Flo bangun seorang diri. Ada secarik surat yang mengatakan bahwa keempat anak jalanan pergi ke pasar untuk mengamen dan mencari makan. Diberi gambar arahan rutenya juga kalau Flo ingin menyusul.
Sebenarnya Flo enggan beranjak. Badannya semakin tak karuan. Tetapi dia juga tidak mau di tempat asing sendirian. Walau terseok-seok, kakinya diseret sampai ke area ramai oleh hiruk pikuk penjual dan pembeli. Belum terlalu jauh masuk ke pasar, Flo menemukan Lopez di dekat pedagang buah lantas sedikit berlari mendekatinya.
"Kak Lopez."
Dari posisi membungkuk, Lopez buru-buru menegak kemudian memutar badan. "Lah, maneh nyusul ke sini? Kenapa enggak di gubuk aja? Bukannya demam?" tanya Lopez. Satu buah apel yang sedikit busuk berada di tangan kanannya.
Flo menggeleng lalu segera berhenti karena pergerakan kepala membuatnya semakin pusing. Tapi dipaksa menoleh cepat ketika suara Andika terdengar menggelegar, tengah adu mulut di warung bakso.
Keduanya pun berlari. Tetapi, langkah Flo terhenti mendadak saat sekelilingnya berputar hebat. Refleks berpegangan pada Lopez sehingga pria yang lebih tua ikut mengerem. Flo membungkuk, tangan menumpu pada lutut selagi tangan lain memeluk perutnya sendiri.
"Duduk duduk."
Yang muda dituntun menuju bangku bawah pohon, di tepi jalan. Dari sini masih terlihat Andika menggebu-gebu melawan pria paruh baya.
"Kamu tunggu, jangan kemana-mana. Janji nggak akan lama."
Flo patuh. Walau pandangannya buram, dia mengikuti dari kejauhan bagaimana Lopez seperti berbicara kepada Amel, kemudian Amel berjalan ke arah Flo duduk. Sementara Lopez lanjut membantu Robi melerai perseteruan antara Andika dengan pria lain.
"Biasa. Cuma mau makan bakso aja dipersulit," ucap Amel begitu duduk di samping Flo.
Lawan bicaranya paham. Pasti permasalahannya lagi-lagi tentang mereka yang ingin makan tapi ditolak oleh penjual. Seperti sebelumnya, mereka dihina hanya karena penampilan.
"Kak Amel masih kepingin bakso?"
"Banget. Uangku udah kekumpul. Pas mau beli, malah diusir. Dituduh mau nyopet, dibilang bawa sial soalnya pembeli lain nggak mau mampir gara-gara kami bau, jelas Andika kesel."
"Jahat banget."
Sebelah sudut bibirnya Amel tertarik tipis. "Ya ... begitu lah. Padahal kami nggak ada niat kriminal."
Tak berselang lama, Robi merangkul Andika mengarah ke lokasi Flo juga Amel berada. Pada raut muka Andika masih tersirat emosi, sementara Robi senyum-senyum. Andika melepas paksa lengan Robi dari bahunya sebelum duduk di sebelah Flo yang lain.
Lalu Lopez terlihat berjalan ke arah mereka dengan membawa sekantong plastik ukuran sedang. Kedua mata Amel berbinar karena akhirnya, setelah sekian hari, keinginannya terpenuhi.
"Kok bisa?" tanya Amel antusias.
"Ya tinggal bilang kalau kita nggak makan di tempat. Terus akang bakso maunya yang beli satu orang aja. Selesai. Sesimpel itu," jawab Robi. Disambung, "kalau dibicarakan baik-baik jadi gampang kan urusannya?"
"Dia duluan mancing aing," ujar Andika, masih menggerutu.
"Iya, ngerti. Tapi maneh terlalu buru-buru emosi, aing jadi susah ngobrol sama akang baksonya. Lain kali lebih dikontrol lagi. Kita udah dicap jelek malah jadi tambah jelek kalo urakan."
Pemuda yang dinasihati Robi berdecak keras, tapi selanjutnya meminta maaf dengan suara lirih.
Flo belajar lagi. Pesan tersirat yang disampaikan Robi tak ayal turut menyentil hati Flo. Mereka saja yang serba kekurangan masih bisa menahan diri untuk tidak emosi dan memaksakan kehendak, meski telah dihina serta dicaci maki. Flo malu. Dirinya belum sepandai itu dalam hal melapangkan dada, sekaligus mengontrol emosi.