"Mohon maaf, pengunjung dilarang masuk Critical Care Area. Silakan menunggu di luar karena dokter dan tim medis butuh ruang steril untuk fokus menangani pasien."
Perawat laki-laki menahan Braga, menghentikannya yang sedari tadi mengikuti brangkar sampai ingin masuk ruang penanganan.
"Iya, tapi yang di dalam itu Adik saya," Braga berucap tak santai seraya menunjuk sepasang pintu yang telah tertutup rapat.
"Sekali lagi mohon maaf. Untuk saat ini keluarga juga tidak bisa mendampingi pasien."
"Dengar nggak? Adik saya di dalam!"
Braga mendesak masuk tapi dadanya didorong mundur dengan sopan. Hingga seorang perawat wanita usia senior muncul dari arah belakangnya membawa dua kantong darah.
"Dokter Braga, Anda tau bagaimana peraturannya."
Nama yang disebut dengan nada dingin seketika diam. Braga tidak lagi memberontak dan tidak membuat si perawat muda kewalahan.
"Please behave. Kalau Anda tetap tidak bisa tenang, saya akan panggil keamanan untuk mengusir Anda sekarang juga. Keselamatan pasien adalah prioritas kami."
Sorot mata tajamnya melunak. Braga genggam pergelangan tangan si perawat senior. "Selamatkan Adik saya, Ners Anna. Saya mohon. Adik saya-" memohon dengan sungguh.
"Serahkan dan percayakan kepada Dokter yang bertugas."
Kedua perawat masuk, sontak tubuh Braga limbung, tangannya menumpu pada dinding lalu melemas pada bangku samping pintu. Braga ingin melihat keadaan adiknya. Ingin juga membantu menyelamatkan. Namun, statusnya yang bukan lagi dokter di rumah sakit itu membatasi izin untuk menangani pasien.
"Flo, maafin Mas. Jangan pergi ... hiks ... Maafin Mas ... Maaf ... Maaf ... Maaf."
Kata maaf dirapalkan lirih seraya menunduk dalam. Celana jeans bagian pahanya telah basah akibat air mata menetes deras. Tidak peduli orang-orang sekitar memperhatikannya, termasuk pemuda berpenampilan nyentrik juga wanita paruh baya yang menatap dengan raut iba.
Hingga dia sadar ada orang tua dan keluarga yang harus dihubungi.
⭒⋆
Dokter laki-laki memakai scrubs hijau tua dan masker bedah keluar dari unit khusus di IGD. Dikenal Braga sebagai dokter jaga IGD, beliau melepas masker sebelum berbicara.
"Ada wali pasien atas nama Flo?"
"Saya Bunda-nya, Dok. Kami berdua orang tuanya," Amara yang baru saja tiba langsung menyahuti, menunjuk dirinya dan suami.
Di sisi lain Mama dari Robi seketika mengatupkan bibir. Dia sadar posisi. Kini bukan siapa-siapa ketika ada keluarga aslinya Flo.
"Saya perlu bicara terkait kondisi anak Ibu dan Bapak, sekaligus tentang pemeriksaan penunjang yang butuh persetujuan wali."
Tak lekas beranjak, Amara justru bertanya, "boleh saya melihat anak saya dulu, Dok? Sebentar saja."
Amara terlampau rindu. Namun, waktu belum mengizinkan sebab anaknya sedang dipindahkan ke ruang PICU.
Ketika Amara berlalu mengikuti dokter, berjalan dengan ditopang Lando, maka Giselle menghampiri putra sulungnya. Sejenak Braga mendongak. Bersitatap dengan sang Ibu membuat tangisnya pecah kembali. Dia runtuh dalam dekapan Ibu, merutuki diri akibat rasa bersalah.
⭒⋆
Kunjungan untuk Flo terbatas. Lando dan istrinya bersamaan karena khawatir Amara tumbang. Jalannya saja goyah begitu masuk ruang intensif menggunakan pakaian steril, termasuk pelindung kepala dan masker medis.