, di tambah lagi Serra tahu Axel memiliki kebiasaan meminum alkohol.

"Kalau begitu datanglah, dia sangat imut dan lucu. Aku menunggumu, kita akan beri dia nama," tepat sebelum Axel menutup telepon terdengar tangisan bayi, membuat Serra terlonjak dari tempat tidurnya Karena terkejut bukan main.

"Jadi benar ada bayi!? Halo, Axel! Anak ini, apa dia tidak tau itu anak orang!?" Belum sempat Serra berbicara, telepon Axel sudah benar-benar ia matikan.

Sehari-hari Axel memang tinggal sendirian di rumah yang cukup besar itu, kedua orang tuanya berada di luar negri untuk mengurus perusahaan dan hanya pulang di hari-hari tertentu seperti saat akhir tahun atau hanya sekedar bertemu Axel.

Lelaki itu memilih tinggal di rumah peninggalan Eyangnya karena di rumah orang tuanya ia hanya di temani oleh bibi dan supir yang sering kali mengaturnya karena suruhan dari ayahnya. Ia ingin hidup bebas dengan aturannya sendiri, melakukan segala hal tanpa perizinan dari siapapun.

Axel kini kelabakan karena bayi itu menangis sangat keras. Ia bingung harus berbuat apa, di kardus itu hanya terdapat secarik kertas dan sebuah gelang polos berwarna hitam. mana bisa lelaki dengan keseharian bersama alkohol merawat seorang bayi?

"Shut… dedek bayi diam dulu, kita tunggu kakak Serra datang ya. astaga! Serra kenapa belum datang juga," Axel masih berusaha menenangkan bayi itu. namun hasilnya nihil, entah apa yang harus ia lakukan di rumah yang sepi itu.

Selang beberapa menit Sebuah ide pun muncul di otak Axel, ia kembali meletakkan bayi itu ke sofa lalu melepas kaos putih polos yang Memperlihatkan otot sixpacknya.

Perlahan ia kembali mengangkat tubuh mungil bayi itu lalu menyandarkan kepalanya tepat di dada kanan dan anehnya bayi itu perlahan-lahan diam, Tangan kecilnya memeluk dada bidang milik Axel terlihat merasa nyaman.

"Diam? Bayi kecil, apa kau suka tubuh hangat ku? Apa sekarang aku adalah seorang ayah? Ayah…," Axel salah tingkah sendiri mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya, bagaimana bisa seorang mahasiswa semester 8 tiba-tiba menjadi seorang ayah muda tak beristri.

Suara mobil matic terdengar berhenti di halaman rumah, Axel segera keluar masih menggendong bayi kecil itu tanpa menggunakan baju.

Serra segera menghampiri Axel, melihat bayi kecil yang di gendong oleh tangan kekar sahabatnya itu. "Axel!? Kau benar-benar tak bercanda tentang bayi ini? Siapalah orang tua yang membuangnya? Kasihan sekali kamu dek, padahal kamu tidak minta untuk dilahirkan ke dunia ini," Serra dengan suara serak dan mata berkaca-kaca menatap dalam bayi kecil yang tak berdosa itu, Jiwa keibuannya tiba-tiba muncul begitu saja.

"Kau menangis? Ada apa denganmu, Serra? Kenapa tiba-tiba menangis, ayo masuk. Jangan seperti ini,"Axel segera menuntun Serra untuk masuk ke dalam rumah, ia takut ada orang yang salah paham melihat mereka.

"Ingin coba menggendong bayinya?" Axel perlahan memindahkan posisi bayi itu ke tangan Serra.

"Kenapa kau tak memakai bajumu? Kau pikir aku ini seorang laki-laki?" Pekik Serra, menatap Axel yang hanya menggunakan celana pendek berwarna hitam dengan ekspresi datar. Apa dia pikir Serra gadis yang tak normal?

"Aku melepaskan baju ku karena bayi itu, sepertinya dia kedinginan. Saat ku letakkan di dadaku, suara tangisannya langsung hilang, luar biasa bukan?" Axel dengan bangganya mengucapkan kalimat itu.

"Kalau begitu pergi sana, kau pasti belum mandi, kan?"

"Tepat sekali! Jaga bayi itu untukku, boleh?" Pinta Axel dengan wajah memelas.

"Jangan lama ya?"

"Tak perlu khawatir, kau hanya perlu melepas bajumu untuk memberikannya kehangatan," kata-kata Axel terdengar sangat mesum di telinga Serra, Gadis itu bergidik ngeri.

"Jaga kata-kata mu! Sudah, sana pergi!"pekik Serra dengan suara berbisik, ia tak ingin bayi itu terbangun karena suara teriakannya pada Axel.

"Hahaha… iya, iya bunda. Ayah mandi dulu ya," godanya, ia lalu mengambil handuk yang ada di dekat sofa beralih mengelus-elus kepala Serra membuat gadis itu risih.

"Idih, aku gak akan mau nikah sama cowok kayak kamu," dengan lantang Serra mengatakan hal itu, tapi Axel santai saja. Ia tau betul Serra, dari dulu gadis itu tak pernah terpikat dengan ketampanannya.

"Tapi aku mau," timpal Axel lalu tertawa, melangkah mundur masih terus menatap Serra.

DO YOU HAVE A BABY? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang