Usai memasukkan tangan Flo ke dalam selimut, Amara mengambil lip balm dari dompet skin care miliknya. Dalam sekejap Flo menggeser kepala, menolak sentuhan benda di bibir, dengan mata tetap memejam.
"Euhh Bunsa," dia melenguh.
"Nggak diapa-apain, sayang."
"Nggak mau obat." Ucapan tak bertenaganya disusul batuk-batuk.
"Cuma lip balm biar bibirnya nggak pecah-pecah."
Maka Amara menahan kepala sang putra untuk mengolesi produk berbentuk gel warna merah ke bibirnya. Disimpan lagi produk itu, lalu Amara mengusap pucuk kepala anaknya.
"Makan ya, sayang?"
Flo menggeleng lemah. Sakit kepala dan lemas sekujur tubuh membuat matanya bertahan tertutup, sebab terasa berat jika dibuka. Bibirnya pun tak berhenti mengeluarkan rintihan pelan. Batuk yang tak kunjung sembuh kadang membuatnya seperti tercekik. Selama tiga hari menjalani rawat inap, dia lebih banyak berbaring, tidur, dan muntah.
"Kenapa, Bun?"
Pakaian Braga masih seragam tenaga medis. Niatnya ingin menengok adik dulu sebelum ke kos. Saat masuk yang dilihat si Bunda berdiri seraya merendahkan badan, berbicara dengan Flo yang seperti tidur tapi tidak tidur, sementara satu tangan Amara mengusap kepala Flo dan tangan lain mengusap pipinya sendiri.
"Udah selesai, Mas, dinasnya?"
Braga mengangguk. "Bunda nangis?" bertanya pelan ketika lihat mata Amara dilapisi kaca, pun suaranya terdengar goyah.
Ibu satu anak itu beralih sejenak ke putranya, mencium keningnya, lantas beranjak dari samping ranjang dan duduk di sofa. Braga mengikuti.
"Bunda sedih, Mas. Udah berusaha jaga Flo biar nggak sakit, sekarang malah gini, malah opname. Mana Bunda lagi program naikin berat-badannya Flo. Naiknya susah, eh turunnya cepet banget."
Amara tertunduk. Lantas Braga mengulurkan sekotak tisu.
Sambil memilin selembar tisu, Amara menyambung, "terus kata-katanya Dokter tadi pagi bikin Bunda kepikiran banget. Dunianya Bunda rasanya kaya lagi gempa magnitudo 10."
Jujur Braga kikuk. Dia tidak pandai menenangkan orang lain. Ingin memeluk, takut si Bunda risi. Jadi dia hanya meletakkan tangannya di bahu Amara.
"Tenang, Bun, nanti Braga bantu naikin berat badannya lagi. Kalo tetep nggak mau makan, Mas cekokin atau Mas pakein NGT sekalian." Kalimat terakhir disuarakan lebih keras.
Flo mendengar dan membuka mata sayunya. Dia yang berbaring di bed sedikit mengangkat kepala. Matanya menyipit; kok Bunsa tertawa, sih, bukannya membela dia. Sekalibat bertatapan dengan Braga, lalu meletakkan kepalanya lagi ke bantal dan terbatuk.
Uhuk uhuk uhuk
Braga melirik arloji di tangan, bertepatan dengan perawat masuk membawa troli berisi peralatan nebulizer.
"Selamat malam, sudah jadwalnya terapi uap, Adek Flo."
Si perawat menyapa Ibu dan kakaknya Flo secara singkat kemudian ke pasiennya.
"Biar nggak batuk-batuk lagi ya. Sesak nggak napasnya?"
"Sedikit," jawab Flo seperti berbisik.
Kemudian perawat menaikkan head panel tempat tidurnya, sehingga Flo duduk. Mengatur alat sedemikian rupa, termasuk obat, lalu memakaikan masker ke mulut dan hidungnya Flo.
"Ners permisi pasang ini ya," katanya, mengaitkan tali hingga belakang kepala Flo.
Terakhir, dia berpesan ke Amara juga Braga untuk memanggil jika ada kendala atau alatnya selesai bekerja.