14. Heal

1.7K 231 96
                                    

Beragam cara diupayakan demi bisa bertemu Flo. Tujuh Lynsander bahkan rela berjam-jam duduk di kursi panjang dekat poli rawat anak. Namun, tak satupun mampu menembus dinding yang dibangun Flo, yang membatasi dirinya dengan keenam saudara.

Amara sendiri sudah berserah diri. Kini dia fokus terhadap perbaikan fisik juga mental sehingga saat tiba waktu Flo siap bertemu, Amara telah stabil baik lahir maupun batin.

"Mau sampe kapan kalian nunggu?" Mendadak Angga berdiri dan memperoleh atensi dari setiap kepala yang tadinya tertunduk. "Apa yang bisa diarepin kalo keluarga kandung kalah sama kenalan baru? Percuma. Kita ini udah nggak dianggap."

Jelas semua terkejut. Terlebih Angga langsung melenggang pergi. Kesunyian koridor rumah sakit menjadi kian mencekam. Hingga satu persatu dari mereka ikut beranjak, menyisakan Gala yang enggan diajak pulang oleh Eja, juga Braga yang beralasan masih ada urusan di rumah sakit.

"Gal, ikut ke ruangannya Mas aja yuk?"

Sang adik menggeleng. "Bentar lagi Flo bangun pasti mau kok ketemu aku," katanya.

"Kita nggak bisa maksa-"

"Enggak perlu dipaksa juga Flo mau ketemu aku."

Gala tetap keukeuh, sedang Braga membuang napas kasar lantas kembali duduk di sebelah si bungsu. Keduanya tak menyadari bahwa pintu kamar rawatnya Flo sempat terbuka sebentar lalu ditutup lagi dari dalam.

Penantian mereka mendapatkan Robi yang keluar dan menghampiri. "Gala?" panggilnya.

Nama yang dipanggil otomatis berdiri dengan cepat. "Aku! Aku Gala."

Robi tersenyum, lantas menyampaikan pesan, "kamu dipanggil Flo, disuruh nemenin dia malam ini."

Mata bambi si bungsu spontan melebar juga berbinar cerah. Dia menoleh ke kakak nomor dua.

Namun, Robi menyambung, "Flo mintanya Gala doang. Maaf." Dikatakan seraya tersenyum canggung.

Walau belum mengenal seluruh keluarganya Flo, Robi tau kakaknya Flo yang ini adalah seorang dokter. Jadi dia merasa tak enak hati sebab mematahkan harapan yang sempat muncul di wajah si dokter muda.

"Nggak papa. Masuk gih," ucap Braga sembari menepuk punggung Gala.

Dengan langkah cepat Gala berlalu. Sedangkan Robi ikut duduk di kursi tunggu seperti Braga. "Kayanya kita seangkatan." Dan memulai basa-basi.

⭒⋆⭒⋆

"Bugenvil yang kamu tanam bareng Mama udah pada kembang. Bagus banget deh, rumah jadi tambah warna-warni. Makin seger pemandangannya kalo renang atau main bola," Gala bercerita banyak hal yang sekiranya terlewatkan oleh Flo.

"Mama sama siapa berkebunnya?"

"Sendiri. Kasian deh. Kata Mama sepi, nggak ada temen ngobrol sama bercanda."

"Ya kamu temenin Mama dong."

"Nggak mau lah, bukan passion-ku bercocok tanam tuh. Aku aja nanem biji kacang hijau layu."

Flo tertawa, tapi kemudian mengernyit karena jahitan di perutnya terasa nyeri. "Kalo Ibu? Udah menghasilkan kerajinan tangan apa?" tanyanya, mengabaikan sakit sebab belum puas melepas rindu dengan adik satu-satunya itu.

"Oh iya! Kemarin aku nemenin Ibu belanja benang rajut banyaaak banget. Masa katanya Ibu mau bikinin kita sweater kembar tujuh buat natal nanti!"

Mendengar kata natal, Flo menanggapi dengan tarikan di satu sudut bibir. Entah lah. Baginya, hal-hal berbau 'kekeluargaan' belakangan dia anggap tabu.

TurquoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang